Minggu, 23 Februari 2014

Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan

Akhir-akhir ini, kita diperhadapkan dengan berbagai bencana banjir, tanah longsor, yang sepertinya sudah menjadi langganan tahunan di setiap musim penghujan. Kondisi ini tentunya berdampak pada timbulnya korban yang jika diperhitungkan secara ekonomis, sangat merugikan kita semua. Tidak satupun di antara kita yang menginginkan hal tersebut terjadi, akan tetapi dalam kenyataannya terjadinya kondisi tersebut tidak dapat dielakkan, tidak dapat ditolak jika memang waktunya akan terjadi. Lingkungan menunjukkan reaksi yang begitu keras terhadap umat manusia.
Kita hanya bisa menangis karena kehilangan berbagai harta benda serta sanak keluarga yang dicintai.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi bencana hidrometeorologi di seluruh Indonesia antara lain, banjir, longsor dan puting beliung yang telah menewaskan 137 orang, 1,1 juta jiwa warga mengungsi, 1.234 rumah rusak berat, 273 rusak sedang serta 2.586 lainnya rusak ringan. Selain itu kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan fasilitas publik lainnya. (Per awal Februari 2014)

Kondisi ini tentunya menjadi sebuah koreksi untuk kita, mengapa ini terjadi? Adakah yang salah dengan pengelolaan lingkungan hidup, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi hal yang tentunya sangat merugikan ini.

Sebagai umat yang beragama, kita semua meyakini bahwa alam diciptakan dengan sangat sempurna. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi hukum, maka setiap orang wajib hukumnya untuk menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara ini. Indonesia ikut berperan dalam berbagai deklarasi internasional yang berisi seruan moral untuk melaksanakan kewajiban dalam mempertahankan dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Berbagai deklarasi yang telah dihasilkan juga pada hakikatnya mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, demi untuk keberlanjutan kehidupan manusia baik untuk masa kini maupun masa depan.

Secara yuridis formal, kita memiliki UUD RI 1945 yang melalui proses amandemen telah mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan. Pengaturan ini tentunya membawa sebuah konskuensi yuridis, bahwa semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan UUD RI tahun 1945 sebagai norma tertinggi secara hirerkies dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian tentunya pada tataran empiris segala kebijakan yang dilakukan seyogyanya pro terhadap konstitusi.

Pada tataran empiris, ternyata banyak mengalami persoalan. Persoalan yang timbul salah satunya diakibatkan oleh ketidakkonsistenan kita dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan. Pelanggaran hukum seolah menjadi satu hal yang dianggap biasa saja. Kasus pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan terjadi dimana-mana butuh tanggung jawab seluruh umat manusia untuk membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan. Kehidupan manusia pada saat yang akan datang, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas lingkungan yang akan datang, yang pengelolaannya dan pelestarian fungsinya seyogyanya dilakukan secara berkelanjutan dan harus dimulai sekarang.

Sekadar deskripsi dari L. Latter yang ditulis L. R. Brown, mengenai sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Jika sebuah kolam teratai yang berisi selembar daun, dalam setiap hari jumlah daun tersebut berlipat dua. Dua lembar daun pada hari kedua, empat lembar daun pada hari ketiga dan seterusnya. Jika kolam tersebut penuh pada hari yang ketiga puluh, kapankah kolam tersebut berisi separuhnya? Jawabannya pada hari yang kedua puluh sembilan (dalam Suparto Wijoyo, 2005)

Deskripsi yang ditulis L.R. Brown di atas menarik, jika dikaitkan dengan persoalan lingkungan. Perhatian terhadap lingkungan sudah seharusnya menjadi perhatian utama dan butuh penanganan dari seluruh komponen, baik sebagai warga Negara, maupun sebagai bagian dari pemerintah. Kondisi ini sekaligus menuntut kita semua untuk menjunjung tinggi nilai-nilai untuk melaksanakan tanggung jawab moral kesadaran akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan agar tetap lestari. Kesadaran untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral tentunya tidak cukup dengan melakukan seruan, ataupun himbauan tanpa pemberian efek jera. Di sinilah pentingnya ketegasan serta komitmen untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan. Langkah ini dapat dilakukan sebagai upaya, baik secara pereventif untuk mencegah, maupun sebagai upaya yang sifatnya represif, sebagai wujud tanggung jawab hukum kita terhadap Negara.

Semoga bermanfaat

Teologi Lingkungan dan Etika Pemihakan

Manusia selalu memikirkan sisi eksploitatif dari lingkungan sehingga menyebabkan bencana.

Dengan bertubinya bencana alam menerjang negeri ini, kita didesak lebih berpikir dan bertindak secara arif terhadap alam atau lingkungan tempat kita berpijak dan mencari rezeki.

Itu karena terjadinya bencana alam umumnya disebabkan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Jadi, kesadaran mengenai perlunya kelestarian lingkungan harus dijadikan bagian dari kehidupan keimanan kita sebagai makhluk religius atau umat beragama.

Pertanyaannya, mengapa alam atau lingkungan kita kian rusak dan bencana pun tidak henti-hentinya menerjang negeri ini? Soal alam atau lingkungan kita yang kian rusak, itu tidak lain karena pemikiran teologi kita selama ini yang cenderung membenarkan hubungan “eksploitatif” antara manusia dan alam.

Manusia seperti memiliki kebenaran mutlak untuk menguasai alam demi kepentingan hidupnya. Itu seolah alam semesta ini hanya diciptakan untuk kepentingan manusia semata, bukan untuk dirinya (alam) sendiri.

Dengan demikian, kita lupa bahwa sesungguhnya kita memiliki spiritualitas yang mumpuni, pemikiran keagamaan, dan teologi yang andal soal tujuan penciptaan alam semesta, yang bukan semata-mata untuk manusia, tetapi juga untuk dirinya (alam) sendiri. Itu yang tidak boleh dicaplok begitu saja oleh manusia untuk kepentingannya, tanpa memperhatikan kelestariannya.

Dalam hal ini, pemikiran teologi kita yang menempatkan manusia sebagai pusat harus dicairkan. Itu dengan mengembangkan pemikiran teologi yang menempatkan seluruh ciptaan sebagai saudara yang saling membantu dan melengkapi.

Teologi Lingkungan

Dengan demikian tercuat pertanyaan, dari perspektif mana sebuah teologi dibangun dan dikembangkan, terutama yang menyangkut teologi lingkungan? Pertanyaan ini harus dielaborasi lebih dulu dengan menegaskan, kerusakan lingkungan yang terus terjadi berefek langsung pada munculnya bencana alam yang tiada henti.

Itu telah mendorong kita melihat bahwa teologi lingkungan saat ini perlu dihadirkan kembali untuk menggugah semangat umat manusia di bumi dalam mencapai soteriologi rumah tangga dunia.

Landasan epistemologis dari teologi lingkungan adalah kesadaran agama-agama bahwa krisis lingkungan sudah sangat parah saat ini sehingga bencana alam pun terus menerjang umat manusia.

Hal tersebut bukan semata problem “sekuler”, melainkan juga merupakan problem “religius” atau problem “teologis”. Kesalahan pemikiran teologislah yang mendorong manusia mendominasi, menguasai, dan mengeksploitasi alam tanpa batas, bahkan dengan sangat serakah.

Ini dinilai dari cara pandang umat kristiani abad pertengahan, tentang posisi manusia dengan alam. Pandangan itu menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, semua ciptaan lain harus tunduk kepadanya. Jadi, teknologi pun dikembangkan sebagai sarana eksploitasi alam dengan alasan demi kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

Untunglah dalam perkembangan kemudian, ketimpangan cara pandang itu perlahan tapi pasti dirombak. Penekanan yang berlebihan tentang kemahakuasaan Tuhan dalam monoteisme yang menjadi landasan legitimasi eksploitasi alam diubah dengan menempatkan Tuhan sebagai penjaga, perawat, pemelihara, dan pelindung lingkungan (Tuhan yang ekouniversal).

Mandat budaya untuk menguasai alam tidak lagi dipahami dalam koridor manusia sebagai penakluk dan penguasa alam, tetapi sebagai titipan kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan memeliharanya.

Perspektif lingkungan dalam Alkitab (Kejadian) tidak bisa lagi dibaca dan dipahami secara berat sebelah dengan menekankan pada penguasaan manusia pada segenap ciptaan lainnya. Kata “penguasaan” dan “penaklukan” dalam Alkitab (Kejadian) harus lebih diartikan sebagai kekuasaan merawat, memelihara, dan melindungi.

Setelah diciptakan, manusia ditempatkan di Taman Eden. Itu tidak lain harus dimengerti dalam suasana merawat dan memelihara segenap ciptaan di Bumi. Jadi, Alkitab juga tidak dinilai sebagai kitab yang tidak peduli lingkungan, tetapi justru sebaliknya, sebagai kitab yang peduli lingkungan.

Jadi, pengembangan teologi lingkungan peduli pada alam yang menempatkan manusia sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta perlu digemakan dan dibumikan. Penggemaan dan pembumian teologi lingkungan ini bertujuan mendekonstruksikan dan menguji kembali sikap iman kita terhadap lingkungan dan atau alam semesta. Itu demi tercapainya keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.

Etika Pemihakan

Kini, tidak ada jalan lain bagi segenap umat beragama selain segera dan terus-menerus membangun pemikiran teologis yang mampu memberikan sumbangan dan berperan serta dalam tanggung jawab etis di bidang penyelamatan lingkungan. Pengendalian diri dalam pengeksploitasian alam atau lingkungan dinilai dari lahir dan berkembangnya pemikiran serta semangat itu.

Dalam hal ini, manusia zaman ini perlu mengkaji dan mempelajari lagi pemikiran teologi yang berkembang selama ini, yang terpengaruh pemikiran teologi Barat, terutama abad pertengahan.

Itu dengan kembali menempatkan manusia dalam posisi yang memiliki tanggung jawab moral dan etis dalam relasi dengan kosmos atau alam semesta. Dalam dimensi etis, manusia harus berpihak pada alam atau lingkungan dengan selalu bersikap bijak dalam berelasi dengan alam atau lingkungan, tempat ia berada, berpijak, dan berelasi.

Hal yang dibutuhkan kini adalah pembangunan etika baru yang memosisikan manusia dalam berelasi dengan alam. Itu karena objek hidup, seperti alam dan dunia, tidak akan ada dan berubah kecuali di dalam persepsi si subjek, manusia. Itu dalam penempatan diri secara tepat dan benar di tengah alam.

Jika manusia salah memosisikan dirinya dan menempatkan alam sebagai objek yang harus dikuasai, kemudian alam pun dieksploitasi, alam akan berbicara atas dasar tindakan manusia itu. Jika alam dirusak terus-menerus, tentu bencana alam datang sebagai tindakan protes alam terhadap manusia.

Artinya, perlu etika pemihakan pada alam atau lingkungan sebagai bentuk implementasian pemikiran teologi di atas. Itu adalah perangkat etika yang mampu dengan cerdas memihak alam dan atau lingkungan.

Itu etika yang memberi kepedulian, perlindungan, sekaligus perawatan terhadap alam dan lingkungan, etika yang mampu mencegah arogan dan dominasi manusia yang tidak bertanggung jawab atau tidak bertindak etis terhadap alam dan lingkungan.

Dengan demikian, alam dapat terbebaskan dari kerusakan yang lebih parah. Itulah yang disebut sebagai etika pemihakan. Kita tidak bisa lagi hanya terpaku dan membisu, atau hanya sebagai penonton yang pasif di tengah eksistensi alam yang tidak henti-hentinya digerogoti dan dirusak sehingga bencana alam terus menerjang negeri ini.

Semoga bermanfaat

Teologi Lingkungan

Tersedianya lingkungan hidup yang nyaman dan bersahabat dengan manusia beserta makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya merupakan dambaan setiap manusia.

Sebaliknya,tidak ada satu orang pun yang menginginkan terjadinya bencana alam, baik dalam skala kecil maupun—apalagi—dalam skala besar. Bumi diciptakan sebagai tempat hidup yang nyaman,bukan mengancam. Di sisi lain,negara juga memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia amendemen kedua menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dipertegas lagi dalam Pasal 65 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Semakin memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diyakini dapat memengaruhi dinamika sosial, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Pada akhirnya krisis lingkungan hidup secara langsung mengancam kenyamanan dan meningkatkan kerentanan kehidupan setiap warga negara.

Komitmen Ulama

Lalu bagaimana Islam memandang tindakan mencemari lingkungan? Apa hukumnya mencemari lingkungan? Selama ini ada kritik yang dilontarkan sebagian pihak bahwa ulama di Tanah Air belum pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum mencemari dan merusak lingkungan. Ulama di Tanah Air dinilai sebagian kalangan cenderung menetapkan fatwa yang dinilai kurang penting. Anggapan itu sangat tidak beralasan sebab para ulama Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan fatwa terkait masalah penyelamatan lingkungan hidup.

Dalam Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya pada 1994, para ulama telah membuat fatwa tentang pencemaran lingkungan. Fatwa itu ditetapkan ulama NU berawal dari kebijakan industrialisasi yang ternyata berdampak pada rusaknya lingkungan. Saat ini masih ada pelaku industri yang masih nakal dengan membuang limbah industri secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu.Akibatnya, lingkungan sekitar seperti sungai, tanah, dan udara menjadi rusak dan kotor. Tak hanya industri, limbah domestik yang dibuang secara sembarangan oleh masyarakat pun berdampak pada rusaknya lingkungan.

Lalu bagaimana hukum mencemarkan lingkungan? Ulama NU bersepakat bahwa hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air, maupun tanah, apabila menimbulkan kerusakan, hukumnya haram. “Tindakan seperti itu juga termasuk perbuatan kriminal (jinayat)”, begitu bunyi fatwa tersebut. Lalu bagaimana konsep Islam dalam mengenai ekses pencemaran lingkungan? Menurut para ulama NU, ada dua solusi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,apabila ada kerusakan, wajib diganti oleh pencemar.

Kedua,memberikan hukuman yang menjerakan terhadap pencemar yang pelaksanaannya sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Ajaran Islam,menurut para ulama NU, melarang umatnya membuat kerusakan di muka bumi. Hal itu sesuai firman Allah SWT dalam surah Al- A’raf ayat 56: “Janganlah Kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik”. Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya agar tak melakukan pencemaran dan kerusakan di muka bumi: “Terlaknat orang yang melakukan kerusakan terhadap sesama muslim ataupun lainnya”.

Sikap Rasulullah yang melaknat pelaku kerusakan lingkungan merupakan bukti bahwa Islam cinta kelestarian alam. Para ulama NU pun menjelaskan adab bagi umat muslim agar tak mengganggu tetangganya karena pencemaran. “Apabila pemilik rumah membangun dapur api di rumahnya dan asapnya mengganggu tetangganya, hal itu tidak boleh,” tutur fatwa itu mengutip Kitab Al Ahkam al Sulthaniyah.

Larangan Privatisasi Energi Primer

Islam agama yang menekankan kebersamaan, baik dalam menjaga maupun memanfaatkan sumber daya alam.Kekayaan sumber daya alam adalah anugerah Tuhan yang harus dikelola dengan cara yang baik, memberi kemaslahatan untuk sebesarbesar umat manusia,bukan untuk individu dan perorangan. Islam melarang kerakusan dan mengecam penumpukan kekayaan berlebihan. Alquran (QS Al-Taubah/9: 34-35) mengecam mereka yang menimbun emas dan perak secara rakus untuk keperluan pribadi.

Kelak emas dan perak itu akan dipanaskan di neraka jahanam untuk menyetrika dahi, lambung, dan punggung mereka. Islam mendorong pemerataan dalam pemanfaatan sumber daya alam agar tidak dikuasai oleh orang per orang. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah,Nabi menyatakan: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (almuslimun syuraka’ fi tsalatsatin, fil ma’i wal kala’i dan wan nar – HR Abu Dawud,Ahmad, Ibnu Majah). Kenapa Nabi melarang penguasaan tiga hal ini secara perorangan?

Karena tiga hal ini adalah barang publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Perlu diingat, konstitusi kita juga menganut prinsip kebersamaan dan kegotong-royongan ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Sekuat apa pun dalil konstitusi, sungguh disayangkan, kini kenyataannya,sektorsektor strategis seperti migas, batu bara, mineral, air, kehutanan, dan perkebunan kini telah diswastanisasi, dikuasai oleh asing dan swasta. Kita tidak boleh beranggapan swastanisasi dan privatisasi adalah sebuah kewajaran dari perjalanan kemajuan zaman.

Kita harus sadar, semakin tua bumi semakin letih.Bumi yang semakin panas karena lapisan ozon yang menipis adalah akibat “kemajuan” yang serakah dan hasrat “memiliki” yang tak kunjung padam. Patut disesali, tak sepenuhnya kita sadar akan sifat rakus yang sering kita rawat dan manja itu. Manusia yang semula berderap maju menundukkan alam, pada masanya nanti seolah tak berdaya, terpana di depan alam yang hampir hancur. Berpijak pada kesadaran itu,perlu kita wujudkan hidup berdampingan dengan bumi dalam sebuah harmoni. Bumi memiliki irama dan jalinan ikatan yang akrab dengan manusia.

Untuk mewujudkan keseimbangan alam, tidak ada salahnya kita kembali kepada prinsip-prinsip kebersamaan, yang lebih dekat dengan ajaran Islam dan konstitusi nasional. Sebagai khalifah di bumi, manusia mempunyai tugas mulia untuk bergandengan tangan secara harmonis dengan alam. Siapkah kita?

Semoga bermanfaat

Bencana dan Konsep Tata Ruang

Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Tanah Air, baru-baru ini memunculkan seruan bernama “tobat ekologis”. Yaitu, bertobat atas segala dosa-dosa yang dilakukan terhadap lingkungan hidup. Bencana perlu dijadikan bahan renungan bagi semua warga bangsa tentang bagaimana mencegah dan menyikapi bencana serta membangun solusi untuk keluar dari persoalan bencana ini.

Bencana mengingatkan tentang fenomena memprihatinkan sekaligus menantang terkait masih banyaknya daerah-daerah di Indonesia yang belum menyelesaikan rencana umum tata ruang dan wilayah. Padahal, hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah. Sebagai akibatnya, pembangunan lebih dari 400 infrastruktur terbengkalai dan banyak potensi yang tak bisa dimanfaatkan.

Padahal dengan tata ruang, kegiatan pembangunan di berbagai sektor akan terarah. Suatu daerah akan dengan sangat jelas terpetakan ruang-ruang di dalamnya. Kawasan A, misalnya, cocok untuk kegiatan pertanian budidaya, kawasan B cocok untuk hutan produksi, kawasan C (permukiman), kawasan D (pengembangan industri), kawasan E (ruang terbuka hijau – RTH) dan sebagainya. Dengan demikian, kegiatan investasi pun akan dengan jelas pula terpetakan, sementara keberlanjutan ekologis juga tetap terjaga. Problem lingkungan yang sering muncul di era otonomi daerah adalah akibat daerah tidak memiliki konsep tata ruang yang jelas.

Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada kabupaten dan kota dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Dengan demikian jelas bahwa soal penyusunan tata ruang, “bola panas” itu ada di pemerintah daerah (kabupaten/kota). Pertanyaannya, mengapa hingga kini banyak daerah belum memiliki konsep tata ruang?

Pertama, aparat di daerah belum memiliki perspektif yang utuh tentang pentingnya tata ruang. Kegiatan penyusunan tata ruang pun belum dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan.

Kedua, aparat di daerah belum mau bekerja “sedikit lebih keras”. Memang, pekerjaan menyusun konsep tata ruang selain membutuhkan keilmuan yang memadai, juga memerlukan komitmen dan kerja keras dalam menghasilkan konsep tata ruang yang berkualitas. Kebiasaan aparat pemerintah daerah lebih suka berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administratif membuat penyusunan tata ruang hampir tak tersentuh.

Ketiga, kurangnya kreativitas aparat pemda (termasuk anggota DPRD) dalam pelaksanaan pembangunan secara lebih kritis dan rasional. Ada gejala cukup menonjol di hampir semua pemerintah kabupaten/kota bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh sentralistik. Mereka pun lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya.

Keempat, aparat di daerah kurang “percaya diri” untuk menyusun tata ruang daerah. Pekerjaan menyusun tata ruang pun diserahkan begitu saja kepada konsultan. Sebenarnya tidak salah menggaet konsultan untuk penyusunan tata ruang, tapi jangan menyerahkan sepenuhnya, sementara pemerintah daerah sebagai tuan rumah yang tentu lebih mengetahui jati diri dan seluk-beluk daerah dengan segala potensinya justru tidak melibatkan diri sama sekali.

Berbagai kondisi tersebut masih harus diperparah dengan belum tersusunnya kelembagaan yang efektif di daerah serta belum terbangunnya sistem dan regulasi tentang aparatur pemerintah daerah yang jelas dan tegas. Otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan suatu iklim daerah yang kondusif, termasuk dalam penyusunan rencana tata ruang. Maka, berbagai upaya dalam meningkatkan kapasitas aparat pemda perlu dilakukan. Bagaimanapun komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai.

Pertama, tingkat sistem, berupa penyusunan peraturan perundang-undangan daerah (perda), pedoman dan standar kompetensi sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah, sistem rekruitmen, pola karir, dan sistem reward, serta kebijakan dan pengaturan kerangka kerja yang relevan. Khusus untuk sistem reward perlu mendapatkan penekanan karena sistem ini akan mendorong aparat pemerintah daerah untuk akrab dengan risiko dan tidak takut gagal.

Kedua, tingkat kelembagaan, berupa penataan struktur organisasi, proses pengambilan keputusan dan prosedur lain, sistem informasi manajemen dan hubungan antar organisasi.

Ketiga, tingkat individual, berupa pengembangan kompetensi, keterampilan dan kualifikasi individu, pengetahuan, sikap, etika dan motivasi. Arah pengembangan diprioritaskan pada terwujudnya kompetensi dalam pelayanan publik, pengembangan ekonomi lokal, keuangan daerah, dan investasi. Pada tingkat individu ini perlu adanya penekanan tanggung jawab individual. Hal ini penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan akuntabilitas.

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat sangat diperlukan mengingat masyarakat adalah pelaku yang secara konsisten ataupun tidak konsisten dalam pemanfaatan ruang. Berbagai elemen masyarakat pada dasarnya terlibat dalam pembangunan di daerah seperti administrator pembangunan, politisi, spesialis, teknisi, anggota kelompok tani, pedagang, pelaku bisnis, manajer perorangan, guru, anggota lembaga keuangan dan organisasi-organisasi lainnya. Kontribusi berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan dalam perencanaan tata ruang.

Akhirnya guna mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) dan sistem pembangunan yang berkelanjutan maka diperlukan suatu perencanaan yang matang, partisipatif dan transparan, terutama yang menyangkut potensi wilayah sebagai modal dasar bagi pembangunan.

Semoga bermanfaat

Menanam Pohon untuk Siapa ?




Merenungi makna “sebibit, setaman, hingga sehutan Indonesia” sejatinya merupakan proses kearifan budaya sejak awal bumi terhampar. Dalam wujud pohon terdapat simbol-simbol siklus peradaban, yang tak berujung tapi diyakini sebagai pengabaran makrokosmos-mikrokosmos.

Artinya, ada ke-bhinneka-an makna yang juga bersifat tunggal, bahwa muara pengembangan kehutanan adalah juga ketanggapan akan isyarat-isyarat energi alam dan kuasa ketuhanan.

Sangat menarik menyiasati idiom-idiom purba tersebut. Kita, misalnya, bisa menyimak betapa sebibit pokok yang unggul akan diyakini menghasilkan keturunan yang andal pula: sehat dan memiliki masa depan. Di sinilah bermula lingkaran perjalanan menuju peradaban forestasi. Sebab, ketika sekumpulan bibit itu menjadi “setaman”, yang terbentuk adalah keragaman substansial. Pada “setaman” kita temukan embrio komunitas yang mempunyai potensi berkembang biak membentuk masyarakat makronya.

Bahkan, saat satu bibit menjadi satu taman dan terus berkembang menjadi satu hutan—yang kelak bernama Indonesia kita diingatkan akan proses terbentuknya sebuah lokalitas yang berkembang secara dialektis, sehingga mencapai bingkai apa yang kelak kita kenal sebagai NKRI.

Sebagai kompensasinya, adalah suatu kewajiban jika kita kemudian mengkhidmatkan sepenuh kemurahan dan kerahiman hutan itu bagi sebesar-besarnya kemaslahatan dan kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.

Banyak Rezeki

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah yang bertanggung jawab terhadap iktikad sebibit, sepohon, setaman, sehutan Indonesia ini?

Tentu saja tanggung jawabnya berjenjang, mulai dari kesadaran individual, keluarga, komunitas, hingga kesadaran nasional. Hutan, seperti juga tubuh manusia, memerlukan perawatan dan perawatan agar tetap sehat, segar, dan mendapatkan keleluasaan untuk hidup. Melihat kondisi yang sudah sedemikian parahnya, tak ada lagi yang harus dilakukan kecuali memulai peningkatan upaya rehabilitasi hutan ke keadaan semula.

Berangkat dari pemikiran ini, pencanangan program Banyak Pohon Banyak Rezeki maupun Indonesia Menanam 1 Miliar Pohon (OBIT, One Billion Indonesian Trees) pada hakikatnya merupakan sumbangan bagi penumbuhan energi di masa depan. Program ini tidak hanya akan memugar kawasan hutan Indonesia, tetapi juga berdampak luas terhadap pencerahan ekonomi, ekosistem, ekowisata, ekokultural, rehabilitasi lahan, dan penetapan kawasan hutan secara cermat.

Memelihara hutan Indonesia tidak berarti lain kecuali memelihara bumi semesta jua. Inilah sumbangsih terbesar “sehutan Indonesia” untuk dunia.

Yang menarik, program-program forestasi selalu direspons positif oleh banyak kalangan. Simak adanya kegiatan menanam sejak bertahun lalu dengan berbagai program, di antaranya GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), One Man One Tree (OMOT) yang diamanatkan Keppres No. 24/2008.

Implementasi gerakan budaya menanam terus dikumandangkan dengan berbagai aksi, di antaranya mahar pohon, duta One Man One Tree, sukarelawan bintang iklan One Man One Tree, Menulis Hutan Membaca Dunia, dan sebagainya.

Tak hanya itu, adanya penanaman pohon ketika ibu melahirkan yang dilanjutkan sosialisasi di semua lini merupakan gerakan kebudayaan menanam yang mencerahkan. Terlebih, program forestasi ini dilanjutkan dengan menanam 1 miliar pohon untuk dunia dan tindak lanjut program-program lainnya.

Bunda Alam

Sebibit, sepohon, setaman, sehutan Indonesia tanggung jawab siapa? Kali ini, pertanyaan itu seharusnya terjawab. Sebab, aura rakyat untuk menanam menjadi perilaku yang menjanjikan. Bahkan, kita simak melimpahnya upaya gerakan masyarkat peduli terhadap pohon hutan Indonesia. Ada yang dilakukan secara perorangan, yang tetap konsisten melestarikan hutan.

Mereka adalah pahlawan, orang-orang kecil yang tidak memerlukan publikasi. Dan memang, para pahlawan sejati tidak berharap penghargaan.

Adalah hal yang menarik, karena lingkungan penambangan kerap berbenturan dengan pelestarian kehutanan. Maka, salah satu korporasi yang bergerak di bidang tambang, yaitu Pertamina, dalam beberapa kegiatan berupaya menajamkan kepedulian terhadapap ekologi kehutanan.

Tentu saja kiprah penjaga energi pohon itu wajar diposisikan menjadi salah satu elemen dunia usaha untuk melakukan kegiatan penanaman, menanamkan budaya menanam sejak dini dan bekelanjutan. Tak pelak, kiprah ini mencerminkan kearifan akan kelestarian hutan. Mereka telah memosisikan budaya menanam pohon dan pelestarian sebagai nilai tradisi Indonesia.

Semoga bermanfaat

Jumat, 14 Februari 2014

Catatan Erupsi Gunung Kelud Dari Zaman Majapahit Sampai Hari ini

“We are living and sleeping with earthquakes and volcanic eruptions, be alert!”

Dari catatan sejarah letusan sejak 1376 M, letusan Kelud biasanya eksplosif/meledak dan besar, tetapi berlangsung satu-dua hari. Maka semoga letusan Kelud kini pun tak berlangsung lama.

Gunung Kelud (1731 m dpl), Jawa Timur, setelah menunjukkan peningkatan aktivitas signifikan seminggu terakhir, akhirnya meletus hebat kemarin malam pada pukul 22.50 WIB Kamis 13 Februari 2014, membuat sibuk kegiatan evakuasi sampai kini. Letusan pertama Kelud terjadi 90 menit setelah gunungapi aktif ini dinaikkan statusnya menjadi ”awas”, status tertinggi aktivitas gunungapi menjelang meletus. 

Abu volkanik dilaporkan terus turun sampai saat ini di banyak tempat baik ke timur maupun barat: Surabaya, Malang, Yogya, Solo, bahkan sampai Ciamis. Bandara-bandara di Yogya, Solo, Surabaya ditutup sementara. Kegiatan evakuasi penduduk yang terancam langsung letusan Kelud pun masif, sebab wilayah radius 10 km harus dikosongkan, berarti sekitar 200.000 penduduk dari 36 desa harus dipindahkan ke tempat-tempat pengungsian, 78 tempat pengungsian telah disiapkan. Maka, letusan Kelud ini telah mengacaukan banyak rencana dan agenda. Begitulah bila sebuah gunungapi meletus di wilayah padat penduduk. 

Merapi, Kelud, Semeru, Bromo adalah empat gunung paling aktif di Jawa. Untuk Jawa Timur, Kelud adalah gunungapi termasuk paling aktif dan terkenal pernah menelan korban tewas yang banyak. Kelud pun cepat sekali aktivitasnya, dalam beberapa hari saja ia bisa meningkat terus statusnya sampai akhirnya meletus. Seperti letusan saat ini, Kelud diawali oleh peningkatan kegempaan yang signifikan sejak 7 Februari, tanda magma tengah naik menuju puncaknya, diperkirakan berasal dari kedalaman 1,5 – 3,5 km di bawah puncak gunung setinggi 1,7 km di atas muka laut itu. Kemudian pada 11 Februari 2014 status Kelud dinaikkan menjadi status 3 (siaga), 13 Februari 2014 sekitar pukul 21.30 WIB status Kelud dinaikkan menjadi status 4 (awas), dan sekitar 90 menit kemudian Kelud pun meletus hebat. Penduduk sudah mulai dievakuasikan sebelum Kelud meletus. Peningkatan status dalam bilangan hari atau jam ini menunjukkan Kelud sangat aktif bila mau meletus.

PARARATON MENCATAT LIMA KALI LETUSAN KELUD ZAMAN MAJAPAHIT

Kelud pun adalah gunungapi yang rajin meletus selama zaman Majapahit.

Kitab Pararaton, sebuah kronik sejarah yang selesai ditulis pada 1535 Syaka (1613 M) yang menceritakan peristiwa-peristiwa kerajaan maupun hal lainnya pada zaman Kerajaan Singhasari dan Majapahit mencatat terjadi lima kali letusan Gunung Kelud pada zaman Majapahit (1293-1521 M).

1. …Lalu terjadi peristiwa gunung meletus pada Minggu Madasia, tahun pendeta-sunyi-sifat-tunggal (1307 Syaka/ 1385 M), tahun pendeta-sunyi-sifat-tunggal adalah sandi tahun surya sengkala.
2. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Prangbakat, pada tahun muka-orang-tindakan-ular (1317 Syaka/ 1395 M).
3. Lalu terjadi gunung meletus di dalam minggu Kuningan pada tahun belut-pendeta-menggigit-bulan (1373 Syaka/ 1451 M).
4. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Landep pada tahun empat-ular-tiga-pohon (1384 Syaka/ 1462 M).
5. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Watu Gunung pada tahun tindakan-angkasa-laut-ekor (1403 Syaka/ 1481 M).

Pararaton tidak menyebut langsung bahwa letusan-letusan itu letusan Kelud, tetapi saya sudah mengecek tahun-tahun syaka Pararaton tersebut terhadap data dari literatur volkanologi lainnya (misalnya Kusumadinata, 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi), sehingga bisa diyakini bahwa letusan-letusan gunungapi di Pararaton itu adalah letusan Kelud).

Letusan nomor 5 patut dicurigai sebagai yang dimaksud dengan berakhirnya masa kejayaan Majapahit dalam surya sengkala Sirna-Ilang-Kerthaning-Bhumi (1400 Syaka/1478 M), meskipun ada selisih tiga tahun. Letusan 1481 M itu yang mendasari Babad “Guntur Pawatu Gunung”, sebuah kronik sejarah lainnya menjelang berakhirnya Majapahit.

Bisa dilihat bahwa Kelud adalah gunungapi aktif dalam masa sejarah pun. Dan menurut hukum uniformisme geologi bahwa apa yang terjadi dulu terjadi pula pada masa kini, dibuktikan oleh aktivitas Kelud sampais sekarang.

ERUPSI GUNUNG KELUD

Dari berbagai literatur ditulis bahwa catatan pertama gunungapi ini meletus adalah pada tahun 1000 M (Raffles, 1817), berupa letusan di dalam danau volkaniknya. Dan sejak itu, Kelud telah meletus sebanyak 30 kali. 

Kusumadinata (1979) mencatat letusan-letusan selanjutnya terjadi tahun: 1311 M, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, (tahun-tahun ini tercatat sebagian besar di Pararaton), 1548, 1586, 1641, 1716, 1752, 1771, 1776, 1785, 1811, 1825, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1920, 1951, 1966, lalu Volcano Discovery meneruskan catatan Kusumadinata (1979) bahwa letusan Kelud berlanjut pada 1990, 2007 (pertumbuhan sumbat lava), dan sekarang (2014). 

Letusan Kelud umumnya bersifat eksplosif (meledak). Letusan eksplosif ini terjadi sejak 1376. Letusan-letusan besar yang pernah terjadi dan memakan banyak korban adalah pada 1586 (menewaskan 10.000 jiwa, Brascam 1918), 1919 (menewaskan 5160 jiwa). Erupsi Gunung Kelud dari sejarah letusannya biasanya berlangsung 1-2 hari dan tidak pernah terjadi berbulan-bulan. Tetapi bahaya lanjutannya adalah lahar dingin bila terjadi hujan yang meruntuhkan endapan-endapan letusan dari puncak ke kaki.

Korban besar terjadi karena lahar panas sebab Kelud punya danau kawah yang sangat besar, dan saat letusan air volkanik panas ini ikut diletuskan lalu bercampur dengan berbagai materi letusan dari batu sampai abu, bercampur dengan air panas dan mengalir ke kaki pada setiap lembahnya atau bisa meluap keluar dari lembah dan menelan apa saja yang dilaluinya. 

Karena air kawahnya begitu berbahaya maka sejak zaman Belanda telah diupayakan mengurangi air kawah Kelud ini dengan membuat terowongan dari dinding luar kawah ke dalam kawah untuk mengurangi air kawah. Upaya pertama dilakukan pada 1907 mengikuti letusan pada 1901. Tetapi nampaknya kurang efektif sebab letusan pada 1919 masih menelan lebih dari 5000 korban manusia. Lalu terowongan dari berbagai arah dibuat lagi, misalnya dikerjakan pada 1919-1923. di dalam zaman kemerdekaan, Indonesia pun meneruskan membuat terowongan dari berbagai arah. Upaya pembuatan terowongan terakhir adalah pada 1966/1967. Terowongan-terowongan ini kadang-kadang efektif, kadang-kadang tidak, sebab beberapa kali letusan bisa menghancurkan terowongan ini.

Letusan khas Kelud yang selalu terjadi adalah eksplosif, menyebar kerikil, pasir, dan abu jauh ke angkasa lalu jatuh kembali ke permukaan Bumi meliputi kawasan yang luas. Dikabarkan bahwa letusan Kelud melontarkan material volkanik sampai setinggi sekitar 17 km. Kolom setinggi itu wajar bila akan menyebar abu sampai lebih dari 500 km dari lokasi letusan. Di samping lahar panas, Kelud pun bisa dan pernah menyebar awan panas sebab gunung ini juga kadang-kadang punya sumbat lava erupsi lama, dan ketika lavanya terdorong erupsi baru, lalu runtuh menuruni lereng maka menjadi awan panas yang akan membakar apa pun yang dilaluinya. 

Oktober-November 2007 terbentuk sumbat lava baru yang tumbuh hampir menutupi seluruh danau kawah volkanik. Sejak itu sumbat lava ini menjadi objek wisata. Kini, dengan letusan kemarin bisa saja sumbat lava ini telah tidak ada dilontarkan erupsi, kita bisa mengetahuinya setelah Kelud berhenti meletus 

Kelud adalah satu gunungapi yang duduk di jalur gunungapi Jawa atau Indonesia yang melingkari wilayah Indonesia. Seperti banyak gunungapi lainnya di Jawa, Kelud adalah gunungapi yang dibentuk berhubungan dengan lelehan material magma dari mantel dan lempeng samudera yang menunjam masuk ke bawah Jawa pada kedalaman antara 100-200 km. Panas menyebabkan material mantel dan air dari lempeng samudera membentuk magma lalu naik ke permukaan karena panas dan di permukaan membentuk gunung-gunungapi.

Sebagai gunungapi di Jawa, maka bentuk Gunung Kelud adalah stratovolcano dengan materi utama berkomposisi andesitik. Danau kawahnya yang terkenal menambah kekhasan Kelud, menjadi objek wisata, tetapi danau inilah yang menjadi penyebab bahwa gunungapi ini pernah menelan korban sekitar 15.000 orang ditelan lahar panas. 

Kelud punya beberapa puncak satelitnya di sisi timur, barat, dan selatan baratdaya, ini disebabkan sumbat-sumbat lava tumbuh acak di sekelilingnya. Letusan-letusan pun terjadi umumnya berganti-ganti dari beberapa kawah parasit/satelit bergiliran dengan pola memutar searah jarum jam.

Berdasarkan sejarahnya, letusan Kelud eksplosif dan besar, terjadi sehari atau dua hari. Semoga kini Kelud pun akan segera berhenti meletus, dan tidak ada korban jiwa jatuh.




Semoga bermanfaat

Catatan dari : Awang Satyana

Kamis, 13 Februari 2014

Batu Bara Mematikan !!!

Batubara sebagai bahan bakar telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu. Pada awalnya , batubara mengubah sejarah dunia modern dengan mendorong Revolusi Industri di Inggris, sejak itu batubara tak berhenti mengubah wajah dunia dengan berbagai jejak kerusakan yang ditinggalkannya.

Sepanjang siklus pemanfaatannya batubara menimbulkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki pada bumi dan manusia di dalamnya. Siklus hidup batubara mulai dari bawah tanah hingga ke limbah beracun yang dihasilkannya, biasanya disebut sebagai rantai kepemilikan. Rantai kepemilikan ini memiliki tiga rantai utama—penambangan, pembakaran, sampai ke pembuangan limbahnya. Setiap bagian dari rantai ini, menimbulkan daya rusak yang harus ditanggung bumi dan manusia didalamnya.


Penambangan batubara

Penambangan batubara mengakibatkan meluasnya penggundulan hutan, erosi tanah, kehilangan sumber air, polusi udara, dan rusaknya keutuhan sosial masyarakat yang tinggal di dekat lokasi pertambangan. Penambangan batubara besar-besaran mengikis habis tanah, menurunkan tingkat permukaan air, dan menghasilkan jutaan ton limbah beracun,serta menggusur masyarakat adat dari tempat hidupnya dari generasi ke generasi sepanjang puluhan tahun bahkan ratusan tahun.

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Kalimantan, saat ini, adalah fakta hidup dan bukti empiris tak terbantahkan dari begitu dasyatnya kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan batubara.

Pembakaran batubara dan ancaman terbesar terhadap iklim kita

Pembakaran batubara meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dasyat. Air dalam jumlah yang besar dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat. Polutan beracun yang keluar dari cerobong asap PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Partikel halus debu batubara adalah penyebab utama penyakit pernapasan akut, merkuri perusak perkembangan saraf anak-anak balita dan janin dalam kandungan ibu hamil yang tinggal di sekitar PLTU. Dan yang tak kalah penting, pembakaran batubara di PLTU adalah sumber utama gas rumah kaca penyebab perubahan iklim seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan metana yang memperburuk kondisi iklim kita.


Pertambangan batubara yang ditinggalkan dan limbah pembakaran batubara

Jejak kerusakan yang ditinggalkan oleh batubara tidak berhenti di saat pembakarannya. Di ujung rantai kepemilikannya, terdapat pertambangan batubara yang ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batubara, dan hamparan alam yang rusak tanpa pernah akan bisa kembali seperti sediakala.

Pertambangan yang ditinggalkan pasca dieksploitasi habis, meninggalkan segudang masalah untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah. Hamparan alam yang rusak adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih , sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya.

Limbah pembakaran batubara sangat beracun, dan membahayakan kesehatan masyarakat, tembaga, cadmium dan arsenic adalah sebagian dari zat toksik yang dihasilkan dari limbah tersebut, yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker.

Setiap rantai dalam siklus pemanfaatan batubara meyumbangkan kerusakan yang diakibatkan oleh energi kotor ini—masing-masing dengan caranya sendiri. Kerusakan ini nyata dan mematikan.

Harus ada upaya untuk keluar dari ketergantungan energi kotor ini, batubara yang mematikan!!!

Semoga bermanfaat

Selasa, 11 Februari 2014

Cara Sederhana Memprediksi Prakiraan Cuaca



Rencana bepergian atau liburan bersama teman atau keluarga perlu banyak persiapan. Persiapan yang kurang matang dapat menyebabkan kurang nyaman dalam liburan. Salah satu yang perlu diketahui adalah kondisi cuaca, yang dalam kondisi tertentu bisa membuat acara berantakan bahkan batal.

Oleh karena itu, memperkirakan kondisi cuaca beberapa saat sebelum pergi tentu menjadi langkah yang bijaksana agar rencana bepergian dan berlibur dapat berjalan lancar.

Selain lewat informasi prakiraan cuaca di media massa, ada beberapa cara lain yang dapat dilakukan. Berikut beberapa cara yang cukup efektif dan mudah dilakukan oleh siapa saja.
  1. Cara paling mudah memprediksi cuaca adalah dengan melihat langit. Jika langit dipenuhi awan mendung, sangat mungkin hujan akan segera turun. Sebaliknya, jika langit terlihat cerah, rencana berlibur ke tempat terbuka dapat dijalankan sesuai rencana.
  2. Arah angin bisa menjadi sumber info juga. Jika ada angin lemah dari arah utara atau timur kemungkinan akan terjadi cuaca baik, namun jika datangnya dari arah barat atau barat daya, kemungkinan hujan atau gerimis akan tiba. Bagaimana cara mengetahui arah angin ? Mudah saja, basahi jari telunjuk ke dalam mulut, lalu acungkan jari ke atas menghadap lurus ke Utara, rasakan bagian paling dingin di jari tangan kalian datang dari arah mana karena sisi itulah yang menunjukan arah angin dominan bertiup.
  3. Memperkirakan cuaca dapat juga dilakukan dengan melihat serangga atau burung. Jika binatang-binatang tersebut terbang rendah atau lebih sering berada di daratan, lebih baik bersiap-siap kalau hujan bakal turun. Hal ini bisa terjadi lantaran mereka menghindari angin yang cukup kencang di atas. Lebah juga dapat dijadikan penanda hujan. Jika binatang satu ini terlihat sibuk di kebun atau pekarangan rumah, kita dapat berlega hati, karena cuaca akan cerah. Untuk kura–kura akan mencari dataran yang lebih tinggi jika hujan besar akan datang. Sedangkan semut akan membangun sarang mereka dengan tepian yang curam sebelum hujan datang.
  4. Matahari bisa membantu kita untuk memprediksi cuaca. Apabila ketika terbit memiliki warna merah tua disertai awan gelap maka kemungkinan akan turun hujan. Jika terang dengan cahaya penuh maka kemungkinan cuaca akan cerah. Jika ketika matahari terbenam warnanya kuning cerah dan warna oranye di bawahnya, maka kemungkinan hujan akan turun. Hujan juga mungkin akan turun jika warnanya kuning pucat.
  5. Kondisi bulan bisa dijadikan patokan pula. Jika bulan bersinar sangat terang, itu berarti menandakan cuaca dengan baik alias cerah. Jika banyak awan yang menyelimuti bulan ada kemungkinan hujan akan turun. Kemudian amati pula disekitar sinar bulan itu ada cincin cahaya yang disebut sebagai “halo”. Halo adalah kristal es dan sekaligus bibit air di langit sana. Jika ada cincin cahaya ini maka bisa jadi besok atau lusa akan hujan lebat.
  6. Jika kita berada di dataran tinggi, kabut bisa menjadi salah satu acuan. Jika kabut menggumpal cerah seperti awan maka cuaca mungkin akan baik. Kabut di lembah pada pagi hari, meramalkan cuaca baik. tetapi kabut di gunung menandakan hujan akan datang.
  7. Terakhir, jika hujan akan turun, umumnya hawa akan menjadi lebih lembab. Jika udara berbau seperti pupuk kompos, maka kemungkinan akan hujan. Ada peribahasa mengatakan ‘wangi bunga tercium sesaat sebelum hujan. Nah ternyata benar, bau harum menjadi sangat kuat pada udara lembab. Kalau sudah begini, jangan lupa membawa payung jika harus bepergian.
Tentu saja ini adalah cara-cara umum yang dapat dilakukan. Jika ragu dapat mengecek di badan-badan yang telah ditunjuk lewat situs resmi.

Selamat mencoba belajar memperkirakan cuaca.

Semoga bermanfaat

Selasa, 04 Februari 2014

Pacarilah Pendaki Gunung, Nduk ! ( Real Story )

Pacarilah pendaki gunung, Nduk !

Kelak, kalau saya punya anak perempuan mungkin nasihat itu akan saya berikan kepada anak gadis saya, hahaha. Bukan karena obesesi saya punya pacar pendaki gunung nggak kesampaian. Justru karena mas pacar itu pendaki, saya jadi ngrasain gimana asyiknya punya pacar yang suka naik-naik gunung.

Banyak orang bilang pendaki gunung itu gak punya tujuan jelas, kerjaannya keluyuran, hidupnya berantakan, tidak memikirkan masa depan, suka mabuk-mabukan, dan segudang stereotype negatif lainnya.

Saya tidak membantah soal hal itu. Memang ada banyak orang yang mengaku pendaki tapi kelakuannya seperti itu. Bahkan teman-teman anggota PA di kampus pun ada yang hidupnya berantakan seperti itu.

Tapi percayalah, itu hanyalah segelintir kecil oknum. Tidak semua pendaki gunung seperti itu. Masih jauh lebih banyak pendaki yang hidupnya benar dan memiliki karakter keren sehingga layak dijadikan calon pacar dan suami idaman, hahaha. 

Semalam saya iseng ngetwit ke akun @infopendaki dan tanya kenapa cewek-cewek suka atau mau pacaran sama pendaki gunung. Bujubuneeeng, yang jawab banyak banget. Dan taukah kalian, 80% dari mereka bilang apa? Mereka bilang pendaki gunung itu SETIA!

Terus banyak juga yang jawab pendaki gunung itu romantis, keren, mandiri, bisa diandalkan, apa adanya, dan bertanggungjawab. Boys, dengerin tuh! Pria dengan karakter seperti itu adalah sosok yang paling banyak dicari oleh cewek.

Bercumbu dengan alam bebas yang cuacanya bisa berubah sewaktu-waktu, bertaruh dengan kehidupan, serta melakukan aktivitas yang berat bahkan cenderung ekstrim akan mampu menghasilkan mental yang tangguh dan karakter kuat.

Seorang pendaki gunung beneran (bukan hanya yang suka naik gunung buat gaya-gayaan atau efek nonton film 5 CM) pasti telah memiliki mental yang terbentuk. Alam telah menempa mereka dengan keras sehingga mereka belajar banyak tentang kedisiplinan, kemandirian, penguasaan diri, kesabaran, kerja sama, kepedulian dan masih banyak lagi.

Karena itu seorang Henry Dunnant pernah berkata “Sebuah negara tidak akan pernah kehilangan pemimpinnya yang berwibawa jika pemudanya masih suka menjelajah hutan dan mendaki gunung,”.

Sekedar info, Pak Jokowi yang keren itu dulunya suka naik gunung lho. Beliau adalah anggota MAPALA Silvagama (Mapalanya anak-anak Fakultas Kehutanan UGM). Begitupula dengan Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) yang nggak kalah kerennya itu, beliau juga anggota MAPALA Majestik (Mapalanya anak-anak Hukum UGM). Tuh kan? Saya pikir kekerenan mereka dalam menjadi pimpinan saat ini tak bisa dipisahkan dari pengalaman saat mereka menjadi anggota PA.

Lantas ada jawaban lain yang bikin saya senyum-senyum, katanya mas-mas pendaki itu auranya beda, lebih berkharisma, serta lakik banget. Jelas lah, sejauh ini sih saya belum pernah ketemu mas pendaki yang kemayu, atau gendong ransel warna pink elektrik gitu hihihihi.

Yang sering saya jumpai mas-mas berambut gondrong digelung dengan celana belel, kaos, kemeja flanel, sepatu atau sandal gunung, serta ransel lengkap dengan segala atributnya. Itu sungguh sangat menggoda iman dan pacarable banget sodara-sodara hahaha.

Saya tak pernah sepakat dengan mitos yang mengatakan bahwa pendaki gunung itu adalah orang-orang yang kurang kerjaan dan tidak punya tujuan. Bagi saya mereka itu justru orang yang sudah memantapkan tujuan dengan jelas, yakni puncak gunung. Tidak akan ada istilah “mengalir sajalah ikuti arus!”

Bagi mereka menjejak di puncak adalah tujuan pasti dari sebuah perjalanan. Jika belum bisa menjejak, itu akan dianggap sebagai hutang yang harus dilunasi entah kapan waktunya. Dan goal-goal ini juga akan berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ada puncak-puncak kehidupan yang harus mereka gapai.

Untuk mencapai posisi puncak juga memerlukan proses yang panjang dan kerja keras. Tidak bisa ujug-ujug nangkring di puncak dan menikmati sunrise yang aduhai itu. Karena itu mereka akan menjadi sosok yang sabar dan menghargai proses. Selain itu juga membentuk mental kuat, menjadi pribadi yang tidak lembek dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah.

Pacaran dengan pendaki gunung juga akan mengajarkan arti kesabaran, kesetiaan menunggu, serta tidak posesif buat si cewek. Ditinggal naik gunung berhari-hari selalu membuat khawatir dan dag dig dug. Hati baru bisa lega saat menerima sms atau telepon bahwa mereka telah kembali ke basecamp dengan selamat. Sedangkan bonusnya adalah bisa senyum-senyum kegirangan saat menerima sms sok romantis dari ketinggian sekian ribu mdpl. Dan yang paling menyenangkan saat bisa naik gunung bareng hahaha.

Jadi nduk, carilah pacar pendaki gunung ya!

Semoga bermanfaat

Minggu, 02 Februari 2014

Mengenal Bahaya Dari Gunung Berapi


Gunung berapi menghasilkan berbagai macam bahaya alam yang dapat membunuh orang dan merusak properti. Sketsa yang disederhanakan ini menunjukkan khas gunung berapi yang ditemukan di Amerika Serikat Barat dan Alaska, tapi banyak dari bahaya ini juga menimbulkan risiko pada gunung berapi lainnya, seperti yang di Hawaii. Beberapa bahaya, seperti lahar dan tanah longsor, dapat terjadi bahkan ketika gunung berapi tidak meletus. (Bahaya dan istilah dalam diagram ini yang disorot dalam huruf tebal di mana mereka dibahas dalam teks di bawah ini.)

Kolom Letusan dan Awan Letusan
Sebuah ledakan letusan eksplosif fragmen batuan padat dan cair (tephra) dan gas vulkanik ke udara dengan kekuatan yang luar biasa. Fragmen batuan terbesar (bom) biasanya jatuh kembali ke tanah dalam jarak 2 mil dari kawah. Fragmen kecil (bediameter kurang dari sekitar 0,1 inci) dari gelas vulkanik, mineral, dan batu (abu) naik tinggi ke udara, membentuk kolom letusan besar.
Kolom Letusan dapat berkembang pesat dan mencapai lebih dari 12 mil di atas gunung berapi dalam waktu kurang dari 30 menit, membentuk awan letusan. Abu vulkanik di awan dapat menimbulkan bahaya serius bagi penerbangan. Selama 15 tahun terakhir, sekitar 80 jet komersial telah rusak karena tidak sengaja terbang ke dalam awan abu, dan beberapa hampir jatuh karena kegagalan mesin. Awan letusan besar dapat mencapai ratusan mil mengikuti arah angin, sehingga menghasilkan hujan abu di atas daerah yang luas, angin membawa abu terkecil partikel paling jauh. Abu dari letusan Gunung St Helens, Washington pada 18 Mei 1980, , jatuh di atas lahan seluas 22.000 mil persegi di Amerika Serikat Barat. Hujan abu berat dapat merobohkan bangunan, dan sedangkan abu kecil dapat merusak tanaman, elektronik, dan mesin.

Gas Vulkanik
Gunung berapi mengeluarkan gas selama letusan. Bahkan ketika sebuah gunung berapi tidak meletus, retak di dalam tanah memungkinkan gas untuk mencapai permukaan melalui lubang kecil yang disebut fumarol. Lebih dari 90% dari semua gas yang dipancarkan oleh gunung berapi adalah air uap (uap), yang sebagian besar adalah air tanah dipanaskan (air bawah tanah dari curah hujan dan sungai). Gas vulkanik lain yang umum adalah karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, hidrogen, dan fluor. Gas Sulfur dioksida dapat bereaksi dengan tetesan air di atmosfer yang membuat hujan asam, yang menyebabkan korosi dan merugikan vegetasi. Karbon dioksida lebih berat daripada udara dan dapat terjebak di daerah yang rendah dalam konsentrasi yang mematikan bagi manusia dan hewan. Fluorin, dalam konsentrasi yang tinggi adalah beracun, bisa teradsorbsi ke partikel abu vulkanik yang kemudian jatuh ke tanah. Fluor di partikel dapat meracuni penggembalaan ternak pada rumput yang dilapisi abu dan juga mencemari persediaan air domestik.

Bencana letusan, seperti letusan Gunung Pinatubo (Filipina), 15 Juni 1991, menyuntikkan sejumlah besar gas belerang dioksida ke stratosfer, ketika bergabung dengan air untuk membentuk aerosol (kabut) dari sulfat asam. Dengan memantulkan radiasi matahari, seperti
aerosol dapat menurunkan temperaturrata-rata permukaan bumi untuk waktu yang lama beberapa derajat Fahrenheit (˚ F). Aerosol asam sulfat ini juga berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon oleh pengubahan senyawa klor dan nitrogen di bagian atas atmosfer

Aliran Lava dan Kubah Lava
Batu cair (magma) yang mengalir atau merembes ke permukaan bumi disebut lava dan
bentuk aliran lava. Semakin tinggi lava mengandung silika (silikon dioksida, SiO2), kurang mudah mengalir. Misalnya, lava basal silika rendah dapat bergerak cepat (10 sampai 30 mil
per jam) mengalir atau dapat tersebar luas sebanyak tersebar luas dalam lembaran tipis selebar beberapa mil..
Sejak 1983, Kilauea Volcano di Pulau Hawaii telah meletuskan aliran lava basal yang menghancurkan hampir 200 rumah dan memotong dekat jalan raya pantai.
Sebaliknya, aliran lava andesit dan dasit yang lebih tinggi silika cenderung tebal dan lamban,
hanya mencapai jarak pendek dari sebuah kawah. Lava dasit dan riolit sering keluar
dari sebuah lubang untuk membentuk gundukan yang tidak teratur disebut kubah lava. Antara tahun 1980, dan 1986 sebuah kubah lava dasit di Gunung St Helens tumbuh menjadi sekitar
1.000 feet tinggi dan diameter 3.500 kaki.

Aliran Piroklastik
Longsoran kecepatan tinggi abu panas, fragmen batuan, dan gas dapat bergerak menuruni sisi gunung berapi selama letusan ledakan atau ketika sisi curam dari kubah lava tumbuh runtuh dan terpisah. Aliran piroklastik ini dapat sepanas 1.500 ˚ F dan bergerak dengan kecepatan 100 sampai 150 mil per jam. Aliran tersebut cenderung mengikuti lembah dan mampu merobohkan dan membakar segala sesuatu di jalannya. Aliran piroklastik densitas rendah, yang disebut gelombang piroklastik, dapat dengan mudah melampui pegunungan yang ratusan meter tingginya.
Klimaks letusan Gunung St Helens pada tanggal 18 Mei 1980, menghasilkan serangkaian ledakan yang membentuk gelombang piroklastik besar. Ini disebut “ledakan lateral” yang menghancurkan area seluas 230 mil persegi. Pohon berdiameter 6 kaki dipangkas turun seperti pisau rumput sejauh 15 mil dari gunung berapi.

Tanah Longsor Gunung Api
Tanah longsor atau debris avalanche adalah pergerakan menurun yang cepat dari material batuan, salju, dan (atau) es. Longsor gunung api berukuran dari gerakan kecil dari puing-puing lepas pada permukaan gunung berapi sampai runtuh besar-besaran dari seluruh puncak atau sisi gunung berapi. Gunung berapi yang curam rentan terhadap tanah longsor karena dibangun sebagian dari lapisan fragmen batuan vulkanik lepas. Beberapa batuan di gunung berapi juga telah diubah menjadi lembut, mineral lempung yang licin oleh sirkulasi panas, asam
air tanah. Tanah longsor di lereng gunung berapi dipicu ketika letusan, hujan deras,
atau gempa bumi besar menyebabkan material-materail ini bebas dan bergerak turun.
Setidaknya lima longsor besar telah menyapu ke bawah lereng Gunung Rainier, Washington, selama 6.000 tahun terakhir. Tanah longsor terbesar gunung berapi dalam waktu sejarah terjadi pada awal 18 Mei 1980, letusan Gunung St Helens.


Lahar
Aliran Lumpur atau puing-puing yang sebagian besar terdiri dari material vulkanik di sisi-sisi gunung berapi disebut lahar. Aliran dari lumpur, batu, dan air dapat bergegas turun lembah dan saluran aliran dengan kecepatan 20 sampai 40 mil per jam dan dapat mencapai jarak lebih dari 50 mil. Beberapa lahar mengandung begitu banyak puing-puing batu (60 sampai 90% berat) bahwa mereka terlihat seperti sungai yang bergerak cepat dari beton basah. Dekat dengan sumbernya, arus ini cukup kuat untuk merobek dan membawa pohon, rumah, dan batu-batu besar beberapa mil ke hilir. Lebih jauh ke hilir lahar mengubur semua di jalurnya kedalam lumpur.

Secara historis, lahar telah menjadi salah satu bahaya gunung berapi paling mematikan. Itu dapat terjadi baik selama letusan gunung berapi dan ketika tenang. Air yang menciptakan lahar bisa berasal dari salju dan es mencair (terutama air dari gletser mencair oleh aliran piroklastik atau gelombang), curah hujan intens, atau keluar dari danau kawah puncak. Lahar yang besar berpotensi membahayakan masyarakat banyak hilir dari gunung berapi seperti Mount Rainier.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 01 Februari 2014

Alam Adalah Sekolahku



Dari angin kita belajar arah gerak...
Dari arus air kita belajar kesabaran...
Dari batu-batu kita belajar keteguhan...
Dari karang yang dihajar ombak kita belajar ketegaran...
Dari tanah kita belajar siklus kehidupan...
Dari kupu-kupu kita belajar merubah diri...

Dari hujan kita belajar memberi...
Dari pelangi kita belajar menghargai...
Dari matahari kita belajar tentang komitmen...
dan dari bumi kita belajar tentang kesetiaan...

Dari pohon kita belajar melindungi...
Dari akar kita belajar menjaga...
Dari rumah kita belajar tentang kebahagiaan...
Dari diri kita sendiri kita belajar mengenali orang lain...

Dari Padi kita belajar rendah hati...
Dari Rasa Cinta kita belajar keindahan...
Dari Rasa sedih kita belajar kegembiraan...
Dari kerja kita belajar tentang kehormatan...
Dan dari doa kita belajar merumuskan masalah...