Jumat, 13 Juni 2014

Nyaris Tercekik Gunung Semeru (True Story 1969)

KISAH TRI PURWANTO (PUNG) MENCARI BANTUAN

Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, benar2 menjadi kenang2an yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Harjo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan kami sendirian turun ke pedalaman minta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian sendiri sebagai berikut :

Oleh : Tri Purwanto (Pung)


Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.

Pagi-pagi, kira-kira pk. 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Perjalanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan untuk makan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat. Lebih kurang pk. 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga sama sekali. Saya berteriak-teriak memanggil Hatjo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Harjo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. PPPK seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Harjo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-barang perlengkapan dan lain-lain. Harjo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi. Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.

Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan. Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Harjo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera datang. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.


Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.

Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haro. Perlengkapan kami hanya yang perlu-perlu saja. Peta dan kompas tidak lupa. Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Harjo. Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.

Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.

Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai. Ayunan langkah pertama benar-benar berat sekali. Baru saja berjalan 5 menit sudah harus turun jurang air terjun.

Sampai pukul 16.00 hari itu, saya berhasil turun air terjun sebanyak 4 buah. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin. Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa. Malam itu saya tidur didekat air sungai. Terasa seperti anak yang hilang saja.

Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar hanya pikiran saya yang masih kacau.


Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.

Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.

Tambahan lagi ngeri. Tetap kupaksa kucoba…… Naik…. Naik……..Terkurung.

Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.

Hari itu saya hanya berhasil menuruni jurang air terjun 3 buah saja. Saya sudah lelah benar. Medan setempat masih sama. Seperti kemarin-kemarin masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-tebing labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya. Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan-gangguan binatang buas.


Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.

Lebih kurang pk. 03.00 saya mulai bergerak lagi.

Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan, Terus maju, pantang mundur. Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya. Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja. Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti. Saya tidur di sela-sela batu besar di dekat air.


Sabtu, 9-8-1969. Makan batang nipah & umbi gatal.

Sudah beberapa hari tidak makan.

Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang. Sambil jalan kumakan jenis daun-daunan yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.

Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah). Kemudian saya tebang dan kami makan batangnya. Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu. Makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosenya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi. Jalan lagi. Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan. Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi. Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun. Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Pikiran, pasti enak dimakan. Kumakan baru dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main. Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak. Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan menyusur.

Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.


Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.

Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.

Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung ‘. Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya. Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas. Air habis. Selalu haus rasanya. Kini jauh dengan sungai. Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya pula, walaupun hanya tetes-tetesan air saja. Jalan tengok kekanan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan. Tidak padat penduduknya rupanya. Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.

Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan sesuai dengan peta adalah desa Jajang. Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan. Saya ditolong orang kampung. Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang. Saya menceritakan keadaan kami. Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Harjo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua. Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.


Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.

Paginya saya diantar ke Bapak Martini ( Kamitua desa Jajang ). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua. Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Harjo berada. Perjalanan kami lancar sekali.

Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan. Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan. Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang. Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan. Sayang tidak ada. Semua diam sejenak.

Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung. Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Harjo ketemu. Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Kami sangat berterima kasih kepada mereka.

Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Harjo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.

Malam itu saya tidur di Jajang.


Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki. Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.

Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang dahulu. Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemudian dengan sebuah taxi saya menuju ke Pangkalan.

Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto ( beserta staf ).

Saat itu pukul 12.30.

Laporan saya mendapat perhatian besar sekali. Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT ke Poncokusumo dan terus ke Magersari.

Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.

Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di-Pangkalan. Kami tidur di Mess AURI.

Malam itu saya tidak dapat tidur.

Pikiran masih terkenang kepada Harjo saja.


Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.

Pukul 08.00 saya ke kantor Pangkalan untuk di interview.

Hampir semua orang di Pangkalan mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini.

Mereka sangat prihatin juga tampaknya.

Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Harjo berada.

Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang. Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.

Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.


Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.

Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi. Saya dikirim kesana bersama bahan-bahan makanan.

Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.

Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo.

Kami terus diantar ( jalan kaki ) ke desa Pandansari.

Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah. Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 ( pukul 10 malam ).

Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.

Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Harjo berada.

Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.


Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.

Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT ( Bp. Kamarudin ) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.

Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.

Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.

Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu maju terus pantang mundur.

Akhirnya kami sampai ke tempat Harjo berada.

Saat itu lebih kurang pukul 18.00 Harjo masih dapat bertahan.

Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali. Kami gembira sekali. Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.

Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.


Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.

Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar pengangkut Harjo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-ain. Pukul 03.30 kami siap berangkat.

Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui. Sore lebih kurang pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.

Malam itu sangat dingin.

Sampai malam belum juga ada bantuan datang.


Minggu, 17-8-1969.

Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Harjo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.

Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.

Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.

Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu. Saat itu pk. 18.00.

Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.

Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak orang akan melihat kami. Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.

Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso ( ayah Harjo ) yang memang menjemput kami.

Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 ( malam hari ).

Rontgen Harjo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.

Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.

Selanjutnya Harjo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.

Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.

Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Harjo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.

Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.

Mermounc = Merbabu Mountaineer Club
Sebuah Club Mendaki Gunung yang bermarkas di Jogjakarta
TAN LALANA = Pantang putus asa.
Semboyan Club Mendaki Gunung Mermounc


Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.87 Oktober 1970

Tidak ada komentar:

Posting Komentar