Jumat, 13 Juni 2014

Saya Jatuh Di Lereng Gunung Semeru (True Story 1969)

Kisah Pengalaman Perjalanan Saudara Alm. Hario Suseno di Gunung Semeru Tahun 1969.

Bulan Agustus tahun yang lalu beberapa minggu sebelum berita tentang meninggalnya Soe Hok Gie anda mungkin membaca tentang jatuhnya seorang pendaki lain di Gunung Semeru, saudara Hario Suseno. Dibawah ini ia akan menceritakan pengalamannya waktu itu. 

Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah un­tuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tinda­kan dan mengambil konsekwensi serta tanggung jawab dalam se­buah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau lain-lain dimana biasanya sebuah team kemudian tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.

Saya berangkat dari Jogya tanggal 25/7-69 bersama seorang ka­wan: Pung.Sebagaimana dengan pendaki­an-pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan PPPK dan perlengkapan mountaineering se­adanya. Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai yang sesungguhnya jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepatu dengan sol karet beralur yang seharusnya hanya me­rupakan sepatu kerja pada lan­tai kasar atau tanah biasa.

Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:

Tanggal 25/7-’69, Jum'at Rencana pokok pendakian, peralatan. Jam 23.00 sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogya. De­ngan taksi kita tiba di Malang jam 01.00.

Tanggal 26/7-‘69, Sabtu Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan-jalan ke Semeru menurut pengetahuan me­reka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan be­berapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Kami te­tapkan akan melalui daerah Selatan: Turen. Ternyata keadaan sangat me­rugikan perjalanan kami kalau melintas dari Turen ke Semeru. Kami menggeser ke-Timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi Kalibening. Kami melapor ke­ kecamatan dan Koramil. Men­dapat penjelasan, lava mengarah ke Selatan ini juga, sedangkan kami tepat di Selatan dari puncak Semeru. Waktu ini hari Sabtu jam 07.30 pagi.

Malam ini menginap di desa Rawabawang yang terletak di Utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulan: lava turun mengarah Barat Daya sampai ke Se­latan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan la­va turun sangat mengagumkan.

Tanggal 27/7-’69, Minggu Saya Sempat ke gereja di Kali­bening, sebagian penduduk ber­agama Kristen. Dari percakapan-percakapan dengan orang-orang kami mendapat keterangan yang cukup tentang route yang akan kami tempuh.

Keputusan: menggeser sampai ke Tenggara baru akan mendaki. Siang mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Se­meru. Beban pertama dengan ba­han makanan untuk 10 hari, Se­berat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.

Tanggal 28/7-’69, Senin Mengisi air masing-masing 7 liter, mulai mendaki. Jam 11.00 sampai pada batas perkebunan-hutan, memasak nasi pada sebuah keluarga kecil, dengan hanya dua buah pondok kecil di tepi hutan itu. Sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana hubungan masyarakat kecil ini dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang sa­ja.

Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon2 setinggi 10-12 meter. Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb., istirahat.

Tanggal 29/7-’69, Selasa Pukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin melebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas. Cahaya matahari sangat sedikit, semak melebat. Berjalan sampai pukul 16.00 sore, mendirikan tenda. Udara sangat lembab.

Tanggal 30/7-’69, Rabu Pukul 08.00 mulai lagi. Keada­an yang sama, menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair. Mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu ke­ring. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.

Tanggal 31/7-’69, Kamis Berangkat seperti biasa. Semak semakin lebat. Kami terus me­ngarah ke sisi lereng Timur un­tuk menemukan lintasan pasir da­ri puncak. Kali ini sangat payah. Satu jam hanya kira-kira 30/50 meter saja. Benar-benar merintis jalan de­ngan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.

Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00 me­nemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas de­ngan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 mencapai batas hutan dan pasir. Istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian dingin. Sekitar pukul 20.00 malam bulan muncul. Medan pasir jelas terlihat, kemiringan antara 30 s/d 40 dera­jat. Mencapai lereng dengan bongkah besar, bermalam tanpa tenda. (melihat ke Utara, menyeberang lereng kira-kira 200 meter) buka.

Tanggal 1/8-’69, Jum’at Menyeberang lintasan pasir dan hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (batu-batu lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat payah. Istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, empat derajat C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang ka­mi temukan. Tidak bisa mendiri­kan tenda. Ketinggian sekitar 3000 meter.

Tanggal 2/8-69, Sabtu Mencapai puncak.Kita mencapai puncak (+ 3676 m) Pukul 12.00 siang. Pukul 14.00 siang mulai turun ke Utara. Tidur di hutan. Rumput2 tinggi, pohon-pohon pinus mercusy rendah dan jarang, air habis. Tanggal 3/8-’69. Minggu.Meneruskan menembus hutan belukar kebawah (Utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan kering sekali. Pu­kul 15.00 menyusur pangkal su­ngai Aran-aran, kami langsung membelok ke Barat (270 meter), menyusur lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian sekitar +2350 M. Pukul 16.00 menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang poreus, kami dapat menapis air disini. Malam berjalan terus selama jalan dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di­ tepi sungai.

Tanggal 4/8-’69, Senin Melewati beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 5 s/d 15 m. Kami gunakan tali-tali dimana perlu. Tidur malam nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.

Tanggal 5/8-’69, Selasa Hari jatuh. Sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan dibawah tegak lurus.Tali kami yang 26 meter panjangnya tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding curam tersebut, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya didepan. Pada saat merambat terpeleset ada longsoran kecil dan lepas kebawah, setelah melewati ba­tas miring lalu jatuh bebas, ki­ra-kira 15 meter, dan pingsan. Pung un­tunglah selamat, memberikan pertolongan seperlunya. Tulang paha kanan patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.

Tanggal 6/8-’69, Rabu Pung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan pusing sekali, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pa­da paha kanan terkena batang cemara tumbang sewaktu jatuh. Bahan makanan tinggal untuk satu hari ditinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (di­perpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, tali-tali. Saya sendiri te­rus tidur nyenyak sampai pagi.

Tanggal 7/8-’69, Kamis Bangun, melihat serba dua, pusing, tidur lagi.

Tanggal 8/8-’69, Jum’at Makan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.

Tanggal 9/8-’69, Sabtu Makan kedua, lagi minum air sungai sekenyangnya.

Tanggal l0/8-’69, Minggu Makan sisa makanan, mata su­dah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.

Tanggal 11/8-’69, Senin Merebus daun-daun  yang bisa di­makan yang dapat dicapai de­ngan tangan dan tongkat.

Tanggal l2/8-’69, Selasa Hanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.

Tanggal 13/8-’69, Rabu Masak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, berpikir normal. 

Tanggal 14/8-’69, Kamis Sudah lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Menghemat daun-daunnan lagi. Mulai ragu-ragu apa­kah Pung berhasil atau dia sen­diri mengalami kecelakaan.

Tanggal 15/8-’69, Jum’at : Diketemukan kembali, Merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun tsb. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di­ tenda.

Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana pe­rasaan saya sehabis sembilan hari ke­laparan dan sendirian.

Tanggal 16/8-69, Sabtu Bergerak pulang, kaki yang patah dijepit de­ngan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan kare­na beratnya medan. Besok direncanakan menyelesaikan seluruhnya. Saya dan Pung dan enam orang menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan te­bing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita yang tertinggal menunggu di desa Magersari.

Tanggal 17/8-’69, Minggu Kembali keperadaban Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang dari kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim kelihatan. Mencapai Magersari sore, diteruskan ke Pandansari. Ditempat yang mungkin untuk kendaraan, dijemput sebuah ambulans dan terus ke rumah sakit (masuk Malang jam 11.30 malam).

Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perja­lanan hanya memakan tujuh hari, ter­nyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7-’69 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.


Peta perjalanan sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno


Peta lokasi jatuh sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.83 Juni 1970

Tidak ada komentar:

Posting Komentar