Tampilkan postingan dengan label Geologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Geologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Februari 2014

Catatan Erupsi Gunung Kelud Dari Zaman Majapahit Sampai Hari ini

“We are living and sleeping with earthquakes and volcanic eruptions, be alert!”

Dari catatan sejarah letusan sejak 1376 M, letusan Kelud biasanya eksplosif/meledak dan besar, tetapi berlangsung satu-dua hari. Maka semoga letusan Kelud kini pun tak berlangsung lama.

Gunung Kelud (1731 m dpl), Jawa Timur, setelah menunjukkan peningkatan aktivitas signifikan seminggu terakhir, akhirnya meletus hebat kemarin malam pada pukul 22.50 WIB Kamis 13 Februari 2014, membuat sibuk kegiatan evakuasi sampai kini. Letusan pertama Kelud terjadi 90 menit setelah gunungapi aktif ini dinaikkan statusnya menjadi ”awas”, status tertinggi aktivitas gunungapi menjelang meletus. 

Abu volkanik dilaporkan terus turun sampai saat ini di banyak tempat baik ke timur maupun barat: Surabaya, Malang, Yogya, Solo, bahkan sampai Ciamis. Bandara-bandara di Yogya, Solo, Surabaya ditutup sementara. Kegiatan evakuasi penduduk yang terancam langsung letusan Kelud pun masif, sebab wilayah radius 10 km harus dikosongkan, berarti sekitar 200.000 penduduk dari 36 desa harus dipindahkan ke tempat-tempat pengungsian, 78 tempat pengungsian telah disiapkan. Maka, letusan Kelud ini telah mengacaukan banyak rencana dan agenda. Begitulah bila sebuah gunungapi meletus di wilayah padat penduduk. 

Merapi, Kelud, Semeru, Bromo adalah empat gunung paling aktif di Jawa. Untuk Jawa Timur, Kelud adalah gunungapi termasuk paling aktif dan terkenal pernah menelan korban tewas yang banyak. Kelud pun cepat sekali aktivitasnya, dalam beberapa hari saja ia bisa meningkat terus statusnya sampai akhirnya meletus. Seperti letusan saat ini, Kelud diawali oleh peningkatan kegempaan yang signifikan sejak 7 Februari, tanda magma tengah naik menuju puncaknya, diperkirakan berasal dari kedalaman 1,5 – 3,5 km di bawah puncak gunung setinggi 1,7 km di atas muka laut itu. Kemudian pada 11 Februari 2014 status Kelud dinaikkan menjadi status 3 (siaga), 13 Februari 2014 sekitar pukul 21.30 WIB status Kelud dinaikkan menjadi status 4 (awas), dan sekitar 90 menit kemudian Kelud pun meletus hebat. Penduduk sudah mulai dievakuasikan sebelum Kelud meletus. Peningkatan status dalam bilangan hari atau jam ini menunjukkan Kelud sangat aktif bila mau meletus.

PARARATON MENCATAT LIMA KALI LETUSAN KELUD ZAMAN MAJAPAHIT

Kelud pun adalah gunungapi yang rajin meletus selama zaman Majapahit.

Kitab Pararaton, sebuah kronik sejarah yang selesai ditulis pada 1535 Syaka (1613 M) yang menceritakan peristiwa-peristiwa kerajaan maupun hal lainnya pada zaman Kerajaan Singhasari dan Majapahit mencatat terjadi lima kali letusan Gunung Kelud pada zaman Majapahit (1293-1521 M).

1. …Lalu terjadi peristiwa gunung meletus pada Minggu Madasia, tahun pendeta-sunyi-sifat-tunggal (1307 Syaka/ 1385 M), tahun pendeta-sunyi-sifat-tunggal adalah sandi tahun surya sengkala.
2. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Prangbakat, pada tahun muka-orang-tindakan-ular (1317 Syaka/ 1395 M).
3. Lalu terjadi gunung meletus di dalam minggu Kuningan pada tahun belut-pendeta-menggigit-bulan (1373 Syaka/ 1451 M).
4. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Landep pada tahun empat-ular-tiga-pohon (1384 Syaka/ 1462 M).
5. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus di dalam minggu Watu Gunung pada tahun tindakan-angkasa-laut-ekor (1403 Syaka/ 1481 M).

Pararaton tidak menyebut langsung bahwa letusan-letusan itu letusan Kelud, tetapi saya sudah mengecek tahun-tahun syaka Pararaton tersebut terhadap data dari literatur volkanologi lainnya (misalnya Kusumadinata, 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi), sehingga bisa diyakini bahwa letusan-letusan gunungapi di Pararaton itu adalah letusan Kelud).

Letusan nomor 5 patut dicurigai sebagai yang dimaksud dengan berakhirnya masa kejayaan Majapahit dalam surya sengkala Sirna-Ilang-Kerthaning-Bhumi (1400 Syaka/1478 M), meskipun ada selisih tiga tahun. Letusan 1481 M itu yang mendasari Babad “Guntur Pawatu Gunung”, sebuah kronik sejarah lainnya menjelang berakhirnya Majapahit.

Bisa dilihat bahwa Kelud adalah gunungapi aktif dalam masa sejarah pun. Dan menurut hukum uniformisme geologi bahwa apa yang terjadi dulu terjadi pula pada masa kini, dibuktikan oleh aktivitas Kelud sampais sekarang.

ERUPSI GUNUNG KELUD

Dari berbagai literatur ditulis bahwa catatan pertama gunungapi ini meletus adalah pada tahun 1000 M (Raffles, 1817), berupa letusan di dalam danau volkaniknya. Dan sejak itu, Kelud telah meletus sebanyak 30 kali. 

Kusumadinata (1979) mencatat letusan-letusan selanjutnya terjadi tahun: 1311 M, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, (tahun-tahun ini tercatat sebagian besar di Pararaton), 1548, 1586, 1641, 1716, 1752, 1771, 1776, 1785, 1811, 1825, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1920, 1951, 1966, lalu Volcano Discovery meneruskan catatan Kusumadinata (1979) bahwa letusan Kelud berlanjut pada 1990, 2007 (pertumbuhan sumbat lava), dan sekarang (2014). 

Letusan Kelud umumnya bersifat eksplosif (meledak). Letusan eksplosif ini terjadi sejak 1376. Letusan-letusan besar yang pernah terjadi dan memakan banyak korban adalah pada 1586 (menewaskan 10.000 jiwa, Brascam 1918), 1919 (menewaskan 5160 jiwa). Erupsi Gunung Kelud dari sejarah letusannya biasanya berlangsung 1-2 hari dan tidak pernah terjadi berbulan-bulan. Tetapi bahaya lanjutannya adalah lahar dingin bila terjadi hujan yang meruntuhkan endapan-endapan letusan dari puncak ke kaki.

Korban besar terjadi karena lahar panas sebab Kelud punya danau kawah yang sangat besar, dan saat letusan air volkanik panas ini ikut diletuskan lalu bercampur dengan berbagai materi letusan dari batu sampai abu, bercampur dengan air panas dan mengalir ke kaki pada setiap lembahnya atau bisa meluap keluar dari lembah dan menelan apa saja yang dilaluinya. 

Karena air kawahnya begitu berbahaya maka sejak zaman Belanda telah diupayakan mengurangi air kawah Kelud ini dengan membuat terowongan dari dinding luar kawah ke dalam kawah untuk mengurangi air kawah. Upaya pertama dilakukan pada 1907 mengikuti letusan pada 1901. Tetapi nampaknya kurang efektif sebab letusan pada 1919 masih menelan lebih dari 5000 korban manusia. Lalu terowongan dari berbagai arah dibuat lagi, misalnya dikerjakan pada 1919-1923. di dalam zaman kemerdekaan, Indonesia pun meneruskan membuat terowongan dari berbagai arah. Upaya pembuatan terowongan terakhir adalah pada 1966/1967. Terowongan-terowongan ini kadang-kadang efektif, kadang-kadang tidak, sebab beberapa kali letusan bisa menghancurkan terowongan ini.

Letusan khas Kelud yang selalu terjadi adalah eksplosif, menyebar kerikil, pasir, dan abu jauh ke angkasa lalu jatuh kembali ke permukaan Bumi meliputi kawasan yang luas. Dikabarkan bahwa letusan Kelud melontarkan material volkanik sampai setinggi sekitar 17 km. Kolom setinggi itu wajar bila akan menyebar abu sampai lebih dari 500 km dari lokasi letusan. Di samping lahar panas, Kelud pun bisa dan pernah menyebar awan panas sebab gunung ini juga kadang-kadang punya sumbat lava erupsi lama, dan ketika lavanya terdorong erupsi baru, lalu runtuh menuruni lereng maka menjadi awan panas yang akan membakar apa pun yang dilaluinya. 

Oktober-November 2007 terbentuk sumbat lava baru yang tumbuh hampir menutupi seluruh danau kawah volkanik. Sejak itu sumbat lava ini menjadi objek wisata. Kini, dengan letusan kemarin bisa saja sumbat lava ini telah tidak ada dilontarkan erupsi, kita bisa mengetahuinya setelah Kelud berhenti meletus 

Kelud adalah satu gunungapi yang duduk di jalur gunungapi Jawa atau Indonesia yang melingkari wilayah Indonesia. Seperti banyak gunungapi lainnya di Jawa, Kelud adalah gunungapi yang dibentuk berhubungan dengan lelehan material magma dari mantel dan lempeng samudera yang menunjam masuk ke bawah Jawa pada kedalaman antara 100-200 km. Panas menyebabkan material mantel dan air dari lempeng samudera membentuk magma lalu naik ke permukaan karena panas dan di permukaan membentuk gunung-gunungapi.

Sebagai gunungapi di Jawa, maka bentuk Gunung Kelud adalah stratovolcano dengan materi utama berkomposisi andesitik. Danau kawahnya yang terkenal menambah kekhasan Kelud, menjadi objek wisata, tetapi danau inilah yang menjadi penyebab bahwa gunungapi ini pernah menelan korban sekitar 15.000 orang ditelan lahar panas. 

Kelud punya beberapa puncak satelitnya di sisi timur, barat, dan selatan baratdaya, ini disebabkan sumbat-sumbat lava tumbuh acak di sekelilingnya. Letusan-letusan pun terjadi umumnya berganti-ganti dari beberapa kawah parasit/satelit bergiliran dengan pola memutar searah jarum jam.

Berdasarkan sejarahnya, letusan Kelud eksplosif dan besar, terjadi sehari atau dua hari. Semoga kini Kelud pun akan segera berhenti meletus, dan tidak ada korban jiwa jatuh.




Semoga bermanfaat

Catatan dari : Awang Satyana

Minggu, 02 Februari 2014

Mengenal Bahaya Dari Gunung Berapi


Gunung berapi menghasilkan berbagai macam bahaya alam yang dapat membunuh orang dan merusak properti. Sketsa yang disederhanakan ini menunjukkan khas gunung berapi yang ditemukan di Amerika Serikat Barat dan Alaska, tapi banyak dari bahaya ini juga menimbulkan risiko pada gunung berapi lainnya, seperti yang di Hawaii. Beberapa bahaya, seperti lahar dan tanah longsor, dapat terjadi bahkan ketika gunung berapi tidak meletus. (Bahaya dan istilah dalam diagram ini yang disorot dalam huruf tebal di mana mereka dibahas dalam teks di bawah ini.)

Kolom Letusan dan Awan Letusan
Sebuah ledakan letusan eksplosif fragmen batuan padat dan cair (tephra) dan gas vulkanik ke udara dengan kekuatan yang luar biasa. Fragmen batuan terbesar (bom) biasanya jatuh kembali ke tanah dalam jarak 2 mil dari kawah. Fragmen kecil (bediameter kurang dari sekitar 0,1 inci) dari gelas vulkanik, mineral, dan batu (abu) naik tinggi ke udara, membentuk kolom letusan besar.
Kolom Letusan dapat berkembang pesat dan mencapai lebih dari 12 mil di atas gunung berapi dalam waktu kurang dari 30 menit, membentuk awan letusan. Abu vulkanik di awan dapat menimbulkan bahaya serius bagi penerbangan. Selama 15 tahun terakhir, sekitar 80 jet komersial telah rusak karena tidak sengaja terbang ke dalam awan abu, dan beberapa hampir jatuh karena kegagalan mesin. Awan letusan besar dapat mencapai ratusan mil mengikuti arah angin, sehingga menghasilkan hujan abu di atas daerah yang luas, angin membawa abu terkecil partikel paling jauh. Abu dari letusan Gunung St Helens, Washington pada 18 Mei 1980, , jatuh di atas lahan seluas 22.000 mil persegi di Amerika Serikat Barat. Hujan abu berat dapat merobohkan bangunan, dan sedangkan abu kecil dapat merusak tanaman, elektronik, dan mesin.

Gas Vulkanik
Gunung berapi mengeluarkan gas selama letusan. Bahkan ketika sebuah gunung berapi tidak meletus, retak di dalam tanah memungkinkan gas untuk mencapai permukaan melalui lubang kecil yang disebut fumarol. Lebih dari 90% dari semua gas yang dipancarkan oleh gunung berapi adalah air uap (uap), yang sebagian besar adalah air tanah dipanaskan (air bawah tanah dari curah hujan dan sungai). Gas vulkanik lain yang umum adalah karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, hidrogen, dan fluor. Gas Sulfur dioksida dapat bereaksi dengan tetesan air di atmosfer yang membuat hujan asam, yang menyebabkan korosi dan merugikan vegetasi. Karbon dioksida lebih berat daripada udara dan dapat terjebak di daerah yang rendah dalam konsentrasi yang mematikan bagi manusia dan hewan. Fluorin, dalam konsentrasi yang tinggi adalah beracun, bisa teradsorbsi ke partikel abu vulkanik yang kemudian jatuh ke tanah. Fluor di partikel dapat meracuni penggembalaan ternak pada rumput yang dilapisi abu dan juga mencemari persediaan air domestik.

Bencana letusan, seperti letusan Gunung Pinatubo (Filipina), 15 Juni 1991, menyuntikkan sejumlah besar gas belerang dioksida ke stratosfer, ketika bergabung dengan air untuk membentuk aerosol (kabut) dari sulfat asam. Dengan memantulkan radiasi matahari, seperti
aerosol dapat menurunkan temperaturrata-rata permukaan bumi untuk waktu yang lama beberapa derajat Fahrenheit (˚ F). Aerosol asam sulfat ini juga berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon oleh pengubahan senyawa klor dan nitrogen di bagian atas atmosfer

Aliran Lava dan Kubah Lava
Batu cair (magma) yang mengalir atau merembes ke permukaan bumi disebut lava dan
bentuk aliran lava. Semakin tinggi lava mengandung silika (silikon dioksida, SiO2), kurang mudah mengalir. Misalnya, lava basal silika rendah dapat bergerak cepat (10 sampai 30 mil
per jam) mengalir atau dapat tersebar luas sebanyak tersebar luas dalam lembaran tipis selebar beberapa mil..
Sejak 1983, Kilauea Volcano di Pulau Hawaii telah meletuskan aliran lava basal yang menghancurkan hampir 200 rumah dan memotong dekat jalan raya pantai.
Sebaliknya, aliran lava andesit dan dasit yang lebih tinggi silika cenderung tebal dan lamban,
hanya mencapai jarak pendek dari sebuah kawah. Lava dasit dan riolit sering keluar
dari sebuah lubang untuk membentuk gundukan yang tidak teratur disebut kubah lava. Antara tahun 1980, dan 1986 sebuah kubah lava dasit di Gunung St Helens tumbuh menjadi sekitar
1.000 feet tinggi dan diameter 3.500 kaki.

Aliran Piroklastik
Longsoran kecepatan tinggi abu panas, fragmen batuan, dan gas dapat bergerak menuruni sisi gunung berapi selama letusan ledakan atau ketika sisi curam dari kubah lava tumbuh runtuh dan terpisah. Aliran piroklastik ini dapat sepanas 1.500 ˚ F dan bergerak dengan kecepatan 100 sampai 150 mil per jam. Aliran tersebut cenderung mengikuti lembah dan mampu merobohkan dan membakar segala sesuatu di jalannya. Aliran piroklastik densitas rendah, yang disebut gelombang piroklastik, dapat dengan mudah melampui pegunungan yang ratusan meter tingginya.
Klimaks letusan Gunung St Helens pada tanggal 18 Mei 1980, menghasilkan serangkaian ledakan yang membentuk gelombang piroklastik besar. Ini disebut “ledakan lateral” yang menghancurkan area seluas 230 mil persegi. Pohon berdiameter 6 kaki dipangkas turun seperti pisau rumput sejauh 15 mil dari gunung berapi.

Tanah Longsor Gunung Api
Tanah longsor atau debris avalanche adalah pergerakan menurun yang cepat dari material batuan, salju, dan (atau) es. Longsor gunung api berukuran dari gerakan kecil dari puing-puing lepas pada permukaan gunung berapi sampai runtuh besar-besaran dari seluruh puncak atau sisi gunung berapi. Gunung berapi yang curam rentan terhadap tanah longsor karena dibangun sebagian dari lapisan fragmen batuan vulkanik lepas. Beberapa batuan di gunung berapi juga telah diubah menjadi lembut, mineral lempung yang licin oleh sirkulasi panas, asam
air tanah. Tanah longsor di lereng gunung berapi dipicu ketika letusan, hujan deras,
atau gempa bumi besar menyebabkan material-materail ini bebas dan bergerak turun.
Setidaknya lima longsor besar telah menyapu ke bawah lereng Gunung Rainier, Washington, selama 6.000 tahun terakhir. Tanah longsor terbesar gunung berapi dalam waktu sejarah terjadi pada awal 18 Mei 1980, letusan Gunung St Helens.


Lahar
Aliran Lumpur atau puing-puing yang sebagian besar terdiri dari material vulkanik di sisi-sisi gunung berapi disebut lahar. Aliran dari lumpur, batu, dan air dapat bergegas turun lembah dan saluran aliran dengan kecepatan 20 sampai 40 mil per jam dan dapat mencapai jarak lebih dari 50 mil. Beberapa lahar mengandung begitu banyak puing-puing batu (60 sampai 90% berat) bahwa mereka terlihat seperti sungai yang bergerak cepat dari beton basah. Dekat dengan sumbernya, arus ini cukup kuat untuk merobek dan membawa pohon, rumah, dan batu-batu besar beberapa mil ke hilir. Lebih jauh ke hilir lahar mengubur semua di jalurnya kedalam lumpur.

Secara historis, lahar telah menjadi salah satu bahaya gunung berapi paling mematikan. Itu dapat terjadi baik selama letusan gunung berapi dan ketika tenang. Air yang menciptakan lahar bisa berasal dari salju dan es mencair (terutama air dari gletser mencair oleh aliran piroklastik atau gelombang), curah hujan intens, atau keluar dari danau kawah puncak. Lahar yang besar berpotensi membahayakan masyarakat banyak hilir dari gunung berapi seperti Mount Rainier.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 30 November 2013

Memahami Erupsi Freatik 18 November 2013 di Gunung Merapi

Gunung Merapi meletus! Begitu kabar yang berseliweran pada Senin pagi 18 November 2013 lalu. Dari arah kota Yogyakarta, pemandangan pagi hari itu memang menggidikkan. Di utara, tempat Merapi menjulang tinggi, kepulan asap hitam bergumpal-gumpal nampak menjulur menembus langit dari kawah baru Merapi, produk letusan besar 2010, yang lebar dan ‘robek’ di sisi tenggaranya. Kolom debu menyembur hingga setinggi sekitar 2.000 meter dari puncak. Debu vulkanik pun berjatuhan di sisi timur gunung dan terbawa hembusan angin hingga sejauh hampir 70 km. Debu pun menyelimuti suasana pagi kota-kota Boyolali, Kartasura, Surakarta, Karanganyar dan Sragen. Kota Boyolali direjam oleh debu yang paling pekat, yang dalam simulasi sanggup membentuk endapan setebal antara 1 hingga 10 mm. Bandara Adisumarmo pun turut dihujani debu, meski dengan ketebalan lebih tipis yakni antara 0,3 hingga 1 mm. Sehingga aktivitas penerbangan pagi itu tak terganggu.

Gambar 1. Kolom debu vulkanik mengepul ke langit pada kejadian Senin pagi 18 November 2013, diabadikan dari arah selatan (Kaliurang). Sumber: BPPTKG, 2013.

Tak pelak kehebohan besar pun tercipta. Arus pengungsian sempat mengalir dari desa-desa yang berdekatan dengan puncak Merapi. Wajah-wajah terkejut dapat ditemukan dimana-mana, apalagi pemandangan ini tidak disertai tanda-tanda khas bakal terjadinya letusan Merapi seperti kebiasaan sebelumnya. Apalagi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi (BPPTKG) sebagai “rumah” bagi segala aktivitas pemantauan Gunung Merapi masih tetap menyatakan gunung ini berstatus Aktif Normal (Tingkat 1).

Jadi apa yang sesungguhnya terjadi di Senin pagi lalu? Apakah ini tanda awal bahwa siklus letusan Merapi telah mulai menampakkan ujung hidungnya setelah 3 tahun beristirahat pasca letusan 2010? Apakah kejadian Senin pagi lalu akan berujung pada letusan demi letusan yang terus membesar?

Tahap

Secara teknis, Gunung Merapi pada Senin pagi 18 November 2013 itu memang ber-erupsi alias meletus. Namun Gunung Merapi justru tidak berada dalam tahap letusan. Seperti gunung berapi aktif lainnya, letusan Gunung Merapi juga diwujudkan dengan keluarnya magma. Kecuali letusan 1930 dan 2010, muntahan magma Gunung Merapi sepanjang abad ke-20 selalu ditandai dengan menumpuknya magma di ujung lubang keluaran hingga membesar dan membukit sebagai kubah lava. Oleh bermacam sebab baik internal maupun eksternal, sebagian kubah lava lantas longsor sehingga materialnya (dalam wujud pasir, debu dan bebatuan beragam ukuran) yang panas membara berkejaran menuruni lereng gunung sebagai aliran piroklastika. Nama populernya adalah awan panas, atau bagi penduduk sekitar Gunung Merapi mendapatkan nama lain yakni wedhus gembel.

Gambar 2. Sebaran debu vulkanik dari Gunung Merapi menyusul kejadian Senin pagi 18 November 2013. Debu melampar hingga sejauh hampir 70 km dari kawah Merapi. Sumber: BPPTKG, 2013.

Muntahan magma selalu didului oleh gerak naik magma dari dapur magma. Bagi Gunung Merapi dapur magmanya terletak di kedalaman sekitar 4 km dari paras air laut rata-rata. Oleh beragam sebab, magma dalam dapur magma secara periodik akan bergerak naik melintasi saluran magma. Saluran ini masih dipenuhi sisa-sisa magma tua dari episode letusan sebelumnya yang sudah membeku. Sehingga magma segar (magma baru) yang bersifat plastis (sangat kental) harus berjuang keras meretakkan/memecah bekuan-bekuan tersebut agar bisa terus menanjak. Peretakan/pemecahan ini menghasilkan getaran-getaran gempa tektonovulkanik yang lebih dikenal sebagai gempa vulkanik dalam. Magma segar yang berhasil menerobos lantas memasuki kantung/saku magma Merapi yang terletak sekitar 1 hingga 1,7 km di bawah puncak. Dari sini kala jumlahnya telah cukup banyak, magma segar pun kembali menanjak naik memasuki saluran magma dalam tubuh Gunung Merapi. Maka proses serupa pun berulang, kala magma segar harus meretakkan/memecahkan bekuan sisa-sisa magma tua yang masih menyumbat di dalam saluran. Maka terjadilah getaran-getaran yang merupakan gempa vulkanik dangkal. Saat magma mulai memasuki tubuh gunung, maka penambahan massa magma menyebabkan tubuh gunung membengkak dibanding semula.

Gerakan magma dari dapur magma menuju ke kantung magmanya membutuhkan waktu lama, tak hanya dalam 1 hingga 2 hari. Pun demikian gerakan magma dari kantung magma menuju puncak. Setiap getaran gempa vulkanik dalam dan dangkal bisa dimonitor, terlebih Gunung Merapi adalah gunung berapi yang paling diawasi di Indonesia. Maka saat Gunung Merapi hendak memasuki tahap letusannya, jumlah gempa vulkanik dalam dan dangkalnya bakal melonjak dibanding nilai rata-rata mingguan. Tubuh gunung pun bakal terpantau membengkak, baik berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen tiltmeter maupun EDM (electronic distance measurement). Situasi inilah yang tak terlihat menjelang kejadian 18 November 2013 lalu. Berdasarkan catatan BPPTKG, kegempaan Gunung Merapi selama periode 11-17 November 2013 terdiri dari gempa guguran 109 kali, gempa multifase 8 kali, gempa tektonik 11 kali dan gempa vulkanik dangkal 3 kali tanpa adanya gempa vulkanik dalam. Angka ini relatif tak berbeda dengan pengukuran seminggu sebelumnya, yakni periode 4-10 November 2013, dimana tercatat gempa guguran 78 kali, multifase 2 kali dan gempa tektonik 11 kali tanpa adanya gempa vulkanik.


Gambar 3. Perubahan morfologi puncak Gunung Merapi antara sebelum 2010 (kiri) dan setelah 2010 (kanan) berdasarkan citra satelit. Angka menunjukkan lokasi kubah lava produk tahap letusan tertentu (misalnya 2006 berarti kubah lava produk tahap letusan 2006). Sebelum 2010, puncak dipenuhi tonjolan kubah lava di sana-sini tanpa adanya kawah. Pasca 2010 sejumlah kubah lava lenyap seluruhnya/sebagian, digantikan oleh kawah seukuran 600 meter yang terbuka ke tenggara. Perubahan inilah yang mempengaruhi sifat-sifat Gunung Merapi pasca 2010. Sumber: BPPTK, 2007; BPPTKG, 2013.

Gempa guguran merupakan getaran yang terkait aktivitas ambrolnya bongkahan-bongkahan bebatuan dari kubah lava sementara gempa multifase terkait dinamika dalam kubah lava Merapi. Bandingkan dengan catatan kegempaan menjelang tahap letusan, dimana gempa vulkanik dalam dan dangkal bisa terjadi puluhan kali dalam seminggu. Di sisi lain pengukuran kemiringan lereng dengan tiltmeter tidak menunjukkan adanya perubahan kemiringan, pun demikian dengan hasil pengukuran EDM. Maka jelas tak ada gerak naik magma dari dapur magma Merapi. Atas dasar inilah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai induk dari BPPTKG tetap menempatkan Gunung Merapi dalam status Aktif Normal (tingkat 1). Sehingga gunung ini memang tak dalam tahap letusan.

Jika demikian, apa yang sesungguhnya terjadi pada Senin pagi 18 November 2013 lalu?

Erupsi Freatik

Saat Gunung Merapi meletus besar tepat tiga tahun silam, letusan dipungkasi dengan pembentukan kubah lava baru secara gradual yang disebut kubah lava 2010 di dasar kawah. Kubah lava yang menjadi ‘penyumbat’ ujung saluran magma Merapi ini perlahan namun pasti terus mendingin dan membatu. Batuan adalah penghantar panas yang buruk, sehingga pendinginan yang dialami oleh bagian permukaan kubah lava 2010 tidak tersalur dengan baik ke bagian dalam, sehingga dasar kubah lava sejatinya masih panas membara. Di sisi lain pendinginan tersebut pun berlangsung tak merata, sehingga masih ada titik-titik yang suhunya setinggi 1.000 derajat Celcius yang menjadikannya bagian terlemah pada kubah lava.

Pasca letusan 2010, Gunung Merapi kini memiliki kawah besar (diameter sekitar 600 meter) yang terbuka/robek di sisi tenggaranya. Dasar kawah ini berceruk di sana sini seiring tutupan kubah lava yang tak menjangkau semua sudutnya, sehingga memungkinkan air hujan terjebak dan meresap. Kondisi ini yang tak pernah dijumpai sebelum 2010, kala Gunung Merapi tidak berkawah dan melulu berhias aneka kubah lava yang bertonjolan di sana-sini sebagai produk letusan dari masa yang berbeda-beda.Sehingga air hujan tak sempat menggenang dan langsung mengalir menuju lereng.

Gambar 4. Penampang melintang Gunung Merapi dengan posisi dapur magma dan kantung/saku magmanya. Sumber: diadaptasi dari Hidayati dkk, 2008.

Resapan air hujan inilah pembuka babak baru bagi Gunung Merapi pasca 2010, yang memungkinkan terjadinya erupsi freatik. Erupsi ini adalah jenis letusan yang terjadi tatkala air, darimanapun sumbernya, mendadak terpanaskan oleh magma, baik magma segar maupun tua, tanpa harus bersentuhan secara langsung. Pemanasan hebat (pada rentang suhu antara 500 hingga 1.170 derajat Celcius) menyebabkan penguapan brutal yang membentuk uap bertekanan tinggi. Secara umum setiap 1 liter air yang terpanaskan akan berubah menjadi 2.000 liter uap. Kian banyak jumlah air yang meresap diimbangi dengan kian banyak pula uap air yang terbentuk. Bila tekanan uapnya melampaui ambang batas kekuatan ikatan antar butir batuan di kubah lava, khususnya di titik-titik yang paling lemah, maka semburan uap air pun terjadilah. Semburan bakal menyeret butir-butir debu dan pasir sehingga menghasilkan kolom debu nan pekat di udara sebelum kemudian tersebar ke arah tertentu mengikuti hembusan angin. Inilah erupsi freatik. Karena hanya ditenagai uap air, maka erupsi freatik pada umumnya hanya akan menghasilkan kolom debu yang relatif rendah (kurang dari 5.000 meter), kecuali jika sumber airnya sangat berlimpah (misalnya untuk gunung-gunung berapi laut). Durasi erupsi pun singkat, karena begitu seluruh uap air telah keluar maka erupsi pun kehilangan tenaganya dan berhenti dengan sendirinya.

Bagi sejumlah gunung berapi, erupsi freatik menjadi salah satu fase dalam tahap letusan tatkala magma segar yang sedang menanjak naik di dalam salurannya telah sanggup memanaskan air bawah tanah hingga titik ekstrim. Dalam kasus ini maka erupsi freatik akan berlanjut dengan fase selanjutnya, yakni erupsi freatomagmatik. Erupsi freatomagmatik terjadi tatkala magma segar benar-benar telah bersentuhan dengan air bawah tanah sehingga permukaannya mendadak mendingin dan membeku, namun tidak dengan interiornya. Jika magma terus saja menanjak naik maka erupsi freatomagmatik bakal berlanjut dengan erupsi magmatik sebagai fase puncaknya. Fase-fase seperti ini bisa disaksikan misalnya dalam Letusan Sinabung 2013 yang dimulai semenjak 15 September 2013 dan masih berlangsung hingga kini. Fase erupsi freatik dan freatomagmatik Sinabung terjadi pada rentang waktu 15 September hingga 11 November 2013. Sementara fase erupsi magmatik berlangsung pasca 11 November 2013, ditandai dengan semburan awan panas dan lava pijar.

Gambar 5. Diagram sederhana proses terjadinya erupsi freatik di Gunung Merapi. Tubuh gunung (warna coklat) hanya digambarkan di sekitar puncak, dengan kawah tersumbat kubah lava yang permukaannya sudah mulai mendingin (warna hitam) namun dasarnya masih membara (warna orange). Kubah lava menjadi pembatas udara luar dengan saluran magma yang masih penuh berisi magma sisa letusan sebelumnya yang masih membara (warna merah). A = saat hujan mengguyur puncak, membuat air tergenang di dasar kawah. B = air yang tergenang memasuki interior/dasar kubah lava dan terpanaskan brutal hingga membentuk uap sangat banyak. C = uap menyembur sembari membawa partikel debu dalam kubah lava hingga membentuk kolom debu vulkanik. Sumber: Sudibyo, 2013.

Namun erupsi freatik dapat pula berdiri sendiri tanpa harus diikuti dengan erupsi freatomagmatik maupun magmatik. Fenomena ini sering dijumpai di Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah). Karena itu tatkala salah satu kawah aktif di Dataran Tinggi Dieng meletus, durasi letusannya tak memakan waktu lama. Pada masa silam erupsi freatik yang berdiri sendiri juga banyak terjadi di seputar kaki Gunung Muria (jawa Tengah), yang menghasilkan aneka cekungan bulat yang merupakan kawah maar. Sebagian diantaranya terisi air dan menjadi danau. Kejadian serupa di masa silam pun terjadi di sekitar Gunung Lamongan dan Gunung Semeru (keduanya di Jawa Timur), dengan sejumlah kawah maar yang dihasilkannya pun tergenangi air sebagai danau yang oleh penduduk setempat disebut ranu.

Erupsi freatik ini pulalah yang terjadi di Gunung Merapi pasca 2010, termasuk kejadian 18 November 2013 lalu. Erupsi freatik di Gunung Merapi sesungguhnya telah berkali-kali terjadi selama ini, namun yang menonjol baru tiga: erupsi freatik 23 Juni 2013, 22 Juli 2013 dan 18 November 2013. Di antara ketiganya, erupsi freatik 18 November 2013 merupakan yang terbesar hingga sejauh ini, menumbangkan rekor yang semula dipegang kejadian 22 Juli 2013. Dalam catatan Martono Arbi Wibisono, ketiga erupsi freatik itu selalu didului hujan deras yang mengguyur gunung dalam sehari dua hari sebelumnya. Hujan pada 11 November 2013 bahkan tergolong deras dengan intensitas hingga 47 mm/jam dan berlangsung selama 125 menit. Hujan deras ini mungkin salah satu faktor yang membuat erupsi freatik 18 November 2013 lebih besar ketimbang kejadian 22 Juli 2013 maupun 23 Juni 2013 mengingat air yang tergenang di dasar kawah dan lalu memasuki interior kubah lava jauh lebih besar. Konsekuensinya, uap air yang terbentuk pun jauh lebih banyak sehingga tekanan uapnya jauh lebih besar. Sebagai muaranya semburan uap air dalam erupsi freatik 18 November 2013 menjadi lebih tinggi (yakni 2.000 meter) dibanding kejadian 22 Juli 2013 (yang ‘hanya’ 1.000 meter). Uap air bertekanan tinggi itu pun kemungkinan menyembur tidak hanya melewati satu titik saja. Sehingga kubah lava 2010 pun menjadi terlemahkan khususnya di sektor-sektor tertentu. Survei BPPTKG menunjukkan telah terbentuk retakan pasca erupsi pada kubah lava 2010, yakni sepanjang 230 meter dengan lebar 50 meter, yang mungkin adalah indikasi dari pelemahan tersebut.

Gempa

BPPTKG mencatat erupsi freatik pada Senin pagi 18 November 2013 itu terjadi pada pukul 04:58 WIB dengan durasi 10 menit. Selain kesan visual dalam bentuk semburan kolom debu ke langit, erupsi pun terekam pada seismometer-seismometer pemantau Gunung Merapi sebagai getaran keras, dengan amplitudo maksimum hingga 120 mm. Erupsi freatik didului dengan gempa tektonik lokal, yang disusul oleh gempa tektonik jauh pada pukul 04:41 WIB. Rilis BMKG menunjukkan gempa tektonik jauh itu adalah gempa Ciamis dengan magnitudo 4,7 skala Richter dan episentrum terletak pada koordinat 8,33 LS 109,00 BT pada kedalaman 23 km. Episentrum gempa terletak di sebelah selatan kota Cilacap (Jawa Tengah) sejauh 66 km. dari Gunung Merapi, episentrum gempa tektonik jauh ini berjarak 165 km.

Gambar 6. Perkiraan intensitas getaran yang dihasilkan Gempa Ciamis 18 November 2013 terhadap kerakbumi disekelilingnya. Lingkaran menunjukkan radius maksimal getaran berintensitas tertentu, dimana “4″ adalah 4 MMI (Modified Mercalli Intensity) dan seterusnya. Sumber: Sudibyo, 2013.

Dua gempa tektonik beruntun ini dianggap sebagai pemicu erupsi freatik lalu. Meski demikian peranan gempa tektonik jauh (yakni gempa Ciamis) masih mengundang tanya. Dengan kota Cilacap sebagai kawasan terdekat terhadap episentrum, seharusnya kota ini dan kawasan sekitarnya yang paling merasakan getaran gempa Ciamis. Namun dalam kenyataannya tidak demikian, sejauh ini tidak ada laporan penduduk setempat yang merasakan getaran gempa ini. Pada umumnya manusia baru merasakan adanya gempa saat mengalami getaran berintensitas minimal 3 MMI (Modified Mercalli Intensity). Jika dianggap Cilacap mengalami getaran berintensitas 3 MMI maka Gunung Merapi, yang berjarak 165 km dari episentrum, hanya akan mengalami getaran berintensitas 1 MMI atau getaran terlemah. Rasanya sulit getaran selemah itu sanggup membuat bagian kubah lava 2010 retak-retak yang memungkinkan air masuk ke dasar/interior kubah, meskipun di titik terlemahnya sekalipun. Pengaruh gempa terhadap dinamika dapur magma dan kantung magma pun diragukan. Manga & Brodsky (2006) telah mengembangkan rumus empirik yang sejatinya berlaku dalam kasus gempa dan gunung lumpur (mud volcano) dalam bentuk M = 2,26 log R – 5 (R= jarak ke episentrum dalam meter, M = magnitudo gempa minimum untuk bisa memicu letusan). Dengan menganggap rumus empirik ini juga bisa diterapkan dalam kasus letusan gunung berapi yang dipicu gempa tektonik, maka agar bisa mengganggu stabilitas dapur magma dan kantung magma Merapi, gempa Ciamis harus memiliki magnitudo minimum 6,8 skala Richter.

Terlepas dari bagaimana hubungan gempa Ciamis dengan erupsi freatik 18 November 2013, dalam sejarahnya aktivitas Gunung Merapi kadangkala (tidak selalu) berhubungan dengan gempa tektonik yang episentrumnya berdekatan dengannya. Misalnya pada 2001 saat daratan Yogya diguncang gempa tektonik pada 25 Mei 2001 (magnitudo Mw 6,3) dengan episentrum 50 km sebelah barat daya Gunung Merapi, atau tepatnya di bawah kota Wates (Kabupaten Kulon Progo) dengan kedalaman 130 km. Saat gempa ini terjadi, Gunung Merapi sedang dalam tahap letusan. Dan gempa mempengaruhi dapur/kantung magma, yang ditandai dengan peningkatan suhu titik solfatara Woro hingga 30 derajat Celcius dari nilai semula yang sebesar 435 derajat Celcius. Pun demikian pada 2006, juga pada saat Gunung Merapi berada dalam tahap letusan. Gempa tektonik 27 Mei 2006 (magnitudo Mw 6,4) mengguncang dengan episentrum berjarak 50 km sebelah selatan Gunung Merapi, atau tepatnya di perbatasan kabupaten Gunungkidul dan bantul, pada kedalaman 10 km. Gempa yang menelan ribuan korban jiwa ini pun mempengaruhi Gunung Merapi sehingga volume magma yang dimuntahkannya meningkat. Jika sebelum gempa Gunung Merapi hanya memuntahkan ~50.000 meter kubik magma/hari, maka pasca gempa muntahan magma melonjak hebat menjadi ~150.000 meter kubik/hari. Jumlah awan panas rata-rata yang dihasilkannya dalam periode 16 hari pun melesat dari semula 34 kejadian awan panas/hari sebelum gempa menjadi 95 kejadian awan panas/hari pascagempa.

Pelajaran Ke Depan

Gambar 7. Bagaimana erupsi demi erupsi freatik mengubah wajah kubah lava 2010 di dasar kawah Gunung Merapi. A = kubah lava pada Juni 2013, nampak ceruk pusat (P) dan titik sinter (S) di sisi barat daya dimana magma masih membara. B = kubah lava pasca erupsi freatik 22 Juli 2013, ceruk pusat (P) masih terlihat dengan area sekitar diselimuti lapisan debu vulkanik produk erupsi, sementara titik sinter telah lenyap berubah menjadi ceruk panjang dan lebih dalam. C = kubah lava pasca erupsi 18 November 2013, ceruk pusat telah lenyap digantikan retakan sepanjang 230 m dengan lebar 50 m. Sumber: Iskandar Wibisono, 2013; BPPTKG, 2013.

Jelas bahwa pada 18 November 2013 lalu Gunung Merapi tidak berada dalam tahap letusan, seperti tecermin dari data kegempaan serta hasil pengukuran kemiringan lereng dan EDM. Apa yang terjadi pada Senin pagi itu merupakan erupsi freatik yang singkat karena hanya ditenagai uap air dalam jumlah terbatas, sebagai konsekuensi dari terbatasnya air yang berada di dasar kawah. Dengan erupsi berlangsung singkat, terminologi populer yang lebih cocok untuk mendeskripsikannya mungkin adalah Gunung Merapi sedang ‘batuk’, bukan meletus.

Erupsi freatik dikontrol oleh keberadaan air dalam kawah, yang berasal dari air hujan. Dalam tiga kejadian erupsi freatik Gunung Merapi yang signifikan, semuanya didahului dengan hujan deras dalam sehari atau dua hari sebelumnya. Dengan Indonesia telah memasuki musim hujan dan bakal mencapai puncaknya pada Januari-Februari 2014 mendatang, potensi Gunung Merapi bakal ‘terbatuk’ lagi masih besar. Terlebih jika perubahan-perubahan di dasar kawah pasca tiga erupsi freatik signifikan tadi diperhitungkan, yang menghasilkan beragam ceruk dan retakan di kubah lava 2010. Sehingga air hujan berpotensi menggenang lebih banyak lagi. Jika titik-titik terlemah di dasar kawah mendadak retak, oleh beragam sebab, dan air yang menggenang lantas membanjir terserap ke interior/dasar kubah lava, maka Gunung Merapi pun bakal ‘terbatuk’ lagi. Jadi ancaman air hujan pada Gunung Merapi kini tak lagi hanya bisa menghasilkan lahar dingin/lahar hujan, namun juga mampu menyebabkan Gunung Merapi ‘terbatuk.’

Situasi inilah yang harus menjadi perhatian bersama. Mengingat meski erupsi freatik Gunung Merapi sejauh ini memiliki intensitas lemah, namun ia tetap menghamburkan debu vulkanik yang bisa menurunkan kualitas kehidupan manusia. Maka kesiapsiagaan tetap perlu dijaga. Di sisi lain, semakin mendekat ke puncak maka kepekatan debu vulkanik pada saat erupsi freatik terjadi bakal kian besar. Maka sebaiknya akses ke puncak Gunung Merapi dibatasi. Jika perlu akses ditutup selama waktu tertentu (misalnya seminggu) kala hujan deras mendera Gunung Merapi.

Semoga bermanfaat

Referensi :

Manga & Brodsky, 2006, Seismic Triggering of Eruptions in the Far Field: Volcanoes and Geysers, Annu.Rev.EarthPlanet Sci 2006, 34, 263-291.

Walter dkk, 2007, Volcanic Activity Induced by Tectonic Earthquakes: Static and Dynamic Stress Triggering at Mt. Merapi, GRL 2007, 34, 1-5.

Hidayati dkk, 2008, Focal Mechanism of Volcano-tectonic Earthquakes at Merapi Volcano, Indonesia, IJP 2008, vol. 19 no. 3, 75-82.






Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara: ETNOLOGI, GEOLOGI, BIOLOGI


Pulau Manado Tua bersama Pulau Bunaken, Siladen, Mantehage, dan Nani merupakan gugusan pulau yang membentuk Taman Nasional Bunaken-Manado. Taman nasional sekira 89.065 hektar ini terletak tidak jauh dari Kota Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Pulau Manado Tua adalah sebuah gunungapi yang seolah terapung di atas laut yang mengelilinginya, membentuk pulau gunungapi atau pulau volkanik, yang dinamakan Pulau Manado Tua atau Gunung Manado Tua. Di sebelah timurnya ada pulau volkanik lain yang lebih terkenal tetapi tak membentuk morfologi gunung: Pulau Bunaken. Laut di antara Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken itulah Taman Laut Bunaken yang sangat terkenal itu.

ETNOLOGI

Konon Pulau/Gunung Manado Tua adalah tempat pertama yang sesungguhnya bernama Manado. Pulau ini pertama kali dihuni oleh sekelompok orang yang berasal dari Mindanao, Filipina yang melarikan diri dari sebuah peperangan. Karena perahu mereka dilanda badai, maka mereka terdampar di pulau ini. Pulau ini kemudian dinamai “Man narou” atau “Mana’undou” yang bisa berarti “masih haus” atau “di jauh” dalam bahasa mereka. Kemudian namanya menjadi “Manadu/Manado” dalam literatur-literatur Belanda, misalnya dalam “Beschrijving der Moluccas” (Valentijin, 1724).


Maka disebutlah pulau gunungapi ini Manado. Menurut penelitian-penelitian yang dilakukan para ahli kebudayaan lokal (misalnya oleh Geraldine Manoppo-Watupongoh, Soleman Montori, Tutty Kahimpong), pulau ini pertama kali dihuni tahun 1339 M. Tahun 1523 para penduduknya berpindah ke Wenang (Manado sekarang). Lalu tahun 1682 nama Wenang berubah menjadi Manado dan nama pulau volkanik Manado itu sendiri menjadi Manado Tua (maksudnya Manado lama).

Begitulah cerita etnologi Manado Tua. Kini Manado Tua termasuk wilayah kecamatan Bunaken Kepulauan; terdiri atas dua kelurahan, yaitu kelurahan Manado Tua Satu dan Manado Tua Dua.

GEOLOGI

Pulau Manado Tua adalah sebuah gunungapi nonaktif, entah tidur panjang sekali atau sudah mati tidak diketahui. Tinggi gunung ini sekitar 750 meter di atas muka laut. Seperti Pulau Bunaken, pulau Manado Tua dominan disusun tuf atau abu volkanik yang membatu. Tidak ditemukan lubang kepundan atau kawah di puncaknya. Yang ada di puncaknya justru adalah sebuah lubang galian sedalam sekitar 20 meter, bekas orang menggali konon untuk mencari harta yang menurut isu disembunyikan Belanda di puncak gunung ini.

Tak banyak publikasi detail soal geologi dan vulkanologi Manado Tua, memang ini gunungapi nonaktif. Apakah ia pernah aktif dengan lubang kawah ke dapur magmanya, atau gunung ini sekedar gumuk/bukit piroklastika tidak diketahui dengan pasti. Manado Tua dan Bunaken bisa saja dulu merupakan satu gunungapi yang telah meletus, Bunaken adalah sisa dataran kawahnya, sementara Manado Tua bagian tubuh gunungapi besar yang tersisa. Spekulasi ini akan mengharuskan bahwa bekas kawah utamanya akan berada di antara Manado Tua dan Bunaken, atau di area Taman Laut Bunaken sekarang.

Tumbuhnya kompleks terumbu karang yang menjadi andalan Taman Laut Bunaken menunjukkan bahwa paling tidak sejak sepuluh ribu tahun yang lalu area ini bukan area aktif volkanik sehingga hewan-hewan karang (scleractinian corals) bisa tumbuh subur di sini. Pada Plistosen, 1 juta- 10.000 tahun yang lalu, mungkin saja Manado Tua merupakan gunungapi aktif.

Gunung-gunungapi aktif sekarang di Sulawesi Utara bergeser ke sisi selatan dan timur, misalnya Mahawu, Lokon, Soputan; juga banyak gejala-gejala volkanisme tidur namun masih aktif yang ditunjukkan di ujung Lengan Sulawesi Utara ini yang memberika gejala-gejala panasbumi (geotermal) misalnya di area Tomohon, danau Linau, Bukit Kasih, yang sebagian dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga panasbumi Lahendong. Gunung-gunungapi aktif Sulawesi Utara sekarang membentuk busur kepulauan, yang dibentuk oleh menunjamnya segmen lempeng samudera Halmahera ke sebelah barat ke bawah segmen lempeng Sangihe.

BIOLOGI

Pulau Manado Tua, khususnya perairan di sekitarnya pernah menghentak dunia ilmu pengetahuan ketika pada tahun 1998 seekor ikan yang digolongkan purba ditemukan di sini. Ikan ini dari ordo ikan terkenal “Coelacanths” yang diduga telah punah sejak 65 juta tahun yang lalu, pada ujung zaman Kapur ketika para dinosaurus lenyap dari Bumi. Sebenarnya hentakan pertama terjadi 60 tahun sebelumnya ketika pada tahun 1938 untuk pertama kalinya di dunia ditemukan Coelacanth hidup di perairan sebelah timur Afrika di sekitar Madagaskar. Ikan “purba” ini dari genus Latimeria, dengan nama spesies Latimeria chalumnae.

Lalu pada tahun1998 ditemukan spesies lain Coelacanths yaitu di perairan Manado Tua yang dinamai Latimeria menadoensis (artinya: Latimeria asal Manado). Tidak seperti ikan pada umumnya, Coelacanths bernafas dengan susunan seperti paru-paru juga dengan sirip-sirip seperti empat kaki (tetrapoda), sehingga Coelacanths lebih mirip reptilia atau mamalia laut, daripada ikan pada umumnya.


Di seluruh dunia, hanya dua spesies Coelacanths hidup itulah yang ada atau telah ditemukan sampai saat ini. Satu di perairan Samudera Hindia Barat yaitu di perairan sekitar Madagskar, Afrika; dan satu lagi di perairan Samudera Hindia Timur yaitu di perairan Manado Tua, Indonesia.

Semoga bermanfaat...


sumber

Minggu, 03 Februari 2013

Mengenal Geologi Zona Rembang

Peta Zona Rembang 

Geomorfologi


Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.

Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.


Stratigrafi


Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).

Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.

Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).

Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).

Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

1. Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong

Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu

Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

4. Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.
Gambar Kolom Stratigrafi Mandala Rembang (Harsono Pringgoprawiro, 1983)

Struktur Geologi

Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).

Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.

Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat.

Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).

Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.

Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.

Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 
Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara. 
Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur. 
Gambar Kerangka tektonik Cekungan Jawa Timur bagian Utara (Katili dan Reinemund, 1984)


Semoga bermanfaat

sumber

Sabtu, 02 Februari 2013

Zona Fisiografis Jawa Tengah - Timur


Fisiografis, yaitu pembagian zona bentang alam yang merupakan representasi batuan dan struktur geologinya.
Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan di Jawa Tengah dibagi oleh dua puncak geantiklin, yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan. Pegunungan Serayu Utara membentuk garis penghubung antara Zona Pegunungan Bogor (Jawa Barat) dengan Zona Pegunungan Kendeng (Jawa Tengah). Pegunungan Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi Bandung yang membujur longitudinal di Jawa Barat.

Berdasarkan kondisi litologi penyusun, pola struktur dan morfologi yang ditunjukkan oleh Van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, dari utara ke selatan, antara lain sebagai berikut:

1. Depresi Semarang – Rembang
Depresi Semarang – Rembang merupakan dataran yang berada diantara Semarang dan Rembang.

2. Zona Rembang
Zona Rembang di bagian Utara dibatasi oleh Paparan Laut Jawa Utara ke arah selatan berhubungan dengan Depresi Randublatung yang dibatasi oleh Sesar Kujung, ke arah barat berhubungan dengan Depresi Semarang – Pati dan ke arah timur berhubungan dengan bagian utara Pulau Madura.

3. Zona Randublatung
Zona Randublatung merupakan daerah lembah dan bagian tengah memanjang barat – timur dan memisahkan Zona Kendeng dan Zona Rembang.

4. Zona Kendeng
Zona Kendeng memanjang dari Gunung Ungaran di bagian barat menuju ke arah timur sampai ke Sungai Brantas. Panjang zona ini diperkirakan 250 km, lebar di bagian barat 40 km dan mungkin menyempit di bagian timur kurang lebih 20 km (Genevraye & Samuel, 1972).

5. Depresi Tengah / Zona Solo
Zona Solo tersusun oleh endapan Kuarter dan ditempati oleh Gunungapi Kuarter, dibedakan menjadi 3 sub-zona, yaitu:
1. Sub-Zona Blitar
2. Sub-Zona Solo
3. Sub-Zona Ngawi

6. Zona Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah, berada di selatan Yogyakarta dengan lebar kurang lebih 55 km, hingga Jawa Timur dengan lebar kurang lebih 25 km, berada di selatan Blitar. Zona Pegunungan Selatan dipisahkan menjadi tiga (3) sub-zona, yaitu:
1. Sub-Zona Baturagung
2. Sub-Zona Wonosari
3. Sub-Zona Gunung Sewu

7. Zona Gunungapi Kuarter
Zona ini meliputi gunung-gunung yang berumur kuarter, seperti: Gunung Ungaran, Merbabu, Merapi, Sumbing, Sindoro dan gunung-gunung lainnya.

Semoga bermanfaat

sumber

Senin, 10 Desember 2012

Hasil Penelitian Sesar Aktif Dan Kegempaan Wilayah Semarang, Rembang Dan Cilacap Jawa Tengah

Lokasi penelitian seismotektonik daerah Rembang pada citra Landsat (RGB 457)

Tahukah kalian bahwa Kabupaten Rembang juga termasuk daerah rawan bencana gempa meski skalanya kecil. Untuk lebih jelasnya silahkan baca dan cermati artikel dibawah ini semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan pembaca semuanya.

Penelitian Sesar Aktif dan kegempaan (Seismotektonik) meliputi wilayah Semarang dan sekitarnya pada koordinat 110 ° - 110 ° 30 'BT dan 6 ° 50' - 7 ° 30 'LS. Daerah Rembang pada koordinat 110 ° - 111 ° 30 'BT dan 6 ° 20' - 7 ° LS, dan Cilacap pada koordinat 109 ° - 109 ° 30 'BT dan 7 ° 30' - 7 ° 50 'LS. Daerah Semarang dan sekitarnya termasuk dalam wilayah administratif Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang. Daerah Rembang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Rembang, sedangkan daerah Cilacap termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap.

Daerah Semarang, Rembang dan Cilacap memiliki karakter tektonik serupa yaitu merupakan implementasi dari gaya tektonik Jawa yang berarah relatif utara-selatan. Daerah Cilacap memiliki intensitas tektonik lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Semarang dan Rembang. Berdasarkan penelitian neotektonik tersebut di atas dapat ditentukan empat perioda neotektonik sejak 2000 tahun yang lalu dengan perioda ulang 500 tahun yang ditandai dengan terbentuknya empat seri gosong pantai. Daerah Semarang dikontrol oleh kolom seismotektonik sesar mendatar mengiri Gajah Mungkur-Rawa Pening dan kolom seismotektonik sesar naik selatan Semarang, serta kolom seismotektonik sesar turun Kali Garang. Daerah Rembang dikontrol oleh kolom seismotektonik sesar naik Lasem. Daerah Cilacap dikontrol oleh seismotektonik sesar mendatar mengiri Serayu, dan kolom seismotektonik tunjaman selatan Jawa.

Berdasarkan penilaian terhadap karakter seismotektoniknya wilayah Cilacap memiliki indeks bencana dan resiko lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Semarang dan Rembang. Nilai intensitas maksimum gempabumi wilayah Cilacap mencapai VIII - IX MMI, sedangkan daerah Semarang dan Rembang maksimum VII MMI.






Nah itulah penelitian sesar aktif dan kegempaan wilayah Semarang, Rembang dan Cilacap Jawa Tengah yang dilakukan oleh Pusat Sumberdaya Geologi (Badan Geologi ESDM) semoga bermanfaat.