Rabu, 25 Juni 2014

Idealis atau Realistis

Kujatuhkan pandangan kulihat jurang dalam
Penuh dengan onak duri yang amat mengerikan

Ku dongakan kepala kulihat langit tinggi
Terbentang luas tiada bertepi

(Hijjaz – Damai Nan Indah)


Perumpamaan lirik lagu diatas memang tidak jauh berbeda, idealism itu seperti menatap langit, sementara realistis itu menatap bumi. Manusia dengan segala dinamika nya pun tidak bisa total memilih satu bagian, meski dominan realistis atau idealis selalu ada bagian dirinya yang memiliki sifat berlawanan.

Mungkin tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa ini termasuk kedalam fitrah pasangan, seperti siang-malam, gelap-terang, baik-buruk, maka idealis-realistis adalah sebuah keniscayaan akan kesempurnaan. Jika ini adalah, katakanlah, fitrah yang ada di setiap individu, persoalannya lebih baik mana yang harus didominankan..??

Erat kaitannya kecerdasan emosional, pengendalian diri termasuk waktu yang tepat saat kita berfikir idealis dan realistis menjadi penting untuk dikuasai. Namun, karakter setiap individu pun turut serta berpengaruh dalam menentukan hal ini. Contoh, sifat obsesif, agresif, dan yang lain sebagainya.

Kembali ke ilustrasi di atas, contoh penggunaan idealis-realistis. Saat kamu mendaki gunung, okelah jika kita senang melihat puncak, sesekali sebagai pemicu semangat ditengah gempuran lelah, sah-sah saja sebagai bentuk idealis kita meraih puncak, tapi jangan lupa, lihat pula jalur pendakian, tebing dan jurang yang menghadang, saat mendaki mendongak memang asyik, tapi menunduk saya kira lebih penting.

Persoalannya selanjutnya adalah dimana seharusnya idealis-realistis adalah pasangan sejati, ini malah menjadi pasangan yang saling membantai. Kembali ke ilustrasi pendakian tadi, idealnya adalah sampai puncak, tapi bagaimana saat jurang menghadang..??? pulang, loncati, atau cari jalan baru..??

Idealnya saat kita punya visi, cita-cita, dan sebuah keinginan, adalah mewujudkannya, tapi terkadang kita lupa realistis, kita lupa antisipasi akan kenyataan yang akan kita hadapi. Ingat..!! realistis bukan pesimis, justru ia adalah sebuah dorongan untuk mencari alternative lain untuk mewujudkan idealism nya. Idealism tanpa realistis sama saja bunuh diri, ia akan meloncati jurang yang ada demi sampai puncak. Realistis tanpa idealis sama riskan, susah rasanya mencapai puncak, yang ada pulang saja. Pasangan idealis-realistis, ia akan mencari jalan baru untuk menggapai puncak.

Semoga bermanfaat

Kenyamanan Revolusi

Jelas aku membutuhkanmu. Dan aku rasa, kamu tertekan karenanya. Aku juga berusaha sebisaku agar kamu tak tertekan. Sebab, aku membutuhkanmu.

Andai kamu tak nyaman dengan semua ini, tentu saja aku harus lebih dari mengerti. Berarti, ikhtiarku untuk membuatmu nyaman hanyalah kenyamanan bagiku.

Kegelisahanku bukan alasan kenyamananmu. Ia alasan kerakusanku. Anganku bukan alasan senyummu. Ia alasan kebodohanku menerka kenyamanan yang kamu maksud.

Kalau pun tak sampai membuatmu nyaman, terkadang aku bergumam andai semua tetap seperti ini. Ya, agar aku tak sakit jiwa.

Tapi menurutku, tak baik mendamba kenyamanan dengan menjarah. Tak bijak mengharap ridha dengan simulasi khayalan atau keajaiban. Sebab, pada akhirnya nyaman itu memang hanya milikmu.

Andai kelak kamu membutuhkanku, aku akan bahagia dengan hiasan senyum konyolku. Karena sejauh khayalku, kamu tak akan pernah tergila-gila padaku. Andai kelak kamu dianugerahi kenyamanan itu, aku akan sedikit menahan kalimat-kalimat garingku. Dan andai kelak kamu punya alasan untuk nyaman bersamaku, aku akan tersungging pada Tan Malaka. Ya, ternyata revolusi tak harus kehilangan kenyamanan pengusungnya.

Jelas aku akan selalu merindukan semuanya. Dan aku sok tahu, hidupmu akan selalu indah.

Semoga bermanfaat

Jumat, 13 Juni 2014

Nyaris Tercekik Gunung Semeru (True Story 1969)

KISAH TRI PURWANTO (PUNG) MENCARI BANTUAN

Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, benar2 menjadi kenang2an yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Harjo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan kami sendirian turun ke pedalaman minta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian sendiri sebagai berikut :

Oleh : Tri Purwanto (Pung)


Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.

Pagi-pagi, kira-kira pk. 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Perjalanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan untuk makan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat. Lebih kurang pk. 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga sama sekali. Saya berteriak-teriak memanggil Hatjo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Harjo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. PPPK seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Harjo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-barang perlengkapan dan lain-lain. Harjo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi. Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.

Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan. Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Harjo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera datang. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.


Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.

Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haro. Perlengkapan kami hanya yang perlu-perlu saja. Peta dan kompas tidak lupa. Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Harjo. Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.

Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.

Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai. Ayunan langkah pertama benar-benar berat sekali. Baru saja berjalan 5 menit sudah harus turun jurang air terjun.

Sampai pukul 16.00 hari itu, saya berhasil turun air terjun sebanyak 4 buah. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin. Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa. Malam itu saya tidur didekat air sungai. Terasa seperti anak yang hilang saja.

Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar hanya pikiran saya yang masih kacau.


Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.

Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.

Tambahan lagi ngeri. Tetap kupaksa kucoba…… Naik…. Naik……..Terkurung.

Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.

Hari itu saya hanya berhasil menuruni jurang air terjun 3 buah saja. Saya sudah lelah benar. Medan setempat masih sama. Seperti kemarin-kemarin masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-tebing labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya. Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan-gangguan binatang buas.


Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.

Lebih kurang pk. 03.00 saya mulai bergerak lagi.

Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan, Terus maju, pantang mundur. Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya. Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja. Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti. Saya tidur di sela-sela batu besar di dekat air.


Sabtu, 9-8-1969. Makan batang nipah & umbi gatal.

Sudah beberapa hari tidak makan.

Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang. Sambil jalan kumakan jenis daun-daunan yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.

Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah). Kemudian saya tebang dan kami makan batangnya. Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu. Makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosenya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi. Jalan lagi. Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan. Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi. Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun. Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Pikiran, pasti enak dimakan. Kumakan baru dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main. Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak. Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan menyusur.

Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.


Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.

Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.

Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung ‘. Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya. Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas. Air habis. Selalu haus rasanya. Kini jauh dengan sungai. Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya pula, walaupun hanya tetes-tetesan air saja. Jalan tengok kekanan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan. Tidak padat penduduknya rupanya. Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.

Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan sesuai dengan peta adalah desa Jajang. Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan. Saya ditolong orang kampung. Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang. Saya menceritakan keadaan kami. Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Harjo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua. Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.


Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.

Paginya saya diantar ke Bapak Martini ( Kamitua desa Jajang ). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua. Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Harjo berada. Perjalanan kami lancar sekali.

Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan. Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan. Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang. Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan. Sayang tidak ada. Semua diam sejenak.

Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung. Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Harjo ketemu. Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Kami sangat berterima kasih kepada mereka.

Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Harjo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.

Malam itu saya tidur di Jajang.


Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki. Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.

Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang dahulu. Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemudian dengan sebuah taxi saya menuju ke Pangkalan.

Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto ( beserta staf ).

Saat itu pukul 12.30.

Laporan saya mendapat perhatian besar sekali. Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT ke Poncokusumo dan terus ke Magersari.

Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.

Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di-Pangkalan. Kami tidur di Mess AURI.

Malam itu saya tidak dapat tidur.

Pikiran masih terkenang kepada Harjo saja.


Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.

Pukul 08.00 saya ke kantor Pangkalan untuk di interview.

Hampir semua orang di Pangkalan mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini.

Mereka sangat prihatin juga tampaknya.

Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Harjo berada.

Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang. Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.

Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.


Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.

Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi. Saya dikirim kesana bersama bahan-bahan makanan.

Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.

Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo.

Kami terus diantar ( jalan kaki ) ke desa Pandansari.

Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah. Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 ( pukul 10 malam ).

Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.

Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Harjo berada.

Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.


Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.

Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT ( Bp. Kamarudin ) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.

Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.

Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.

Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu maju terus pantang mundur.

Akhirnya kami sampai ke tempat Harjo berada.

Saat itu lebih kurang pukul 18.00 Harjo masih dapat bertahan.

Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali. Kami gembira sekali. Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.

Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.


Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.

Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar pengangkut Harjo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-ain. Pukul 03.30 kami siap berangkat.

Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui. Sore lebih kurang pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.

Malam itu sangat dingin.

Sampai malam belum juga ada bantuan datang.


Minggu, 17-8-1969.

Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Harjo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.

Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.

Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.

Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu. Saat itu pk. 18.00.

Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.

Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak orang akan melihat kami. Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.

Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso ( ayah Harjo ) yang memang menjemput kami.

Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 ( malam hari ).

Rontgen Harjo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.

Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.

Selanjutnya Harjo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.

Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.

Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Harjo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.

Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.

Mermounc = Merbabu Mountaineer Club
Sebuah Club Mendaki Gunung yang bermarkas di Jogjakarta
TAN LALANA = Pantang putus asa.
Semboyan Club Mendaki Gunung Mermounc


Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.87 Oktober 1970

Saya Jatuh Di Lereng Gunung Semeru (True Story 1969)

Kisah Pengalaman Perjalanan Saudara Alm. Hario Suseno di Gunung Semeru Tahun 1969.

Bulan Agustus tahun yang lalu beberapa minggu sebelum berita tentang meninggalnya Soe Hok Gie anda mungkin membaca tentang jatuhnya seorang pendaki lain di Gunung Semeru, saudara Hario Suseno. Dibawah ini ia akan menceritakan pengalamannya waktu itu. 

Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah un­tuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tinda­kan dan mengambil konsekwensi serta tanggung jawab dalam se­buah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau lain-lain dimana biasanya sebuah team kemudian tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.

Saya berangkat dari Jogya tanggal 25/7-69 bersama seorang ka­wan: Pung.Sebagaimana dengan pendaki­an-pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan PPPK dan perlengkapan mountaineering se­adanya. Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai yang sesungguhnya jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepatu dengan sol karet beralur yang seharusnya hanya me­rupakan sepatu kerja pada lan­tai kasar atau tanah biasa.

Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:

Tanggal 25/7-’69, Jum'at Rencana pokok pendakian, peralatan. Jam 23.00 sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogya. De­ngan taksi kita tiba di Malang jam 01.00.

Tanggal 26/7-‘69, Sabtu Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan-jalan ke Semeru menurut pengetahuan me­reka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan be­berapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Kami te­tapkan akan melalui daerah Selatan: Turen. Ternyata keadaan sangat me­rugikan perjalanan kami kalau melintas dari Turen ke Semeru. Kami menggeser ke-Timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi Kalibening. Kami melapor ke­ kecamatan dan Koramil. Men­dapat penjelasan, lava mengarah ke Selatan ini juga, sedangkan kami tepat di Selatan dari puncak Semeru. Waktu ini hari Sabtu jam 07.30 pagi.

Malam ini menginap di desa Rawabawang yang terletak di Utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulan: lava turun mengarah Barat Daya sampai ke Se­latan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan la­va turun sangat mengagumkan.

Tanggal 27/7-’69, Minggu Saya Sempat ke gereja di Kali­bening, sebagian penduduk ber­agama Kristen. Dari percakapan-percakapan dengan orang-orang kami mendapat keterangan yang cukup tentang route yang akan kami tempuh.

Keputusan: menggeser sampai ke Tenggara baru akan mendaki. Siang mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Se­meru. Beban pertama dengan ba­han makanan untuk 10 hari, Se­berat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.

Tanggal 28/7-’69, Senin Mengisi air masing-masing 7 liter, mulai mendaki. Jam 11.00 sampai pada batas perkebunan-hutan, memasak nasi pada sebuah keluarga kecil, dengan hanya dua buah pondok kecil di tepi hutan itu. Sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana hubungan masyarakat kecil ini dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang sa­ja.

Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon2 setinggi 10-12 meter. Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb., istirahat.

Tanggal 29/7-’69, Selasa Pukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin melebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas. Cahaya matahari sangat sedikit, semak melebat. Berjalan sampai pukul 16.00 sore, mendirikan tenda. Udara sangat lembab.

Tanggal 30/7-’69, Rabu Pukul 08.00 mulai lagi. Keada­an yang sama, menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair. Mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu ke­ring. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.

Tanggal 31/7-’69, Kamis Berangkat seperti biasa. Semak semakin lebat. Kami terus me­ngarah ke sisi lereng Timur un­tuk menemukan lintasan pasir da­ri puncak. Kali ini sangat payah. Satu jam hanya kira-kira 30/50 meter saja. Benar-benar merintis jalan de­ngan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.

Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00 me­nemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas de­ngan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 mencapai batas hutan dan pasir. Istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian dingin. Sekitar pukul 20.00 malam bulan muncul. Medan pasir jelas terlihat, kemiringan antara 30 s/d 40 dera­jat. Mencapai lereng dengan bongkah besar, bermalam tanpa tenda. (melihat ke Utara, menyeberang lereng kira-kira 200 meter) buka.

Tanggal 1/8-’69, Jum’at Menyeberang lintasan pasir dan hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (batu-batu lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat payah. Istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, empat derajat C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang ka­mi temukan. Tidak bisa mendiri­kan tenda. Ketinggian sekitar 3000 meter.

Tanggal 2/8-69, Sabtu Mencapai puncak.Kita mencapai puncak (+ 3676 m) Pukul 12.00 siang. Pukul 14.00 siang mulai turun ke Utara. Tidur di hutan. Rumput2 tinggi, pohon-pohon pinus mercusy rendah dan jarang, air habis. Tanggal 3/8-’69. Minggu.Meneruskan menembus hutan belukar kebawah (Utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan kering sekali. Pu­kul 15.00 menyusur pangkal su­ngai Aran-aran, kami langsung membelok ke Barat (270 meter), menyusur lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian sekitar +2350 M. Pukul 16.00 menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang poreus, kami dapat menapis air disini. Malam berjalan terus selama jalan dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di­ tepi sungai.

Tanggal 4/8-’69, Senin Melewati beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 5 s/d 15 m. Kami gunakan tali-tali dimana perlu. Tidur malam nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.

Tanggal 5/8-’69, Selasa Hari jatuh. Sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan dibawah tegak lurus.Tali kami yang 26 meter panjangnya tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding curam tersebut, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya didepan. Pada saat merambat terpeleset ada longsoran kecil dan lepas kebawah, setelah melewati ba­tas miring lalu jatuh bebas, ki­ra-kira 15 meter, dan pingsan. Pung un­tunglah selamat, memberikan pertolongan seperlunya. Tulang paha kanan patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.

Tanggal 6/8-’69, Rabu Pung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan pusing sekali, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pa­da paha kanan terkena batang cemara tumbang sewaktu jatuh. Bahan makanan tinggal untuk satu hari ditinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (di­perpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, tali-tali. Saya sendiri te­rus tidur nyenyak sampai pagi.

Tanggal 7/8-’69, Kamis Bangun, melihat serba dua, pusing, tidur lagi.

Tanggal 8/8-’69, Jum’at Makan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.

Tanggal 9/8-’69, Sabtu Makan kedua, lagi minum air sungai sekenyangnya.

Tanggal l0/8-’69, Minggu Makan sisa makanan, mata su­dah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.

Tanggal 11/8-’69, Senin Merebus daun-daun  yang bisa di­makan yang dapat dicapai de­ngan tangan dan tongkat.

Tanggal l2/8-’69, Selasa Hanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.

Tanggal 13/8-’69, Rabu Masak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, berpikir normal. 

Tanggal 14/8-’69, Kamis Sudah lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Menghemat daun-daunnan lagi. Mulai ragu-ragu apa­kah Pung berhasil atau dia sen­diri mengalami kecelakaan.

Tanggal 15/8-’69, Jum’at : Diketemukan kembali, Merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun tsb. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di­ tenda.

Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana pe­rasaan saya sehabis sembilan hari ke­laparan dan sendirian.

Tanggal 16/8-69, Sabtu Bergerak pulang, kaki yang patah dijepit de­ngan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan kare­na beratnya medan. Besok direncanakan menyelesaikan seluruhnya. Saya dan Pung dan enam orang menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan te­bing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita yang tertinggal menunggu di desa Magersari.

Tanggal 17/8-’69, Minggu Kembali keperadaban Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang dari kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim kelihatan. Mencapai Magersari sore, diteruskan ke Pandansari. Ditempat yang mungkin untuk kendaraan, dijemput sebuah ambulans dan terus ke rumah sakit (masuk Malang jam 11.30 malam).

Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perja­lanan hanya memakan tujuh hari, ter­nyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7-’69 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.


Peta perjalanan sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno


Peta lokasi jatuh sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.83 Juni 1970