Sabtu, 30 November 2013

Memahami Erupsi Freatik 18 November 2013 di Gunung Merapi

Gunung Merapi meletus! Begitu kabar yang berseliweran pada Senin pagi 18 November 2013 lalu. Dari arah kota Yogyakarta, pemandangan pagi hari itu memang menggidikkan. Di utara, tempat Merapi menjulang tinggi, kepulan asap hitam bergumpal-gumpal nampak menjulur menembus langit dari kawah baru Merapi, produk letusan besar 2010, yang lebar dan ‘robek’ di sisi tenggaranya. Kolom debu menyembur hingga setinggi sekitar 2.000 meter dari puncak. Debu vulkanik pun berjatuhan di sisi timur gunung dan terbawa hembusan angin hingga sejauh hampir 70 km. Debu pun menyelimuti suasana pagi kota-kota Boyolali, Kartasura, Surakarta, Karanganyar dan Sragen. Kota Boyolali direjam oleh debu yang paling pekat, yang dalam simulasi sanggup membentuk endapan setebal antara 1 hingga 10 mm. Bandara Adisumarmo pun turut dihujani debu, meski dengan ketebalan lebih tipis yakni antara 0,3 hingga 1 mm. Sehingga aktivitas penerbangan pagi itu tak terganggu.

Gambar 1. Kolom debu vulkanik mengepul ke langit pada kejadian Senin pagi 18 November 2013, diabadikan dari arah selatan (Kaliurang). Sumber: BPPTKG, 2013.

Tak pelak kehebohan besar pun tercipta. Arus pengungsian sempat mengalir dari desa-desa yang berdekatan dengan puncak Merapi. Wajah-wajah terkejut dapat ditemukan dimana-mana, apalagi pemandangan ini tidak disertai tanda-tanda khas bakal terjadinya letusan Merapi seperti kebiasaan sebelumnya. Apalagi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi (BPPTKG) sebagai “rumah” bagi segala aktivitas pemantauan Gunung Merapi masih tetap menyatakan gunung ini berstatus Aktif Normal (Tingkat 1).

Jadi apa yang sesungguhnya terjadi di Senin pagi lalu? Apakah ini tanda awal bahwa siklus letusan Merapi telah mulai menampakkan ujung hidungnya setelah 3 tahun beristirahat pasca letusan 2010? Apakah kejadian Senin pagi lalu akan berujung pada letusan demi letusan yang terus membesar?

Tahap

Secara teknis, Gunung Merapi pada Senin pagi 18 November 2013 itu memang ber-erupsi alias meletus. Namun Gunung Merapi justru tidak berada dalam tahap letusan. Seperti gunung berapi aktif lainnya, letusan Gunung Merapi juga diwujudkan dengan keluarnya magma. Kecuali letusan 1930 dan 2010, muntahan magma Gunung Merapi sepanjang abad ke-20 selalu ditandai dengan menumpuknya magma di ujung lubang keluaran hingga membesar dan membukit sebagai kubah lava. Oleh bermacam sebab baik internal maupun eksternal, sebagian kubah lava lantas longsor sehingga materialnya (dalam wujud pasir, debu dan bebatuan beragam ukuran) yang panas membara berkejaran menuruni lereng gunung sebagai aliran piroklastika. Nama populernya adalah awan panas, atau bagi penduduk sekitar Gunung Merapi mendapatkan nama lain yakni wedhus gembel.

Gambar 2. Sebaran debu vulkanik dari Gunung Merapi menyusul kejadian Senin pagi 18 November 2013. Debu melampar hingga sejauh hampir 70 km dari kawah Merapi. Sumber: BPPTKG, 2013.

Muntahan magma selalu didului oleh gerak naik magma dari dapur magma. Bagi Gunung Merapi dapur magmanya terletak di kedalaman sekitar 4 km dari paras air laut rata-rata. Oleh beragam sebab, magma dalam dapur magma secara periodik akan bergerak naik melintasi saluran magma. Saluran ini masih dipenuhi sisa-sisa magma tua dari episode letusan sebelumnya yang sudah membeku. Sehingga magma segar (magma baru) yang bersifat plastis (sangat kental) harus berjuang keras meretakkan/memecah bekuan-bekuan tersebut agar bisa terus menanjak. Peretakan/pemecahan ini menghasilkan getaran-getaran gempa tektonovulkanik yang lebih dikenal sebagai gempa vulkanik dalam. Magma segar yang berhasil menerobos lantas memasuki kantung/saku magma Merapi yang terletak sekitar 1 hingga 1,7 km di bawah puncak. Dari sini kala jumlahnya telah cukup banyak, magma segar pun kembali menanjak naik memasuki saluran magma dalam tubuh Gunung Merapi. Maka proses serupa pun berulang, kala magma segar harus meretakkan/memecahkan bekuan sisa-sisa magma tua yang masih menyumbat di dalam saluran. Maka terjadilah getaran-getaran yang merupakan gempa vulkanik dangkal. Saat magma mulai memasuki tubuh gunung, maka penambahan massa magma menyebabkan tubuh gunung membengkak dibanding semula.

Gerakan magma dari dapur magma menuju ke kantung magmanya membutuhkan waktu lama, tak hanya dalam 1 hingga 2 hari. Pun demikian gerakan magma dari kantung magma menuju puncak. Setiap getaran gempa vulkanik dalam dan dangkal bisa dimonitor, terlebih Gunung Merapi adalah gunung berapi yang paling diawasi di Indonesia. Maka saat Gunung Merapi hendak memasuki tahap letusannya, jumlah gempa vulkanik dalam dan dangkalnya bakal melonjak dibanding nilai rata-rata mingguan. Tubuh gunung pun bakal terpantau membengkak, baik berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen tiltmeter maupun EDM (electronic distance measurement). Situasi inilah yang tak terlihat menjelang kejadian 18 November 2013 lalu. Berdasarkan catatan BPPTKG, kegempaan Gunung Merapi selama periode 11-17 November 2013 terdiri dari gempa guguran 109 kali, gempa multifase 8 kali, gempa tektonik 11 kali dan gempa vulkanik dangkal 3 kali tanpa adanya gempa vulkanik dalam. Angka ini relatif tak berbeda dengan pengukuran seminggu sebelumnya, yakni periode 4-10 November 2013, dimana tercatat gempa guguran 78 kali, multifase 2 kali dan gempa tektonik 11 kali tanpa adanya gempa vulkanik.


Gambar 3. Perubahan morfologi puncak Gunung Merapi antara sebelum 2010 (kiri) dan setelah 2010 (kanan) berdasarkan citra satelit. Angka menunjukkan lokasi kubah lava produk tahap letusan tertentu (misalnya 2006 berarti kubah lava produk tahap letusan 2006). Sebelum 2010, puncak dipenuhi tonjolan kubah lava di sana-sini tanpa adanya kawah. Pasca 2010 sejumlah kubah lava lenyap seluruhnya/sebagian, digantikan oleh kawah seukuran 600 meter yang terbuka ke tenggara. Perubahan inilah yang mempengaruhi sifat-sifat Gunung Merapi pasca 2010. Sumber: BPPTK, 2007; BPPTKG, 2013.

Gempa guguran merupakan getaran yang terkait aktivitas ambrolnya bongkahan-bongkahan bebatuan dari kubah lava sementara gempa multifase terkait dinamika dalam kubah lava Merapi. Bandingkan dengan catatan kegempaan menjelang tahap letusan, dimana gempa vulkanik dalam dan dangkal bisa terjadi puluhan kali dalam seminggu. Di sisi lain pengukuran kemiringan lereng dengan tiltmeter tidak menunjukkan adanya perubahan kemiringan, pun demikian dengan hasil pengukuran EDM. Maka jelas tak ada gerak naik magma dari dapur magma Merapi. Atas dasar inilah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai induk dari BPPTKG tetap menempatkan Gunung Merapi dalam status Aktif Normal (tingkat 1). Sehingga gunung ini memang tak dalam tahap letusan.

Jika demikian, apa yang sesungguhnya terjadi pada Senin pagi 18 November 2013 lalu?

Erupsi Freatik

Saat Gunung Merapi meletus besar tepat tiga tahun silam, letusan dipungkasi dengan pembentukan kubah lava baru secara gradual yang disebut kubah lava 2010 di dasar kawah. Kubah lava yang menjadi ‘penyumbat’ ujung saluran magma Merapi ini perlahan namun pasti terus mendingin dan membatu. Batuan adalah penghantar panas yang buruk, sehingga pendinginan yang dialami oleh bagian permukaan kubah lava 2010 tidak tersalur dengan baik ke bagian dalam, sehingga dasar kubah lava sejatinya masih panas membara. Di sisi lain pendinginan tersebut pun berlangsung tak merata, sehingga masih ada titik-titik yang suhunya setinggi 1.000 derajat Celcius yang menjadikannya bagian terlemah pada kubah lava.

Pasca letusan 2010, Gunung Merapi kini memiliki kawah besar (diameter sekitar 600 meter) yang terbuka/robek di sisi tenggaranya. Dasar kawah ini berceruk di sana sini seiring tutupan kubah lava yang tak menjangkau semua sudutnya, sehingga memungkinkan air hujan terjebak dan meresap. Kondisi ini yang tak pernah dijumpai sebelum 2010, kala Gunung Merapi tidak berkawah dan melulu berhias aneka kubah lava yang bertonjolan di sana-sini sebagai produk letusan dari masa yang berbeda-beda.Sehingga air hujan tak sempat menggenang dan langsung mengalir menuju lereng.

Gambar 4. Penampang melintang Gunung Merapi dengan posisi dapur magma dan kantung/saku magmanya. Sumber: diadaptasi dari Hidayati dkk, 2008.

Resapan air hujan inilah pembuka babak baru bagi Gunung Merapi pasca 2010, yang memungkinkan terjadinya erupsi freatik. Erupsi ini adalah jenis letusan yang terjadi tatkala air, darimanapun sumbernya, mendadak terpanaskan oleh magma, baik magma segar maupun tua, tanpa harus bersentuhan secara langsung. Pemanasan hebat (pada rentang suhu antara 500 hingga 1.170 derajat Celcius) menyebabkan penguapan brutal yang membentuk uap bertekanan tinggi. Secara umum setiap 1 liter air yang terpanaskan akan berubah menjadi 2.000 liter uap. Kian banyak jumlah air yang meresap diimbangi dengan kian banyak pula uap air yang terbentuk. Bila tekanan uapnya melampaui ambang batas kekuatan ikatan antar butir batuan di kubah lava, khususnya di titik-titik yang paling lemah, maka semburan uap air pun terjadilah. Semburan bakal menyeret butir-butir debu dan pasir sehingga menghasilkan kolom debu nan pekat di udara sebelum kemudian tersebar ke arah tertentu mengikuti hembusan angin. Inilah erupsi freatik. Karena hanya ditenagai uap air, maka erupsi freatik pada umumnya hanya akan menghasilkan kolom debu yang relatif rendah (kurang dari 5.000 meter), kecuali jika sumber airnya sangat berlimpah (misalnya untuk gunung-gunung berapi laut). Durasi erupsi pun singkat, karena begitu seluruh uap air telah keluar maka erupsi pun kehilangan tenaganya dan berhenti dengan sendirinya.

Bagi sejumlah gunung berapi, erupsi freatik menjadi salah satu fase dalam tahap letusan tatkala magma segar yang sedang menanjak naik di dalam salurannya telah sanggup memanaskan air bawah tanah hingga titik ekstrim. Dalam kasus ini maka erupsi freatik akan berlanjut dengan fase selanjutnya, yakni erupsi freatomagmatik. Erupsi freatomagmatik terjadi tatkala magma segar benar-benar telah bersentuhan dengan air bawah tanah sehingga permukaannya mendadak mendingin dan membeku, namun tidak dengan interiornya. Jika magma terus saja menanjak naik maka erupsi freatomagmatik bakal berlanjut dengan erupsi magmatik sebagai fase puncaknya. Fase-fase seperti ini bisa disaksikan misalnya dalam Letusan Sinabung 2013 yang dimulai semenjak 15 September 2013 dan masih berlangsung hingga kini. Fase erupsi freatik dan freatomagmatik Sinabung terjadi pada rentang waktu 15 September hingga 11 November 2013. Sementara fase erupsi magmatik berlangsung pasca 11 November 2013, ditandai dengan semburan awan panas dan lava pijar.

Gambar 5. Diagram sederhana proses terjadinya erupsi freatik di Gunung Merapi. Tubuh gunung (warna coklat) hanya digambarkan di sekitar puncak, dengan kawah tersumbat kubah lava yang permukaannya sudah mulai mendingin (warna hitam) namun dasarnya masih membara (warna orange). Kubah lava menjadi pembatas udara luar dengan saluran magma yang masih penuh berisi magma sisa letusan sebelumnya yang masih membara (warna merah). A = saat hujan mengguyur puncak, membuat air tergenang di dasar kawah. B = air yang tergenang memasuki interior/dasar kubah lava dan terpanaskan brutal hingga membentuk uap sangat banyak. C = uap menyembur sembari membawa partikel debu dalam kubah lava hingga membentuk kolom debu vulkanik. Sumber: Sudibyo, 2013.

Namun erupsi freatik dapat pula berdiri sendiri tanpa harus diikuti dengan erupsi freatomagmatik maupun magmatik. Fenomena ini sering dijumpai di Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah). Karena itu tatkala salah satu kawah aktif di Dataran Tinggi Dieng meletus, durasi letusannya tak memakan waktu lama. Pada masa silam erupsi freatik yang berdiri sendiri juga banyak terjadi di seputar kaki Gunung Muria (jawa Tengah), yang menghasilkan aneka cekungan bulat yang merupakan kawah maar. Sebagian diantaranya terisi air dan menjadi danau. Kejadian serupa di masa silam pun terjadi di sekitar Gunung Lamongan dan Gunung Semeru (keduanya di Jawa Timur), dengan sejumlah kawah maar yang dihasilkannya pun tergenangi air sebagai danau yang oleh penduduk setempat disebut ranu.

Erupsi freatik ini pulalah yang terjadi di Gunung Merapi pasca 2010, termasuk kejadian 18 November 2013 lalu. Erupsi freatik di Gunung Merapi sesungguhnya telah berkali-kali terjadi selama ini, namun yang menonjol baru tiga: erupsi freatik 23 Juni 2013, 22 Juli 2013 dan 18 November 2013. Di antara ketiganya, erupsi freatik 18 November 2013 merupakan yang terbesar hingga sejauh ini, menumbangkan rekor yang semula dipegang kejadian 22 Juli 2013. Dalam catatan Martono Arbi Wibisono, ketiga erupsi freatik itu selalu didului hujan deras yang mengguyur gunung dalam sehari dua hari sebelumnya. Hujan pada 11 November 2013 bahkan tergolong deras dengan intensitas hingga 47 mm/jam dan berlangsung selama 125 menit. Hujan deras ini mungkin salah satu faktor yang membuat erupsi freatik 18 November 2013 lebih besar ketimbang kejadian 22 Juli 2013 maupun 23 Juni 2013 mengingat air yang tergenang di dasar kawah dan lalu memasuki interior kubah lava jauh lebih besar. Konsekuensinya, uap air yang terbentuk pun jauh lebih banyak sehingga tekanan uapnya jauh lebih besar. Sebagai muaranya semburan uap air dalam erupsi freatik 18 November 2013 menjadi lebih tinggi (yakni 2.000 meter) dibanding kejadian 22 Juli 2013 (yang ‘hanya’ 1.000 meter). Uap air bertekanan tinggi itu pun kemungkinan menyembur tidak hanya melewati satu titik saja. Sehingga kubah lava 2010 pun menjadi terlemahkan khususnya di sektor-sektor tertentu. Survei BPPTKG menunjukkan telah terbentuk retakan pasca erupsi pada kubah lava 2010, yakni sepanjang 230 meter dengan lebar 50 meter, yang mungkin adalah indikasi dari pelemahan tersebut.

Gempa

BPPTKG mencatat erupsi freatik pada Senin pagi 18 November 2013 itu terjadi pada pukul 04:58 WIB dengan durasi 10 menit. Selain kesan visual dalam bentuk semburan kolom debu ke langit, erupsi pun terekam pada seismometer-seismometer pemantau Gunung Merapi sebagai getaran keras, dengan amplitudo maksimum hingga 120 mm. Erupsi freatik didului dengan gempa tektonik lokal, yang disusul oleh gempa tektonik jauh pada pukul 04:41 WIB. Rilis BMKG menunjukkan gempa tektonik jauh itu adalah gempa Ciamis dengan magnitudo 4,7 skala Richter dan episentrum terletak pada koordinat 8,33 LS 109,00 BT pada kedalaman 23 km. Episentrum gempa terletak di sebelah selatan kota Cilacap (Jawa Tengah) sejauh 66 km. dari Gunung Merapi, episentrum gempa tektonik jauh ini berjarak 165 km.

Gambar 6. Perkiraan intensitas getaran yang dihasilkan Gempa Ciamis 18 November 2013 terhadap kerakbumi disekelilingnya. Lingkaran menunjukkan radius maksimal getaran berintensitas tertentu, dimana “4″ adalah 4 MMI (Modified Mercalli Intensity) dan seterusnya. Sumber: Sudibyo, 2013.

Dua gempa tektonik beruntun ini dianggap sebagai pemicu erupsi freatik lalu. Meski demikian peranan gempa tektonik jauh (yakni gempa Ciamis) masih mengundang tanya. Dengan kota Cilacap sebagai kawasan terdekat terhadap episentrum, seharusnya kota ini dan kawasan sekitarnya yang paling merasakan getaran gempa Ciamis. Namun dalam kenyataannya tidak demikian, sejauh ini tidak ada laporan penduduk setempat yang merasakan getaran gempa ini. Pada umumnya manusia baru merasakan adanya gempa saat mengalami getaran berintensitas minimal 3 MMI (Modified Mercalli Intensity). Jika dianggap Cilacap mengalami getaran berintensitas 3 MMI maka Gunung Merapi, yang berjarak 165 km dari episentrum, hanya akan mengalami getaran berintensitas 1 MMI atau getaran terlemah. Rasanya sulit getaran selemah itu sanggup membuat bagian kubah lava 2010 retak-retak yang memungkinkan air masuk ke dasar/interior kubah, meskipun di titik terlemahnya sekalipun. Pengaruh gempa terhadap dinamika dapur magma dan kantung magma pun diragukan. Manga & Brodsky (2006) telah mengembangkan rumus empirik yang sejatinya berlaku dalam kasus gempa dan gunung lumpur (mud volcano) dalam bentuk M = 2,26 log R – 5 (R= jarak ke episentrum dalam meter, M = magnitudo gempa minimum untuk bisa memicu letusan). Dengan menganggap rumus empirik ini juga bisa diterapkan dalam kasus letusan gunung berapi yang dipicu gempa tektonik, maka agar bisa mengganggu stabilitas dapur magma dan kantung magma Merapi, gempa Ciamis harus memiliki magnitudo minimum 6,8 skala Richter.

Terlepas dari bagaimana hubungan gempa Ciamis dengan erupsi freatik 18 November 2013, dalam sejarahnya aktivitas Gunung Merapi kadangkala (tidak selalu) berhubungan dengan gempa tektonik yang episentrumnya berdekatan dengannya. Misalnya pada 2001 saat daratan Yogya diguncang gempa tektonik pada 25 Mei 2001 (magnitudo Mw 6,3) dengan episentrum 50 km sebelah barat daya Gunung Merapi, atau tepatnya di bawah kota Wates (Kabupaten Kulon Progo) dengan kedalaman 130 km. Saat gempa ini terjadi, Gunung Merapi sedang dalam tahap letusan. Dan gempa mempengaruhi dapur/kantung magma, yang ditandai dengan peningkatan suhu titik solfatara Woro hingga 30 derajat Celcius dari nilai semula yang sebesar 435 derajat Celcius. Pun demikian pada 2006, juga pada saat Gunung Merapi berada dalam tahap letusan. Gempa tektonik 27 Mei 2006 (magnitudo Mw 6,4) mengguncang dengan episentrum berjarak 50 km sebelah selatan Gunung Merapi, atau tepatnya di perbatasan kabupaten Gunungkidul dan bantul, pada kedalaman 10 km. Gempa yang menelan ribuan korban jiwa ini pun mempengaruhi Gunung Merapi sehingga volume magma yang dimuntahkannya meningkat. Jika sebelum gempa Gunung Merapi hanya memuntahkan ~50.000 meter kubik magma/hari, maka pasca gempa muntahan magma melonjak hebat menjadi ~150.000 meter kubik/hari. Jumlah awan panas rata-rata yang dihasilkannya dalam periode 16 hari pun melesat dari semula 34 kejadian awan panas/hari sebelum gempa menjadi 95 kejadian awan panas/hari pascagempa.

Pelajaran Ke Depan

Gambar 7. Bagaimana erupsi demi erupsi freatik mengubah wajah kubah lava 2010 di dasar kawah Gunung Merapi. A = kubah lava pada Juni 2013, nampak ceruk pusat (P) dan titik sinter (S) di sisi barat daya dimana magma masih membara. B = kubah lava pasca erupsi freatik 22 Juli 2013, ceruk pusat (P) masih terlihat dengan area sekitar diselimuti lapisan debu vulkanik produk erupsi, sementara titik sinter telah lenyap berubah menjadi ceruk panjang dan lebih dalam. C = kubah lava pasca erupsi 18 November 2013, ceruk pusat telah lenyap digantikan retakan sepanjang 230 m dengan lebar 50 m. Sumber: Iskandar Wibisono, 2013; BPPTKG, 2013.

Jelas bahwa pada 18 November 2013 lalu Gunung Merapi tidak berada dalam tahap letusan, seperti tecermin dari data kegempaan serta hasil pengukuran kemiringan lereng dan EDM. Apa yang terjadi pada Senin pagi itu merupakan erupsi freatik yang singkat karena hanya ditenagai uap air dalam jumlah terbatas, sebagai konsekuensi dari terbatasnya air yang berada di dasar kawah. Dengan erupsi berlangsung singkat, terminologi populer yang lebih cocok untuk mendeskripsikannya mungkin adalah Gunung Merapi sedang ‘batuk’, bukan meletus.

Erupsi freatik dikontrol oleh keberadaan air dalam kawah, yang berasal dari air hujan. Dalam tiga kejadian erupsi freatik Gunung Merapi yang signifikan, semuanya didahului dengan hujan deras dalam sehari atau dua hari sebelumnya. Dengan Indonesia telah memasuki musim hujan dan bakal mencapai puncaknya pada Januari-Februari 2014 mendatang, potensi Gunung Merapi bakal ‘terbatuk’ lagi masih besar. Terlebih jika perubahan-perubahan di dasar kawah pasca tiga erupsi freatik signifikan tadi diperhitungkan, yang menghasilkan beragam ceruk dan retakan di kubah lava 2010. Sehingga air hujan berpotensi menggenang lebih banyak lagi. Jika titik-titik terlemah di dasar kawah mendadak retak, oleh beragam sebab, dan air yang menggenang lantas membanjir terserap ke interior/dasar kubah lava, maka Gunung Merapi pun bakal ‘terbatuk’ lagi. Jadi ancaman air hujan pada Gunung Merapi kini tak lagi hanya bisa menghasilkan lahar dingin/lahar hujan, namun juga mampu menyebabkan Gunung Merapi ‘terbatuk.’

Situasi inilah yang harus menjadi perhatian bersama. Mengingat meski erupsi freatik Gunung Merapi sejauh ini memiliki intensitas lemah, namun ia tetap menghamburkan debu vulkanik yang bisa menurunkan kualitas kehidupan manusia. Maka kesiapsiagaan tetap perlu dijaga. Di sisi lain, semakin mendekat ke puncak maka kepekatan debu vulkanik pada saat erupsi freatik terjadi bakal kian besar. Maka sebaiknya akses ke puncak Gunung Merapi dibatasi. Jika perlu akses ditutup selama waktu tertentu (misalnya seminggu) kala hujan deras mendera Gunung Merapi.

Semoga bermanfaat

Referensi :

Manga & Brodsky, 2006, Seismic Triggering of Eruptions in the Far Field: Volcanoes and Geysers, Annu.Rev.EarthPlanet Sci 2006, 34, 263-291.

Walter dkk, 2007, Volcanic Activity Induced by Tectonic Earthquakes: Static and Dynamic Stress Triggering at Mt. Merapi, GRL 2007, 34, 1-5.

Hidayati dkk, 2008, Focal Mechanism of Volcano-tectonic Earthquakes at Merapi Volcano, Indonesia, IJP 2008, vol. 19 no. 3, 75-82.






Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara: ETNOLOGI, GEOLOGI, BIOLOGI


Pulau Manado Tua bersama Pulau Bunaken, Siladen, Mantehage, dan Nani merupakan gugusan pulau yang membentuk Taman Nasional Bunaken-Manado. Taman nasional sekira 89.065 hektar ini terletak tidak jauh dari Kota Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Pulau Manado Tua adalah sebuah gunungapi yang seolah terapung di atas laut yang mengelilinginya, membentuk pulau gunungapi atau pulau volkanik, yang dinamakan Pulau Manado Tua atau Gunung Manado Tua. Di sebelah timurnya ada pulau volkanik lain yang lebih terkenal tetapi tak membentuk morfologi gunung: Pulau Bunaken. Laut di antara Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken itulah Taman Laut Bunaken yang sangat terkenal itu.

ETNOLOGI

Konon Pulau/Gunung Manado Tua adalah tempat pertama yang sesungguhnya bernama Manado. Pulau ini pertama kali dihuni oleh sekelompok orang yang berasal dari Mindanao, Filipina yang melarikan diri dari sebuah peperangan. Karena perahu mereka dilanda badai, maka mereka terdampar di pulau ini. Pulau ini kemudian dinamai “Man narou” atau “Mana’undou” yang bisa berarti “masih haus” atau “di jauh” dalam bahasa mereka. Kemudian namanya menjadi “Manadu/Manado” dalam literatur-literatur Belanda, misalnya dalam “Beschrijving der Moluccas” (Valentijin, 1724).


Maka disebutlah pulau gunungapi ini Manado. Menurut penelitian-penelitian yang dilakukan para ahli kebudayaan lokal (misalnya oleh Geraldine Manoppo-Watupongoh, Soleman Montori, Tutty Kahimpong), pulau ini pertama kali dihuni tahun 1339 M. Tahun 1523 para penduduknya berpindah ke Wenang (Manado sekarang). Lalu tahun 1682 nama Wenang berubah menjadi Manado dan nama pulau volkanik Manado itu sendiri menjadi Manado Tua (maksudnya Manado lama).

Begitulah cerita etnologi Manado Tua. Kini Manado Tua termasuk wilayah kecamatan Bunaken Kepulauan; terdiri atas dua kelurahan, yaitu kelurahan Manado Tua Satu dan Manado Tua Dua.

GEOLOGI

Pulau Manado Tua adalah sebuah gunungapi nonaktif, entah tidur panjang sekali atau sudah mati tidak diketahui. Tinggi gunung ini sekitar 750 meter di atas muka laut. Seperti Pulau Bunaken, pulau Manado Tua dominan disusun tuf atau abu volkanik yang membatu. Tidak ditemukan lubang kepundan atau kawah di puncaknya. Yang ada di puncaknya justru adalah sebuah lubang galian sedalam sekitar 20 meter, bekas orang menggali konon untuk mencari harta yang menurut isu disembunyikan Belanda di puncak gunung ini.

Tak banyak publikasi detail soal geologi dan vulkanologi Manado Tua, memang ini gunungapi nonaktif. Apakah ia pernah aktif dengan lubang kawah ke dapur magmanya, atau gunung ini sekedar gumuk/bukit piroklastika tidak diketahui dengan pasti. Manado Tua dan Bunaken bisa saja dulu merupakan satu gunungapi yang telah meletus, Bunaken adalah sisa dataran kawahnya, sementara Manado Tua bagian tubuh gunungapi besar yang tersisa. Spekulasi ini akan mengharuskan bahwa bekas kawah utamanya akan berada di antara Manado Tua dan Bunaken, atau di area Taman Laut Bunaken sekarang.

Tumbuhnya kompleks terumbu karang yang menjadi andalan Taman Laut Bunaken menunjukkan bahwa paling tidak sejak sepuluh ribu tahun yang lalu area ini bukan area aktif volkanik sehingga hewan-hewan karang (scleractinian corals) bisa tumbuh subur di sini. Pada Plistosen, 1 juta- 10.000 tahun yang lalu, mungkin saja Manado Tua merupakan gunungapi aktif.

Gunung-gunungapi aktif sekarang di Sulawesi Utara bergeser ke sisi selatan dan timur, misalnya Mahawu, Lokon, Soputan; juga banyak gejala-gejala volkanisme tidur namun masih aktif yang ditunjukkan di ujung Lengan Sulawesi Utara ini yang memberika gejala-gejala panasbumi (geotermal) misalnya di area Tomohon, danau Linau, Bukit Kasih, yang sebagian dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga panasbumi Lahendong. Gunung-gunungapi aktif Sulawesi Utara sekarang membentuk busur kepulauan, yang dibentuk oleh menunjamnya segmen lempeng samudera Halmahera ke sebelah barat ke bawah segmen lempeng Sangihe.

BIOLOGI

Pulau Manado Tua, khususnya perairan di sekitarnya pernah menghentak dunia ilmu pengetahuan ketika pada tahun 1998 seekor ikan yang digolongkan purba ditemukan di sini. Ikan ini dari ordo ikan terkenal “Coelacanths” yang diduga telah punah sejak 65 juta tahun yang lalu, pada ujung zaman Kapur ketika para dinosaurus lenyap dari Bumi. Sebenarnya hentakan pertama terjadi 60 tahun sebelumnya ketika pada tahun 1938 untuk pertama kalinya di dunia ditemukan Coelacanth hidup di perairan sebelah timur Afrika di sekitar Madagaskar. Ikan “purba” ini dari genus Latimeria, dengan nama spesies Latimeria chalumnae.

Lalu pada tahun1998 ditemukan spesies lain Coelacanths yaitu di perairan Manado Tua yang dinamai Latimeria menadoensis (artinya: Latimeria asal Manado). Tidak seperti ikan pada umumnya, Coelacanths bernafas dengan susunan seperti paru-paru juga dengan sirip-sirip seperti empat kaki (tetrapoda), sehingga Coelacanths lebih mirip reptilia atau mamalia laut, daripada ikan pada umumnya.


Di seluruh dunia, hanya dua spesies Coelacanths hidup itulah yang ada atau telah ditemukan sampai saat ini. Satu di perairan Samudera Hindia Barat yaitu di perairan sekitar Madagskar, Afrika; dan satu lagi di perairan Samudera Hindia Timur yaitu di perairan Manado Tua, Indonesia.

Semoga bermanfaat...


sumber