Minggu, 13 Juli 2014

Kebutuhan Makanan Dan Minuman Dalam Pendakian

Jumlah kalori yang dibutuhkan untuk setiap perjalanan seorang pendaki gunung tergantung pada:
1. Ukuran dan berat badan seseorang.
2. Metabolisme individu.
3. Lamanya perjalanan.
4. Cuaca/suhu.
5. Jenis aktifitas yang telah direncanakan sebelumnya.
Sehubungan dengan keadaan diatas, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam merencanakan perbekalan makanan/minuman yang akan dibawa :
a. Cukup mengandung kalori dan mempunyai komposisi gizi yang memadai.
b. Terlindung dari kerusakan, tahan lama, dan mudah menanganinya.
c. Sebaiknya makanan yang siap saji atau tidak perlu dimasak terlalu lama, irit air dan bahan bakar.
d. Ringan, dan mudah didapat.
e. Murah.

Menghitung kebutuhan Energi berdasarkan Basal Metabolic Rate
Basal Metabolic Rate (BMR) atau laju metabolisme Basal (LMB) adalah energi minimal yang diperlukan tubuh dalam keadaan istirahat sempurna baik fisik maupun mental, berbaring tetapi tidak tidur dalam suhu ruangan 25 derajat C (Darwin, 1988:7). Secara praktis besarnya BMR seseorang dapat dihitung dengan mengalikan berat badan dengan 24 kalori (berat badan x 24 kalori). Misalnya berat badan seseorang 60 kg kebutuhan BMRnya adalah 1440 kalori, sedangkan jumlah kebutuhan kalori per hari dapat ditentukan berdasarkan kelipatan BMR sebagai berikut:


Contoh
Seorang yang sedang mendaki gunung mempunyai berat badan 60 kg, kebutuhan kalorinya adalah :
60 kg x 24 kalori = 1.440 kalori (BMR)
125% x 1.440 (BMR) = 1.800 kalori
Total kebutuhan kalori/hari : 1.440 + 1.800 = 3.240 kalori/hari
Untuk aktifitas dialam terbuka jumlah kalori yang diperlukan seseorang berkisar 2500 s/d 3500 kalori per hari.
Kebutuhan akan kalori pendaki laki-laki dan wanita berbeda karena pada wanita jaringan lemak bawah kulitnya lebih tebal sehingga pengeluaran proses tubuh lebih kecil.
Misal :
Bagi pendaki laki-laki dengan jenis aktivitas ringan 2.400 kalori, sedang 2.600 kalori dan berat 3.000 kalori, sedangkan untuk pendaki wanita dengan jenis aktivitas ringan 2.000 kalori, sedang 2.400 kalori dan berat 2.600 kalori.

Berapakah kalori yang dihasilkan pada setiap gram zat gizi/ zat makanan ?
Tiap-tiap gram zat gizi karbohidrat menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori dan protein 4 kalori.
Agar zat–zat gizi tersebut dapat digunakan didalam tubuh dengan sempurna, harus diatur komposisinya sbb :
- Protein : 12%-15%
- Lemak : 20%-25%
- Karbohidrat 60%-70%

Misalkan kebutuhan energi adalah 3.500 kalori maka susunan/komposisi gizi-nya adalah sebagai berikut :


Penjelasan :
Kalori dari protein = 15% x 3.500 kalori = 525 kalori
Protein 1 gram = 4 kalori
Jumlah protein = 525 : 4 = 131.3 gram
Kalori dari lemak = 25% x 3.500 kalori = 875 kalori
Lemak 1 gram = 9 kalori
Jumlah lemak = 875 : 9 = 97.2 gram
Kalori dari karbohidrat = 60% x 3.500 kalori = 2100 kalori
Karbohidrat 1 gram = 4 kalori
Jumlah karbohidrat = 2100 : 4 = 525 gram

Nutrisi Seorang Pendaki di Alam Bebas
Nutrisi yang buruk atau pas-pasan dapat mengurangi daya tahan (endurance), membuat otot sulit recovery, dan membatasi kemampuan tubuh untuk memperbaiki sel-selnya setelah satu hari penuh kerja keras. Ujung-ujungnya akan mempengaruhi moral dan skill dari pendaki itu sendiri.
Karenanya penting sekali kita sadar akan perlunya karbohidrat, protein dan lemak serta komponen nutrisi lainnya supaya tubuh tetap fit selama pendakian.



Karbohidrat
Karbohidrat sudah pasti perlu, karena ini merupakan sumber tenaga utama, ibarat mobil, inilah bensinnya, tanpa bensin, mobil pasti tidak
akan jalan. Karbodirat ini ada dua macam:
1) Karbohidrat sederhana.
2) Karbohidrat komplek.
Bedanya, kalau karbohidrat sederhana akan cepat dimetabolis oleh tubuh, sangat cocok dikonsumsi sebelum atau setelah aktifitas dalam jumlah kecil, misalnya seperti madu, selai, permen dan buah-buahan yang manis. Sedangkan karbohidrat komplek biasanya disimpan di lever dan otot sebagai glikogen. Simpanan glikogen ini biasanya akan habis setelah 1,5 jam beraktifitas berat, seperti naik gunung atau lintas alam jarak jauh misalnya. Untuk itu perlu sekali mengganti glikogen ini dari snack sumber karbohidrat sebagai makanan antara, sepanjang hari. 50-70% dari kalori tubuh bersumber dari karbohidrat ini.
Jika kita lupa atau melewatkan asupan karbohidrat, maka tubuh akan memerlukan lebih dari 24 jam untuk me-restore cadangan glikogen dan energi untuk aktifitas pendakian keesokan harinya. Selain memastikan asupan karbohidrat mencukupi, plus komponen protein dan minum air selalu, terutama 30-60 menit setelah beraktifitas. Minum air putih perlu, usahakan tidak kurang dari 10 gelas sehari.
Contoh makanan olahan yang mengandung karbohidrat




Protein
Biasanya protein paling baik dikonsumsi tidak dalam jumlah besar, karena protein itu produk yang cepat digunakan oleh otot, khususnya memperbaiki otot yang terpakai sepanjang hari. Protein diperlukan juga untuk melawan penyakit, membangun lapisan serat pada otot yang ‘rusak’ digunakan sepanjang hari, dan menjaga agar otak tetap bisa berpikir dan memastikan aliran darah lancar. Protein lengkap bersumber dari ikan, telur dan susu, karena mengandung asam amino esensial yang lengkap. 15% kalori bersumber dari protein ini.
Contoh makanan olahan yang mengandung protein




Lemak
Lemak dibutuhkan sebagai cadangan energi diluar sumber energi selain karbohidrat. Kelemahannya adalah lemak perlu lebih banyak waktu untuk dicerna sebagai energi. Konsumsi lemak paling baik dilakukan saat makan malam, karena akan lebih mudah dicerna saat tidur malam. Untuk perjalanan jauh, lemak justru dibutuhkan, terutama memasuki daerah dingin/daerah pegunungan, lemak dalam tubuh akan memberikan rasa hangat, sehingga bisa melawan udara dingin di luar. Terlalu banyak lemak juga berbahaya, karena akan menambah berat langkah saja. Massa lemak lebih berat dari massa otot. Sehingga akan mempengaruhi kecepatan berjalan.
Contoh makanan olahan yang mengandung lemak




Serat
Serat penting, karena tubuh memerlukannya untuk membantu system pembuangan limbah dari tubuh (buang air besar) agar tidak mampet. Makanan yang berserat juga diperlukan untuk menahan rasa lapar lebih lama. Serat dapat diperoleh dari buah-buahan dan sayuran.
Contoh makanan olahan yang mengandung serat




Air Minum
Minum sebagai kebutuhan cairan jangan dilupakan. Menghadapi medan jelajah seperti susur pantai yang terbuka di bawah matahari sepanjang hari pasti memerlukan air lebih banyak daripada jelajah di dalam hutan lebat. Intinya cegah diri dari dehidrasi.
Minumlah secara teratur dan sesering mungkin. Apa yang diminum, tentu saja air putih. Namun dengan berkembangnya teknologi, saat ini membanjir berbagai minuman energi yang bisa juga sekaligus mengganti energi yang terpakai.
Apakah benar minuman ini bisa mengganti energi ?
Cek selalu content/ingredient di kemasannya. Kandungan gulanya biasanya terdiri dari sukrosa, fruktosa, glukosa dan maltodextrin. Kalo konsentrasi kandungan fruktosa-nya tinggi, justru akan memperlambat hidrasi dan muncul gangguan perut.
Pilihan minuman lainnya seperti herbal tea dan coklat susu sangat direkomendasikan. Bagi penggemar kopi, perlu sedikit waspada dengan cafein yang terkandung di dalamnya, karena dapat meningkatkan output urin dan peluang terjadinya frostbite. Selain itu cafein meningkatkan heart rate dan tekanan darah. Oleh karena itu selama perjalanan perlu dibatasi satu cangkir kopi per hari.



Minuman beralkohol juga berisiko sebagai sumber dehidrasi dan dapat menurunkan selera nafsu makan. Alkohol juga lebih hebat dampaknya daripada cafein dalam soal peningkatan output urin. Rasa haus merupakan indicator tubuh mulai mengalami dehidrasi.
Minumlah dengan sedikit-sedikit guna membasahi kerongkongan, bukan dengan cara sekaligus satu botol habis. Di tempat-tempat di mana air jarang ada selama perjalanan, perhitungan kebutuhan air perlu dimasukkan dalam rencana perjalanan.





Semoga Bermanfaat

Sumber : Artikel dan Gambar dari berbagai sumber di internet

Rabu, 25 Juni 2014

Idealis atau Realistis

Kujatuhkan pandangan kulihat jurang dalam
Penuh dengan onak duri yang amat mengerikan

Ku dongakan kepala kulihat langit tinggi
Terbentang luas tiada bertepi

(Hijjaz – Damai Nan Indah)


Perumpamaan lirik lagu diatas memang tidak jauh berbeda, idealism itu seperti menatap langit, sementara realistis itu menatap bumi. Manusia dengan segala dinamika nya pun tidak bisa total memilih satu bagian, meski dominan realistis atau idealis selalu ada bagian dirinya yang memiliki sifat berlawanan.

Mungkin tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa ini termasuk kedalam fitrah pasangan, seperti siang-malam, gelap-terang, baik-buruk, maka idealis-realistis adalah sebuah keniscayaan akan kesempurnaan. Jika ini adalah, katakanlah, fitrah yang ada di setiap individu, persoalannya lebih baik mana yang harus didominankan..??

Erat kaitannya kecerdasan emosional, pengendalian diri termasuk waktu yang tepat saat kita berfikir idealis dan realistis menjadi penting untuk dikuasai. Namun, karakter setiap individu pun turut serta berpengaruh dalam menentukan hal ini. Contoh, sifat obsesif, agresif, dan yang lain sebagainya.

Kembali ke ilustrasi di atas, contoh penggunaan idealis-realistis. Saat kamu mendaki gunung, okelah jika kita senang melihat puncak, sesekali sebagai pemicu semangat ditengah gempuran lelah, sah-sah saja sebagai bentuk idealis kita meraih puncak, tapi jangan lupa, lihat pula jalur pendakian, tebing dan jurang yang menghadang, saat mendaki mendongak memang asyik, tapi menunduk saya kira lebih penting.

Persoalannya selanjutnya adalah dimana seharusnya idealis-realistis adalah pasangan sejati, ini malah menjadi pasangan yang saling membantai. Kembali ke ilustrasi pendakian tadi, idealnya adalah sampai puncak, tapi bagaimana saat jurang menghadang..??? pulang, loncati, atau cari jalan baru..??

Idealnya saat kita punya visi, cita-cita, dan sebuah keinginan, adalah mewujudkannya, tapi terkadang kita lupa realistis, kita lupa antisipasi akan kenyataan yang akan kita hadapi. Ingat..!! realistis bukan pesimis, justru ia adalah sebuah dorongan untuk mencari alternative lain untuk mewujudkan idealism nya. Idealism tanpa realistis sama saja bunuh diri, ia akan meloncati jurang yang ada demi sampai puncak. Realistis tanpa idealis sama riskan, susah rasanya mencapai puncak, yang ada pulang saja. Pasangan idealis-realistis, ia akan mencari jalan baru untuk menggapai puncak.

Semoga bermanfaat

Kenyamanan Revolusi

Jelas aku membutuhkanmu. Dan aku rasa, kamu tertekan karenanya. Aku juga berusaha sebisaku agar kamu tak tertekan. Sebab, aku membutuhkanmu.

Andai kamu tak nyaman dengan semua ini, tentu saja aku harus lebih dari mengerti. Berarti, ikhtiarku untuk membuatmu nyaman hanyalah kenyamanan bagiku.

Kegelisahanku bukan alasan kenyamananmu. Ia alasan kerakusanku. Anganku bukan alasan senyummu. Ia alasan kebodohanku menerka kenyamanan yang kamu maksud.

Kalau pun tak sampai membuatmu nyaman, terkadang aku bergumam andai semua tetap seperti ini. Ya, agar aku tak sakit jiwa.

Tapi menurutku, tak baik mendamba kenyamanan dengan menjarah. Tak bijak mengharap ridha dengan simulasi khayalan atau keajaiban. Sebab, pada akhirnya nyaman itu memang hanya milikmu.

Andai kelak kamu membutuhkanku, aku akan bahagia dengan hiasan senyum konyolku. Karena sejauh khayalku, kamu tak akan pernah tergila-gila padaku. Andai kelak kamu dianugerahi kenyamanan itu, aku akan sedikit menahan kalimat-kalimat garingku. Dan andai kelak kamu punya alasan untuk nyaman bersamaku, aku akan tersungging pada Tan Malaka. Ya, ternyata revolusi tak harus kehilangan kenyamanan pengusungnya.

Jelas aku akan selalu merindukan semuanya. Dan aku sok tahu, hidupmu akan selalu indah.

Semoga bermanfaat

Jumat, 13 Juni 2014

Nyaris Tercekik Gunung Semeru (True Story 1969)

KISAH TRI PURWANTO (PUNG) MENCARI BANTUAN

Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, benar2 menjadi kenang2an yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Harjo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan kami sendirian turun ke pedalaman minta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian sendiri sebagai berikut :

Oleh : Tri Purwanto (Pung)


Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.

Pagi-pagi, kira-kira pk. 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Perjalanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan untuk makan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat. Lebih kurang pk. 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga sama sekali. Saya berteriak-teriak memanggil Hatjo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Harjo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. PPPK seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Harjo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-barang perlengkapan dan lain-lain. Harjo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi. Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.

Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan. Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Harjo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera datang. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.


Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.

Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haro. Perlengkapan kami hanya yang perlu-perlu saja. Peta dan kompas tidak lupa. Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Harjo. Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.

Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.

Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai. Ayunan langkah pertama benar-benar berat sekali. Baru saja berjalan 5 menit sudah harus turun jurang air terjun.

Sampai pukul 16.00 hari itu, saya berhasil turun air terjun sebanyak 4 buah. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin. Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa. Malam itu saya tidur didekat air sungai. Terasa seperti anak yang hilang saja.

Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar hanya pikiran saya yang masih kacau.


Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.

Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.

Tambahan lagi ngeri. Tetap kupaksa kucoba…… Naik…. Naik……..Terkurung.

Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.

Hari itu saya hanya berhasil menuruni jurang air terjun 3 buah saja. Saya sudah lelah benar. Medan setempat masih sama. Seperti kemarin-kemarin masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-tebing labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya. Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan-gangguan binatang buas.


Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.

Lebih kurang pk. 03.00 saya mulai bergerak lagi.

Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan, Terus maju, pantang mundur. Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya. Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja. Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti. Saya tidur di sela-sela batu besar di dekat air.


Sabtu, 9-8-1969. Makan batang nipah & umbi gatal.

Sudah beberapa hari tidak makan.

Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang. Sambil jalan kumakan jenis daun-daunan yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.

Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah). Kemudian saya tebang dan kami makan batangnya. Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu. Makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosenya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi. Jalan lagi. Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan. Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi. Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun. Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Pikiran, pasti enak dimakan. Kumakan baru dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main. Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak. Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan menyusur.

Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.


Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.

Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.

Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung ‘. Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya. Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas. Air habis. Selalu haus rasanya. Kini jauh dengan sungai. Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya pula, walaupun hanya tetes-tetesan air saja. Jalan tengok kekanan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan. Tidak padat penduduknya rupanya. Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.

Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan sesuai dengan peta adalah desa Jajang. Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan. Saya ditolong orang kampung. Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang. Saya menceritakan keadaan kami. Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Harjo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua. Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.


Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.

Paginya saya diantar ke Bapak Martini ( Kamitua desa Jajang ). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua. Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Harjo berada. Perjalanan kami lancar sekali.

Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan. Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan. Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang. Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan. Sayang tidak ada. Semua diam sejenak.

Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung. Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Harjo ketemu. Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Kami sangat berterima kasih kepada mereka.

Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Harjo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.

Malam itu saya tidur di Jajang.


Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki. Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.

Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang dahulu. Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemudian dengan sebuah taxi saya menuju ke Pangkalan.

Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto ( beserta staf ).

Saat itu pukul 12.30.

Laporan saya mendapat perhatian besar sekali. Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT ke Poncokusumo dan terus ke Magersari.

Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.

Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di-Pangkalan. Kami tidur di Mess AURI.

Malam itu saya tidak dapat tidur.

Pikiran masih terkenang kepada Harjo saja.


Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.

Pukul 08.00 saya ke kantor Pangkalan untuk di interview.

Hampir semua orang di Pangkalan mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini.

Mereka sangat prihatin juga tampaknya.

Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Harjo berada.

Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang. Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.

Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.


Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.

Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi. Saya dikirim kesana bersama bahan-bahan makanan.

Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.

Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo.

Kami terus diantar ( jalan kaki ) ke desa Pandansari.

Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah. Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 ( pukul 10 malam ).

Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.

Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Harjo berada.

Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.


Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.

Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT ( Bp. Kamarudin ) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.

Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.

Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.

Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu maju terus pantang mundur.

Akhirnya kami sampai ke tempat Harjo berada.

Saat itu lebih kurang pukul 18.00 Harjo masih dapat bertahan.

Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali. Kami gembira sekali. Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.

Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.


Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.

Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar pengangkut Harjo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-ain. Pukul 03.30 kami siap berangkat.

Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui. Sore lebih kurang pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.

Malam itu sangat dingin.

Sampai malam belum juga ada bantuan datang.


Minggu, 17-8-1969.

Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Harjo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.

Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.

Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.

Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu. Saat itu pk. 18.00.

Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.

Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak orang akan melihat kami. Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.

Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso ( ayah Harjo ) yang memang menjemput kami.

Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 ( malam hari ).

Rontgen Harjo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.

Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.

Selanjutnya Harjo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.

Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.

Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Harjo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.

Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.

Mermounc = Merbabu Mountaineer Club
Sebuah Club Mendaki Gunung yang bermarkas di Jogjakarta
TAN LALANA = Pantang putus asa.
Semboyan Club Mendaki Gunung Mermounc


Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.87 Oktober 1970

Saya Jatuh Di Lereng Gunung Semeru (True Story 1969)

Kisah Pengalaman Perjalanan Saudara Alm. Hario Suseno di Gunung Semeru Tahun 1969.

Bulan Agustus tahun yang lalu beberapa minggu sebelum berita tentang meninggalnya Soe Hok Gie anda mungkin membaca tentang jatuhnya seorang pendaki lain di Gunung Semeru, saudara Hario Suseno. Dibawah ini ia akan menceritakan pengalamannya waktu itu. 

Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah un­tuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tinda­kan dan mengambil konsekwensi serta tanggung jawab dalam se­buah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau lain-lain dimana biasanya sebuah team kemudian tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.

Saya berangkat dari Jogya tanggal 25/7-69 bersama seorang ka­wan: Pung.Sebagaimana dengan pendaki­an-pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan PPPK dan perlengkapan mountaineering se­adanya. Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai yang sesungguhnya jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepatu dengan sol karet beralur yang seharusnya hanya me­rupakan sepatu kerja pada lan­tai kasar atau tanah biasa.

Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:

Tanggal 25/7-’69, Jum'at Rencana pokok pendakian, peralatan. Jam 23.00 sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogya. De­ngan taksi kita tiba di Malang jam 01.00.

Tanggal 26/7-‘69, Sabtu Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan-jalan ke Semeru menurut pengetahuan me­reka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan be­berapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Kami te­tapkan akan melalui daerah Selatan: Turen. Ternyata keadaan sangat me­rugikan perjalanan kami kalau melintas dari Turen ke Semeru. Kami menggeser ke-Timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi Kalibening. Kami melapor ke­ kecamatan dan Koramil. Men­dapat penjelasan, lava mengarah ke Selatan ini juga, sedangkan kami tepat di Selatan dari puncak Semeru. Waktu ini hari Sabtu jam 07.30 pagi.

Malam ini menginap di desa Rawabawang yang terletak di Utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulan: lava turun mengarah Barat Daya sampai ke Se­latan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan la­va turun sangat mengagumkan.

Tanggal 27/7-’69, Minggu Saya Sempat ke gereja di Kali­bening, sebagian penduduk ber­agama Kristen. Dari percakapan-percakapan dengan orang-orang kami mendapat keterangan yang cukup tentang route yang akan kami tempuh.

Keputusan: menggeser sampai ke Tenggara baru akan mendaki. Siang mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Se­meru. Beban pertama dengan ba­han makanan untuk 10 hari, Se­berat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.

Tanggal 28/7-’69, Senin Mengisi air masing-masing 7 liter, mulai mendaki. Jam 11.00 sampai pada batas perkebunan-hutan, memasak nasi pada sebuah keluarga kecil, dengan hanya dua buah pondok kecil di tepi hutan itu. Sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana hubungan masyarakat kecil ini dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang sa­ja.

Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon2 setinggi 10-12 meter. Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb., istirahat.

Tanggal 29/7-’69, Selasa Pukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin melebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas. Cahaya matahari sangat sedikit, semak melebat. Berjalan sampai pukul 16.00 sore, mendirikan tenda. Udara sangat lembab.

Tanggal 30/7-’69, Rabu Pukul 08.00 mulai lagi. Keada­an yang sama, menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair. Mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu ke­ring. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.

Tanggal 31/7-’69, Kamis Berangkat seperti biasa. Semak semakin lebat. Kami terus me­ngarah ke sisi lereng Timur un­tuk menemukan lintasan pasir da­ri puncak. Kali ini sangat payah. Satu jam hanya kira-kira 30/50 meter saja. Benar-benar merintis jalan de­ngan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.

Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00 me­nemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas de­ngan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 mencapai batas hutan dan pasir. Istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian dingin. Sekitar pukul 20.00 malam bulan muncul. Medan pasir jelas terlihat, kemiringan antara 30 s/d 40 dera­jat. Mencapai lereng dengan bongkah besar, bermalam tanpa tenda. (melihat ke Utara, menyeberang lereng kira-kira 200 meter) buka.

Tanggal 1/8-’69, Jum’at Menyeberang lintasan pasir dan hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (batu-batu lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat payah. Istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, empat derajat C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang ka­mi temukan. Tidak bisa mendiri­kan tenda. Ketinggian sekitar 3000 meter.

Tanggal 2/8-69, Sabtu Mencapai puncak.Kita mencapai puncak (+ 3676 m) Pukul 12.00 siang. Pukul 14.00 siang mulai turun ke Utara. Tidur di hutan. Rumput2 tinggi, pohon-pohon pinus mercusy rendah dan jarang, air habis. Tanggal 3/8-’69. Minggu.Meneruskan menembus hutan belukar kebawah (Utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan kering sekali. Pu­kul 15.00 menyusur pangkal su­ngai Aran-aran, kami langsung membelok ke Barat (270 meter), menyusur lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian sekitar +2350 M. Pukul 16.00 menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang poreus, kami dapat menapis air disini. Malam berjalan terus selama jalan dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di­ tepi sungai.

Tanggal 4/8-’69, Senin Melewati beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 5 s/d 15 m. Kami gunakan tali-tali dimana perlu. Tidur malam nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.

Tanggal 5/8-’69, Selasa Hari jatuh. Sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan dibawah tegak lurus.Tali kami yang 26 meter panjangnya tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding curam tersebut, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya didepan. Pada saat merambat terpeleset ada longsoran kecil dan lepas kebawah, setelah melewati ba­tas miring lalu jatuh bebas, ki­ra-kira 15 meter, dan pingsan. Pung un­tunglah selamat, memberikan pertolongan seperlunya. Tulang paha kanan patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.

Tanggal 6/8-’69, Rabu Pung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan pusing sekali, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pa­da paha kanan terkena batang cemara tumbang sewaktu jatuh. Bahan makanan tinggal untuk satu hari ditinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (di­perpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, tali-tali. Saya sendiri te­rus tidur nyenyak sampai pagi.

Tanggal 7/8-’69, Kamis Bangun, melihat serba dua, pusing, tidur lagi.

Tanggal 8/8-’69, Jum’at Makan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.

Tanggal 9/8-’69, Sabtu Makan kedua, lagi minum air sungai sekenyangnya.

Tanggal l0/8-’69, Minggu Makan sisa makanan, mata su­dah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.

Tanggal 11/8-’69, Senin Merebus daun-daun  yang bisa di­makan yang dapat dicapai de­ngan tangan dan tongkat.

Tanggal l2/8-’69, Selasa Hanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.

Tanggal 13/8-’69, Rabu Masak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, berpikir normal. 

Tanggal 14/8-’69, Kamis Sudah lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Menghemat daun-daunnan lagi. Mulai ragu-ragu apa­kah Pung berhasil atau dia sen­diri mengalami kecelakaan.

Tanggal 15/8-’69, Jum’at : Diketemukan kembali, Merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun tsb. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di­ tenda.

Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana pe­rasaan saya sehabis sembilan hari ke­laparan dan sendirian.

Tanggal 16/8-69, Sabtu Bergerak pulang, kaki yang patah dijepit de­ngan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan kare­na beratnya medan. Besok direncanakan menyelesaikan seluruhnya. Saya dan Pung dan enam orang menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan te­bing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita yang tertinggal menunggu di desa Magersari.

Tanggal 17/8-’69, Minggu Kembali keperadaban Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang dari kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim kelihatan. Mencapai Magersari sore, diteruskan ke Pandansari. Ditempat yang mungkin untuk kendaraan, dijemput sebuah ambulans dan terus ke rumah sakit (masuk Malang jam 11.30 malam).

Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perja­lanan hanya memakan tujuh hari, ter­nyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7-’69 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.


Peta perjalanan sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno


Peta lokasi jatuh sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.83 Juni 1970

Selasa, 27 Mei 2014

Catatan Survivor Rico - GN. Merapi, November 2013

Sabtu, 02 November 2013 

Satu bulan yang lalu saya dan teman-teman berencana untuk mengisi hari libur dengan Pendakian ke Gunung Merapi dan Merbabu. Siang hingga sore hari saya bersama Panji menyiapkan Logistik dan perlengkapan yang akan digunakan untuk pendakian. 

Selesai menyiapkan logistik dan perlengkapan, saya, Afi, Panji, dan Jamal berangkat menuju ke Terminal Bungurasih. Pukul 18.00 Waktu Indonesia Bagian "Jam Tanganku", kami tiba di Terminal Bungurasih. 

Menunggu kedatangan teman-teman yang lain, Mas Danis dan Andik (bukan Vermansyah), kami sempatkan untuk mengisi perut, namun, sampai satu jam berlalu belum ada tanda-tanda kemunculan ke-2 orang tersebut. 

Pukul 19.15 (sudah ngantuk, dan capek), datanglah Mas Danis, disusul oleh Andik 15 menit kemudian. Andik mengajak temannya yang lain, yaitu Mas Sigit. 

Mungkin karena sedang long week-end (pas libur panjang), agak lama juga dapet bus. Pukul 20.15 Tim rombongan naik bus, berangkat menuju Kota Solo.


Minggu, 03 November 2013

Pukul 03.00 pagi saya terbangun, tak sadar sudah tiba di Kota Solo (mirip lyricnya kereta malam). Di Tirtonadi Solo, kami istirahat 15 menit, dan melaksanakan ibadah subuh di Terminal Tirtonadi. Di musholah Terminal Tirtonadi kami ketemu temen baru Mbak Al, dan Mas Yayan. Selanjutnya perjalanan ke Boyolali ditempuh selama 30 menit.

Pukul 05.10, start menuju Pasar Cepogo, dapet harga murah sih, tapi kok mobilnya ga kuat nanjak, dan hasilnya kami harus berjalan kurang lebih 1 km ke Ps. Cepogo. Sudah nyampek pasar, dan dapet bis ke Selo, eh Nunggu jam 7 baru kemudian berangkat. 53 menit kemudian, sampailah kami di Selo, lagi-lagi jalan ke New Selo, sambil pemanasan badan.


Start Pendakian Menuju Pasar Bubrah

Jam 08.15, New Selo. Di Tulisan ala Holywood itu kami berada saat itu untuk melengkapi logistik, beberapa dari kami sarapan di sini termasuk saya sendiri. Jam 09.20 kami berangkat deh, dan ga lupa berdoa dulu. 

Well, perjalanan dimulai, tanpa kepikiran kalo ini awal petualanganku tiga hari jadi survivor. Setelah melewati perkebunan warga, Jam 10 udah tiba di Gapura “Welcome To Merapi Mount National Park”. 

Hm.. gak terasa 2 jam berjalan saya, Afi, Al, dan yayan. Teman yang lain tertinggal 30 menit, dua orang dalam Tim kami kondisi fisiknya perlu perhatian khusus. Di sini saya berhenti sejenak karena rintik-rintik gerimis. 

Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berencana untuk berhenti di Pos I. 1 jam berlalu, belum juga bertemu Pos I, tapi kami menemukan tempat yang sangat indah untuk foto.

Setelah Mas Yayan ngabisin sebatang rokoknya, ternyata udah gak gerimis lagi, dan kami melanjutkan perjalanan lagi menuju ke Pos I.

Sepanjang jalan banyak pendaki yang turun dan mengingatkan kami, bahwa di atas pasar bubrah sedang terjadi badai. 

Satu jam berlalu lagi, dan kami sempat putus asa, karena Pos I saja belum ketemu, gimana puncaknya? Dalam hati saya, jangan-jangan Gunung Merapi sejenis dengan Gunung Argopuro. 


Tiba di Pos Kedua

Rasanya sudah gak sabar juga sih. Akhirnya saya tanya orang aja. “Pak, Pos I masih jauh ga?”. “Lhah! Sudah jauh di bawah tadi mas, 10 menit lagi aja udah pos II”. Jawab si bapak. What!? Ternyata tempat kami berhenti waktu gerimis tadi terletak di dekat Pos I. 

Tiba Pos II kami putuskan untuk menunggu teman yang lain dan lagi-lagi sempatkan waktu untuk berfoto. Tigapuluh menit, mereka belum dateng juga, si Afi sudah terlelap dan mimpi tiba di puncak. 

Lima belas menit kemudian sampailah Mas Danis, Andik (bukan Vermansyah), dan Sigit udah nyampek, tapi Panji? Jamal? Belum keliatan juga ujung hidungnya. Tapi Mas Danis Bilang “Gak apa-apa, kita tunggu di pasar bubrah aja”. 

Lima menit kemudian kami melanjutkan lagi ke Pasar Bubrah, sepanjang perjalanan sampe di atas Watu Gajah, ada sekelompok pendaki lain mengingatkan kami dengan kalimat, "Di atas badai Mas". 

Benar juga katanya, belum juga nyampek pasar Bubrah, angin ga seperti yang kami kira.

Sebelumnya juga saya pernah merasakan tiupan angin kencang di Gn. Arjuno, tapi tidak sekencang angin di sini. 

Angin ini merupakan yang paling kencang yang pernah saya rasakan. Tigapuluh menit kemudian kami sampai di Batu In Memoriam Pelajar Pecinta Alam SMA 4 Yogyakarta. 

Setelah mengheningkan cipta sejenak kami mencari tempat istirahat untuk memasak dan menunggu teman-teman yang lain. 

Lama juga kami menunggu teman-teman sambil kami menyalakan kompor Gasmate kami dan memasak di atas nesting, tak jauh dari tempat persembahan masyarakat sekitar untuk Gn. Merapi. 

Ada Tengkorak Kerbau di balut dengan kain Putih tak jauh dari tempat kami, dan juga tempat menyalakan dupa, posisinya di sebelah kami, yang sempat tersenggol olehku. 

Sekitar pukul 14.45 datang lah Mas Danis disusul oleh Panji dan Jamal. Bravo Kawan! kalian sanggup sampai di sini!


Pendakian Menuju Puncak Merapi

Sekitar jam 15.05, itu adalah Terakhir kali saya melihat Jam, karena setelah itu HP kumasukkan ke dalam tas kecil. Tak lupa Victorinox kesayanganku (hadiah dari temanku saat dia di Eropa), kugantung di pergelangan tangan dan kumasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abuku dulu yang selalu menemaniku ke Pucak Gunung. 

Botol Air mineral 600ml yang sudah kumodifikasi tutupnya kuberi selang, jadi aku ga perlu repot buka-tutup. Semua barang-barang bawaan kami tinggal di Pasar Bubrah, untuk meringankan beban kami.

Kabut dan badai sudah mereda, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak merapi. Namun di tengah perjalanan, kabut mulai nampak lagi, dan angin mulai kencang, tapi tanggung sudah setengah perjalanan pikir kami. 

Perjalananan sudah sejauh ini, sangat sayang apabila kami gagal. Hingga akhirnya setelah jalan pasir, batu kami lalui kami sampai juga di Puncak Merapi pada pukul 16.00. 

Kami harus menunggu panji dan jamal sehingga mereka sampai diatas. 15 menit kemudian Panji dan Jamal sampai juga di Puncak Merapi. Selamat kawan!

Tak lama , tiba-tiba hujan mengguyur kami, tepat jam 16.30 kami memutuskan turun. Sekarang giliranku dan mas Danis yang memBack-up panji dan Jamal.

Mereka berlima turun lebih dulu. Hujan yang begitu deras memaksaku untuk menitipkan Tas yang aku bawa ke pada Mas Danis, di dalam tas itu ada Beberapa HP yang sebelumnya dititipkan kepadaku. 

Saya berada di depan jamal untuk mencarikan jalur yang aman untuk dilalui. “Lewat kanan ae! dalane enak!” (lewat kanan saja, jalannya enak). Itu adalah kata-kata terakhirku sebelum akhirnya ada badai yang menghempasku jatuh.


Awal Mula Terpisah Dari Rombongan

Jatuh! Ya saya jatuh tersungkur dan terperosok pasir dan kerikil, kurang lebih sama dengan Ian (Saykoji) waktu jatuh di film 5 cm. 

Agak lama saya terjatuh hingga, sempat ling lung, dan pusing. Saya lihat ke belakang, hanya kabut yang saya lihat, jarak pandangku tak lebih dari dua meter.

Saya teriak: "Mas Danis!" Namun tak lebih kencang untuk mengalahkan suara angin kala itu! 

Saya jongkok, untuk melihat jalanan (terhalang kabut). Saya kira, saya tetap berada di jalur yang benar, namun sudah tertinggal karena tadi sempat terjatuh. Dan saya harus sampai pasar bubrah sebelum waktu petang!

Saya berdiri, ternyata sandal gunung sebelah kiri putus. Saya lepas dan tinggalkan di tempat itu. Saya berjalan cepat. Namun sial, lagi-lagi ga bisa menjaga keseimbangan karena hempasan angin. Lagi-lagi saya terjatuh. 

Saya terkejut kala itu karena angin benar-benar kencang, membawa terbang batu-batu seukuran lebih besar dari kelapa. Saya putuskan tidak berdiri karena beresiko terkena batu-batu itu. 

Sampai akhirnya batu berukuran lebih dari 2 X ukuran bola basket mengenai punggungku. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali batu itu tidak menghantam Kepala.

Ya Alloh.. Saya tersesat! Ya saya tersesat, Sendirian, di Gunung Merapi. Saya berlari ke bawah menghindari batu-batu yang terbang itu.

Hingga akhirnya sampai di tempat yang mirip pasar Bubrah. Mirip? Ya Mirip sekali, namun saya hanya berputar ditempat itu. Dan saya sadari! Itu bukan Pasar Bubrah. 

Seolah-olah tidak ada jalan, saya duduk di sebuah batu menenangkan diri. Berpikir bagaimana saya bisa keluar dari sini dan kembali ke Rumah di Surabaya.

Saya melihat kala itu ada jalur seperti sungai, namun gak ada air sama sekali, sepertinya bekas sungai. Ya! Pikirku kala itu, Jalur sungai pasti ujungnya ada pemukiman / perkebunan warga. BISMILLAH!

Saya akan memilih jalur itu. Berbekal Victorinox, Botol Air Mineral 600ml (ada isi air 1/4 botol). Sandal cuma sebelah kanan saja, kain sarung saya lilitkan di kepala, mirip jaman kecil kita dulu bermain ninja-nijaan. 

Pakaian yang saya pakai kala itu adalah kaos batik, bergambar plesetan wayang yang bermain gitar. Celana SMA, dan Baju Almamater HISTALA 7 (Himpunan Siswa Pecinta Alam SMAN 7 Surabaya) organisasi yang kucintai sampai sekarang ini meski sudah 6th jadi alumni.


Survival Hari Ke-1

Jalan yang kulalui berbatu sangat tajam, terasa menusuk telapak kaki kiriku. Mungkin saat itu sekitar pukul 5.30an, saya tidak tahu pasti. Yang jelas matahari mulai menghilang, berganti shift kerja dengan sang Rembulan. 

Saya sampai pada ujung jalan! Ya ternyata dibawahku adalah tebing, meskipun Cuma sekitar lima meter (ga tau pastinya keadaan sudah gelap), tapi benar-benar extrim bagiku. Dimana gak ada perangkat safety apapun, dan penerangan saat itu hanya cahaya dari Sang Pencipta, terima kasih Bulan. 

Saya turuni tebing itu dengan segenap tenaga dan kemampuanku, yap sampai di bawah dengan selamat, namun yang gak selamat adalah sandal gunungku yang kanan! 

Kembali menelusuri jalur bekas air, namun sekarang tanpa alas kaki apapun. Saat itu, saya merasa ada yang mengikutiku, namun saat kulirik betapa terkejutnya.

Sepertinya saya melihat batu kerikil yang melayang di dasar tebing tadi. Ah, mungkin hanya perasaan saja.

Saya terus melanjutkan langkah kaki. Tuhan! Cobaan apalagi sekarang, hawa dingin benar-benar terasa saat itu ditambah rintik-rintik air kini ikut menemani perjalananku.

Jalan, terus berjalan saat itu, tanpa makanan. Terakhir makan adalah jam 8.30 tadi pagi. Sisa air minum tinggal ¼ botol. Letih ditambah medan yang sangat sulit ketika dilalui dalam kondisi cahaya seperti ini. 

Istirahat, itulah yang pernah kudapat ketika dulu belajar ilmu tentang survival. Saya harus menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan di hari esok.

Saya melihat ada batu besar sekali dan ada cekungan di bawahnya dan ada batu yang lebih kecil seolah mengganjalnya agar tak jatuh, dan istirahat di dalamnya. Resiko ketika itu adalah, kapanpun batu itu bisa saja jatuh. 

Menangis! Ya saya akui, kala itu saya menangis sekencang kencang nya. Mama, keluarga, semua teman-teman yang ikut tadi, Afi, Panji, Danis, Andik, Sigit, Al, Yayan. Saya sayang kalian! Saya gak mau kalian nangis karena saya. Jadi saya harus selamat!

Setelah saya mampu menenangkan pikiran dan hati, saya minta kepada Alloh, ya Alloh, sampaikan kepada ibuku, mama, aku tidak apa-apa. Saya akan selamat sampai Surabaya! Hingga akhirnya saya pun terlelap tidur.


Survival Hari Ke-2

Esok pagi saya terbangun oleh cahaya matahari. Saya tidur menghadap Timur dan terbangun ketika matahari terbit. Yah dengan doa saya melanjutkan perjalanan. berikutnya.

Saya minum sisa air yang tinggal dua tutup botol. Saya putuskan untuk menampung (maaf) air seniku untuk bertahan hidup, karena saat itu tidak ada air tanah sama sekali, batu-batu tidak menampung sedikitpun air.

Saat itu saya putuskan mencoba naik lagi ke Puncak Merapi, setelah batu-batu an yang benar-benar tajam dan tebing yang tak bisa kulalui untuk kembali turun ke Jalur Selo. Saat itu juga kuputuskan untuk kembali ke jalur antah–berantah tadi. 

Saya coba untuk memakan vegetasi yang ada di sekitar batuan , namun sial hanya gatal yang aku dapat di lidah. Sesuai dengan yang aku pelajari dulu, bahwa jika di lidah gatal = beracun, ya sudah saya tidak melanjutkan. Hanya minum yang ada di botol ini selama perjalanan.

Sedih, bingung, sedikit rasa takut yang menemaniku sepanjang perjalanan. Kakiku mulai perih siang itu, darah mengalir dari telapak kaki. Saya usap dengan sarungku. Terlintas ide untuk merusak sarungku menjadi alas kaki. Tidak ada lagi rasa eman (sayang) meskipun setiap jumat sarung ini yang kugunakan.

Meskipun sedih, takut dan lain-lain, namun jujur saja, saya sangat takjub saat itu melihat jurang dan tebing yang benar-benar luar biasa. Alloh! sungguh Indah ciptaan Engkau.. Ah sayang tidak ada kamera / HP yang digunakan untuk mengabadaikan moment ini.

Sore mulai menjelang, seperti mendapat “Jackpot” saya lihat ada genangan air di atas batu, yang cukup untuk tiga teguk. Alhamdulillah, terima kasih Alloh untuk Air ini. Mohon maaf ya teman-teman hewan yang minum ini, sekarang saya benar-benar butuh. 

Perjalanan saya lajutkan ke arah Timur ini dan, Subhanallah, saya melihat pemukiman warga, meskipun masih jauh tapi saya bersyukur.

Yah, saat hari sudah mulai sore, lagi-lagi saya terpesona dengan keindahan batuan di tebing-tebing Merapi, melewatinya dan bersyukur banyak air melimpah di bebatuan yang menampungnya.

Hanya melihat sesosok unggas berbulu putih seukuran itik hinggap di batu yang berjarak kurang lebih limapuluh meter dari tempatku mengumpulkan air. Apakah elang yang ada di hadapanku? Benar,itu Elang Jawa rupanya. 

Pikiranku yang kala itu di kendalikan oleh perut, benar-benar gelap mata dan mengendap-endap di belakangnya. Aku buka victorinoxku, pikirku paling tidak aku harus dapatkan telurnya.

Semakin dekat dan mendekatlah aku pada sarang itu, namun aku terkejut, ternyata sang Elang Putih itu sedang menyuapi anak-anaknya, ALLOH, hati saya benar luluh--Gak tega, bener-benar tak tega melihat keluarga bahagia itu. 

Victorinox saya tutup kembali, namun saya kembali takjub akan alam Merapi, ternyata si Induk melihat keberadaanku dengan jarak sekitar 10–5 m, namun bukan seperti yang dibayangkan si Induk akan marah dan menyerangku, malah dia seolah membiarkan ku melihat keindahan bulunya. Oh Tuhan terima kasih, seandainya aku membawa kamera/ HP saya bisa berbagi dengan semua.

Lalu seolah saya lupa waktu karena melihatnya. Saya sadar bahwa saya sedang tersesat, dan harus kembali berjalan. Sampai jumpa kawan, semoga kau dan anak-anak mu sehat selalu dan tetap berada di alam tanpa gangguan manusia yang tidak bertanggung jawab. 

Saya melihat ke atas, seolah-olah ada jalan setapak. Saya gembira sekali ternyata sudah bertemu dengan jalur manusia. Saya usaha semampunya untuk kesana, namun saya terkejut, jalur ini bukanlah jalur manusia, jejaknya jejak binatang. 

Oh Tuhan, jika saya ke sana hanya dua pilihannya, saya yang memakan hewan-hewan itu, atau saya yang jadi santapannya. 

Saya putuskan kembali ke jalur yang tadi. Saya harus bersiap karena sebentar lagi bulan akan menggantikan matahari. Saya harus mencari tempat berteduh, bertahan hidup malam ini, istirahat untuk menyimpan tenaga. 

Saya temukan batu namun tidak sebesar kemarin, dan hanya bisa menampung badan saja, kakiku tetap diluar. Ah tidak apa, tidak mendung cuacanya, tapi alam berkata lain. 

Malam itu hujan deras, cukup lama juga saya bertahan dalam keadaan basah dan dingin. Oh tuhan, cobaan apa lagi ini, saya seolah melihat kabut tebal, namun berbentuk manusia melayang ke arahku. Saya hanya bisa berdoa, setelah itu aku tertidur karena terlalu letih.

... Di dalam tenda, saya, Afi, Danis, dan Andik baru bangun. Dan seperti biasa Andik menyuruhku membuat sarapan untuk kami. Mereka tersenyum padaku. Saya membuka nesting dan memasak nasi dan telur untuk sarapan. Ketika saya makan, keadaan berubah! Saya terbangun karena saat itu aku muntah berkali – kali. Dan saya sadar, terbangun dari mimpi yang indah ...

Istighfar, hanya itu yang saya mampu dikatakan saat itu. Saya paksa tubuh untuk mampu terlelap lagi dengan kondisi yang ada.


Survival Hari Ke-3

Paginya saya bangun. “Ah...ini saatnya melanjutkan perjalanan”. Namun sebelumnya saya mengumpulkan air dari hujan semalam“. Hikmah hujan semalam, gumamku sambil tersenyum.

Berbicara sendiri, menyanyi dan seolah berbicara dan memohon kepada Alloh itu adalah hiburan yang ada saat itu. Benar kata orang yang mengalami nasib sama denganku saat sendiri dan tersesat di hutan. Kita akan merasa sangat butuh berkomunikasi, atau kita akan mengalami gangguan mental.

Setelah botol terisi dengan air, walaupun tidak sampai penuh. Saya lanjutkan lagi perjalanan. Hingga saya dihadapkan dengan tebing yang sangat amat curam dibanding tebing-tebing kemarin. Kedalaman antara 100-150m. 

Oh tuhan, saya tidak sanggup. Saya orientasi medan saat itu mencari jalan lain untuk sampai di dasar tebing. 

Setelah beberapa menit perjalanan saya istirahat, kebetulan saya melihat WALANG (bahasa jawa = belalang). saya tangkap, dan meminta maaf, sambil dan mematahkan kaki dan kepalanya. Kemudian saya telan mentah-mentah. Lumayan lah, dan saya bisa dapat dua ekor.


Teman-temanku Sudah Lapor Kepada TIM SAR

Pagi itu setelah sarapan walang. Saya dengar ada gemuruh kaki orang dan beberapa ada yang berbicara. 

Ya, saya yakin itu manusia. Saya teriak sekuat tenaga. “Tolooooooong”! 

Mereka menjawab “Rico?”, tanya mereka mengkonfirmasi apakah itu benar-benar saya. 

"Ya Pak", jawabku. Salah satu dari mereka memberi instruksi. 

"Cari tempat terbuka dan Lambaikan Kain ke arah Utara"! Posisi mereka ada di atas ketinggian sekitar 100-150m dari tempatku berada.

Setelah melihat posisiku lalu saya disuruh mencari tempat berteduh, dan tidur untuk menunggu beberapa menit sampai mereka tiba tempatku.

Setelah tertidur, sayup-sayup saya dengar suara panggilan dari Tim SAR, yang sekarang saya kenal dengan sebutan Mbah Gondrong, nama aselinya Agus Santosa. 

Tim SAR datang dan memberiku air minum dan Roti isi Coklat. Tubuhku belum mampu menerima makanan dan aminuman, dan muntah berkali-kali. 

Tim SAR bilang, "teruskan saja sampai tubuhmu nerima makanan, berarti kamu sudah siap melanjutkan perjalanan." Jam 1 siang, mereka bertanya, "Apakah sudah siap?" Saya jawab "ok". 

Sebelum jalan kita foto dulu, kata TIM SAR lain yang saya kenal sekarang, namanya Mas Misdi. 

Saya ganti celana abu-abu SMA yang sudah hancur dengan celana RAIN COAT milik TIM SAR. Memakai full body harness, dan dikaitkan dengan tali webbing yang disambung-sambung hingga panjang. Naik dari bawah ke atas dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. 

Cuaca saat itu sedang turun hujan. Saya diberi rain coat oleh salah satu dari Tim SAR. 

Saya dan Tim SAR naik ke atas, di mana mereka pertama kali menemukanku, dan setelah sampai di atas, saya baru tau ternyata itu adalah jalur pendakian merapi via Deles. Di dekat Pos II Deles. 

Sepanjang perjalanan saya dihibur oleh TIM SAR dengan saling bercanda. Ketika di tengah perjalanan kami break sejenak.

Saya terkejut mendengar penjelasan TIM SAR, bahwa saya adalah korban ke-3 yang selamat dari tempat ditemukan tadi. Survivor yang lainnya meninggal dunia. Innalillahi....


Kembali Pulang Ke Surabaya

Sekitar jam dua siang, saya sampai di jalur pendakian deles. Di sana saya dirawat oleh TIM SAR, ganti baju, diberi minyak gandapura, diberi makan Mie Instan dan Air Hangat, “Terima Kasih “, ucapku lemah. 

Kami lalu melanjutkan perjalanan ke POS Deles. Akhirnya pada pukul delapan malam kurang lebih, kami tiba di POS Deles. Sudah ada Mobil Ambulance dan Afi yang menungguku. 

Kami langsung menuju Rumah Sakit Cakra Husada Klaten. Setelah itu di RS, saya dirawat. Tak lama kemudian saya dengar suara ibu. Ternyata keluargaku menyusul dari Surabaya ke klaten. 

Tangis haru menyelimuti ruangan itu, di sana ada Kakak, Paman dan teman-temanku. Hanya ibuku yang tersenyum dan memelukku sambil berkata, “Mama yakin kamu selamat”. 

Setelah infusku habis kami berpamitan dengan TIM SAR yang baik hati dan tulus menolong tanpa mengharapkan apapun. Kami pun kembali pulang ke Surabaya.

MERAPI! Terima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini. Seumur hidup tak akan pernah saya lupakan.

Terima kasih TIM SAR Boyolali dan KLATEN. Terima kasih pada TNI yang bekerja sama dengan Tim SAR.

Terima Kasih WALANG. Matur Nuwun Sanget Mbah Gondrong, Mas Misdi, Mas Gimar. Dan semua yang telah menolong saya.

Saya gak akan melupakan jasa-jasa mereka semua. Terima kasih sekali lagi Merapi. Sampai jumpa lagi.




Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Senin, 12 Mei 2014

Hemat Air Sekarang Juga Yuk....

Semua aktivitas yang ada di muka bumi membutuhkan air. Tanpa air, apa jadinya mahkluk hidup? Ayo, hemat air! 



Air penting bagi kehidupan manusia. Air dimanfaatkan manusia untuk minum, mandi, mencuci, dan menyiram tanaman. Pertanyaannya adalah apakah persediaan air di bumi aman dan tidak terbatas? 

Aktivis lingkungan hidup Tony Clarke dan Maude Barlow dalam bukunya berjudul Blue Gold mengatakan tentang asumsi jumlah air di bumi tidak terbatas itu salah. Persedian air di bumi ada batasnya. 

Setelah mengetahui pernyataan dari kedua aktivis asal Kanada itu sudah sepantasnya kita menghemat air. Mulailah dari lingkup yang kecil seperti di rumah. 

Berikut tips menghemat air di rumah disarikan dari berbagai sumber: 
  1. Tidak menggunakan shower berlama-lama. Cobalah gunakan shower timeuntuk membatasi. Selalu ingat betapa berharganya air per liter. 
  2. Bila hendak menggosok gigi, berkumurlah dengan air di dalam gelas. Pastikan Anda cukup berkumur dengan air tersebut. 
  3. Kurangi penggunaan siraman pada toilet duduk. Tidak perlu berlebihan dalam menggunakannya. Jika bau dan kotoran hilang, tidak perlu menyiram toliet lagi. 
  4. Jangan pernah membiarkan keran air tidak terkontrol. Segera matikan keran air jika tidak digunakan untuk cuci tangan, piring, atau baju. Meski hanya tiga detik, setidaknya Anda sudah berusaha menghemat 50 persen kebutuhan air. 
  5. Segera perbaiki kebocoran keran atau pipa air. Membiarkan air terus menetes sama dengan membuang 90 liter air setiap minggu. Jadi pastikan Anda memperbaiki segala jenis kebocoran air yang ada di rumah. 
  6. Gunakan aerator keran. Ini sudah banyak dijual di toko. Aerator keran adalah komponen yang dipasang di ujung keran. Cara kerjanya adalah memecah aliran tunggal pada keran menjadi aliran kecil dalam jumlah banyak. Penggunaan aerator mampu membatasi aliran dari keran. Tujuh puluh persen rumah tangga yang memasang aerator mampu mengurangi penggunaan air sebesar 30 persen. 
  7. Jangan gunakan air bersih untuk menyiram jalanan berdebu. Sebaiknya manfaatkan air kotor, misal dari air cucian beras atau air rendaman baju. 
Meskipun usaha yang Anda lakukan kecil, tapi jika tidak kita yang memulai, siapa lagi?

Semoga bermanfaat

Sumber : Artikel dan Gambar dari berbagai sumber di internet

Ini Dia Perintis Gerakan Lingkungan Hidup Di Indonesia

Apa yang sudah Anda lakukan untuk lingkungan? Jika jawabannya belum saatnya Anda meneladani para perintis lingkungan hidup ini.




Pada 5 Juni 1972, Hari Lingkungan Hidup Sedunia untuk pertama kalinya diselenggarakan di Amerika Serikat. Gagasan tentang Hari Lingkungan Hidup Sedunia dimulai sejak senator Amerika Serikat Gaylord Nelson menyampaikan pidatonya di Seattle tahun 1969. Lewat kesempatan itu, Nelson mendesak agar kurikulum perguruan tinggi mulai memasukkan isu-isu perihal lingkungan hidup. Agar menyamai model kurikulum masalah anti perang. Ide Nelson itu kemudian disambut baik banyak pihak.

Akhirnya tahun 1990 dibentuk sebuah Anugerah Lingkungan Goldman oleh aktivis lingkungan dan filantrofis Richard N. Goldman. Anugerah Lingkungan Goldman (Goldman Environmental Prize) adalah sebuah penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada para aktivis lingkungan dari empat benua besar di dunia: Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika. Para pemenang dipilih oleh dewan juri internasional yang menerima nominasi rahasia yang dimasukkan sejumlah jaringan organisasi lingkungan dan individu.

Dari Indonesia ada tiga nama aktivis lingkungan yang sudah mendunia atas kegigihannya terus melestarikan lingkungan hidup di tempat mereka tinggal. Aleta Baun, Yuyun Ismawati, dan Henry Saragih.

Aleta Baun, Pejuang Lingkungan serta Budaya Masyarakat Mollo

Aktivis lingkungan yang lebih dikenal dengan sapaan “Mama Aleta” ini merupakan peraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013. Perempuan tangguh ini berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Sejak tahun 1996, Mama Aleta berusaha melakukan penyelamatan lingkungan, sosial, serta budaya masyarakat Mollo. Pada waktu itu Mama Aleta menggerakkan massa melawan dua perusahaan tambang yang menduduki bukit sakral untuk orang Mollo , sebab di bukit itu ingin dibangun perusahaan tambang yang akan mengeruk marmer. Perjuangan Aleta dan masyarakat Mollo pun membuahkan hasil pada 2007, izin operasional tambang di daerah tersebut pun dihentikan.

Yuyun Ismawati, Pendiri Bali Fokus

Lain cerita dengan yang dilakukan Yuyun Ismawati. Wanita alumnus Institut Negeri Bandung (ITB) ini memulai kiprahnya sebagai konsultan pemerintah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan NGO-nya sendiri, bernama Bali Fokus. Yuyun pun seorang pegiat lingkungan, dengan tangan dinginya ia ubah satu desa yang kumuh menjadi bersih.

Dikutip dari antara.com, pada Desember 2007, Yuyun bersama ketiga rekan aktivis WNA lingkungan dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) bahkan sempat ditahan polisi. Penahanan mereka dilakukan karena mengikuti aksi penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di Gedebage Bandung.

Insinyur ini berhasil menemukan alat pengolahan air rumah tangga yang disebut bio sand filter. Dengan alat sederhana ini, kualitas air yang digunakan warga bisa menjadi lebih baik dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap air minum kemasan.

Alhasil, seluruh limbah keluarga disalurkan pada satu saluran terpadu menuju instalasi pengolahan air limbah di pintu masuk desa. Setelah sistem pengolahan ini diterapkan, tak ada lagi limbah rumah tangga yang menggenang di jalan. Ibu dua putri ini pun menyebarluaskan sistem pengelolaan sampah dan sanitasi ke 300 kota kabupaten di Indonesia. Pun juga sudah diterapkan di Zambia, Afrika Selatan, dan Filipina.

Selain itu, wanita paruh baya ini “memaksa” para pebisnis hotel di Bali beserta masyarakat yang bermukim dekat kawasan hotel dalam mengelola sampah-sampah hotel untuk didaur ulang menjadi pupuk kompos hingga aneka barang kerajinan. Atas kerja kerasnya tersebut, Yuyun diganjar penghargaan yang sama diraih Mama Aleta di tahun 2009 di San Francisco, Amerika Serikat.

Henry Saragih, Pengusung Agroekologi

Berbeda dengan dua wanita sebelumnya, Henry bukanlah peraih Anugerah Lingkungan Goldman. Pria asli tanah Sumatra Utara ini adalah koordinator Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina) dengan lebih dari 200 juta anggota di 70 negara. Sejak tahun 2001, Henry mengusung Deklarasi Hak Asasi Petani agar dijadikan salah satu kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meski awalnya tidak digubris, pria ini tak pernah patah arang.

Pria kelahiran 1964 ini kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (1997-2012). Henry juga yang menjadi penggagas pergerakan tani selama masa reformasi. Ia lalu mengorganisasi petani di sepanjang Sungai Asahan. Membuat konstruksi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang sempat dilarang beroperasi oleh pemerintah. Namun, kenekatannya berhasil mengirim daya 20 kilowat untuk tiga dusun bagi 150 keluarga.

Selama ia menjabat, Henry terus mendesak PBB agar menyetujui hak asasi para petani serta melawan perusahaan multinasional yang membabat habis hutan tropis Sumatera. Konsep agroekologi - upaya pengolahan sumberdaya lahan permanen, baik dalam satu komoditi maupun kombinasi, misalnya: komoditi pertanian dan kehutanan - yang diperjuangkan olehnya, menjadikan Henry sebagai satu di antara 50 orang yang dianggap bisa menyelamatkan bumi menurut Guardian.

Sayangnya, gagasan tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup lambat laun menguap. Karena dalam kurun waktu 41 tahun sejak Hari Lingkungan Hidup Sedunia dicanangkan, pengeroposan ozon pun kerap terjadi, hutan terus dibabat , dan es abadi di Kutub Selatan pun ikut mencair. Maka, pada 22 April 2009, para pencinta lingkungan di penjuru dunia melakukan sebuah konferensi internasional. Alhasil kampanye itu mencanangkan kampanye baru “Generasi Hijau” dengan harapan semua orang dari seluruh golongan akan berpartisipasi melestarikan lingkungan.

Tujuan kampanye Generasi Hijau sangat mulia, antara lain mengembangkan ekonomi hijau, mengurangi penggunaan bahan bakar energi fosil, dan mempromosikan pola konsumsi yang ramah lingkungan.

Anda pun bisa menjadi sosok penyelamat lingkungan hidup seperti mereka. Jika tidak dimulai dari sendiri, siapa lagi yang akan menyelamatkan lingkungan tempat anak cucu kita nanti akan tinggal.

Semoga bermanfaat

Sumber : Artikel dan Gambar dari berbagai sumber di internet