Pada 5 Juni 1972, Hari Lingkungan Hidup Sedunia untuk pertama kalinya diselenggarakan di Amerika Serikat. Gagasan tentang Hari Lingkungan Hidup Sedunia dimulai sejak senator Amerika Serikat Gaylord Nelson menyampaikan pidatonya di Seattle tahun 1969. Lewat kesempatan itu, Nelson mendesak agar kurikulum perguruan tinggi mulai memasukkan isu-isu perihal lingkungan hidup. Agar menyamai model kurikulum masalah anti perang. Ide Nelson itu kemudian disambut baik banyak pihak.
Akhirnya tahun 1990 dibentuk sebuah Anugerah Lingkungan Goldman oleh aktivis lingkungan dan filantrofis Richard N. Goldman. Anugerah Lingkungan Goldman (Goldman Environmental Prize) adalah sebuah penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada para aktivis lingkungan dari empat benua besar di dunia: Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika. Para pemenang dipilih oleh dewan juri internasional yang menerima nominasi rahasia yang dimasukkan sejumlah jaringan organisasi lingkungan dan individu.
Dari Indonesia ada tiga nama aktivis lingkungan yang sudah mendunia atas kegigihannya terus melestarikan lingkungan hidup di tempat mereka tinggal. Aleta Baun, Yuyun Ismawati, dan Henry Saragih.
Aleta Baun, Pejuang Lingkungan serta Budaya Masyarakat Mollo
Aktivis lingkungan yang lebih dikenal dengan sapaan “Mama Aleta” ini merupakan peraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013. Perempuan tangguh ini berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Sejak tahun 1996, Mama Aleta berusaha melakukan penyelamatan lingkungan, sosial, serta budaya masyarakat Mollo. Pada waktu itu Mama Aleta menggerakkan massa melawan dua perusahaan tambang yang menduduki bukit sakral untuk orang Mollo , sebab di bukit itu ingin dibangun perusahaan tambang yang akan mengeruk marmer. Perjuangan Aleta dan masyarakat Mollo pun membuahkan hasil pada 2007, izin operasional tambang di daerah tersebut pun dihentikan.
Yuyun Ismawati, Pendiri Bali Fokus
Lain cerita dengan yang dilakukan Yuyun Ismawati. Wanita alumnus Institut Negeri Bandung (ITB) ini memulai kiprahnya sebagai konsultan pemerintah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan NGO-nya sendiri, bernama Bali Fokus. Yuyun pun seorang pegiat lingkungan, dengan tangan dinginya ia ubah satu desa yang kumuh menjadi bersih.
Dikutip dari antara.com, pada Desember 2007, Yuyun bersama ketiga rekan aktivis WNA lingkungan dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) bahkan sempat ditahan polisi. Penahanan mereka dilakukan karena mengikuti aksi penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di Gedebage Bandung.
Insinyur ini berhasil menemukan alat pengolahan air rumah tangga yang disebut bio sand filter. Dengan alat sederhana ini, kualitas air yang digunakan warga bisa menjadi lebih baik dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap air minum kemasan.
Alhasil, seluruh limbah keluarga disalurkan pada satu saluran terpadu menuju instalasi pengolahan air limbah di pintu masuk desa. Setelah sistem pengolahan ini diterapkan, tak ada lagi limbah rumah tangga yang menggenang di jalan. Ibu dua putri ini pun menyebarluaskan sistem pengelolaan sampah dan sanitasi ke 300 kota kabupaten di Indonesia. Pun juga sudah diterapkan di Zambia, Afrika Selatan, dan Filipina.
Selain itu, wanita paruh baya ini “memaksa” para pebisnis hotel di Bali beserta masyarakat yang bermukim dekat kawasan hotel dalam mengelola sampah-sampah hotel untuk didaur ulang menjadi pupuk kompos hingga aneka barang kerajinan. Atas kerja kerasnya tersebut, Yuyun diganjar penghargaan yang sama diraih Mama Aleta di tahun 2009 di San Francisco, Amerika Serikat.
Henry Saragih, Pengusung Agroekologi
Berbeda dengan dua wanita sebelumnya, Henry bukanlah peraih Anugerah Lingkungan Goldman. Pria asli tanah Sumatra Utara ini adalah koordinator Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina) dengan lebih dari 200 juta anggota di 70 negara. Sejak tahun 2001, Henry mengusung Deklarasi Hak Asasi Petani agar dijadikan salah satu kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meski awalnya tidak digubris, pria ini tak pernah patah arang.
Pria kelahiran 1964 ini kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (1997-2012). Henry juga yang menjadi penggagas pergerakan tani selama masa reformasi. Ia lalu mengorganisasi petani di sepanjang Sungai Asahan. Membuat konstruksi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang sempat dilarang beroperasi oleh pemerintah. Namun, kenekatannya berhasil mengirim daya 20 kilowat untuk tiga dusun bagi 150 keluarga.
Selama ia menjabat, Henry terus mendesak PBB agar menyetujui hak asasi para petani serta melawan perusahaan multinasional yang membabat habis hutan tropis Sumatera. Konsep agroekologi - upaya pengolahan sumberdaya lahan permanen, baik dalam satu komoditi maupun kombinasi, misalnya: komoditi pertanian dan kehutanan - yang diperjuangkan olehnya, menjadikan Henry sebagai satu di antara 50 orang yang dianggap bisa menyelamatkan bumi menurut Guardian.
Sayangnya, gagasan tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup lambat laun menguap. Karena dalam kurun waktu 41 tahun sejak Hari Lingkungan Hidup Sedunia dicanangkan, pengeroposan ozon pun kerap terjadi, hutan terus dibabat , dan es abadi di Kutub Selatan pun ikut mencair. Maka, pada 22 April 2009, para pencinta lingkungan di penjuru dunia melakukan sebuah konferensi internasional. Alhasil kampanye itu mencanangkan kampanye baru “Generasi Hijau” dengan harapan semua orang dari seluruh golongan akan berpartisipasi melestarikan lingkungan.
Tujuan kampanye Generasi Hijau sangat mulia, antara lain mengembangkan ekonomi hijau, mengurangi penggunaan bahan bakar energi fosil, dan mempromosikan pola konsumsi yang ramah lingkungan.
Anda pun bisa menjadi sosok penyelamat lingkungan hidup seperti mereka. Jika tidak dimulai dari sendiri, siapa lagi yang akan menyelamatkan lingkungan tempat anak cucu kita nanti akan tinggal.
Semoga bermanfaat
Sumber : Artikel dan Gambar dari berbagai sumber di internet
Semoga bermanfaat
Sumber : Artikel dan Gambar dari berbagai sumber di internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar