Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Maret 2015

Kisah di Balik Pencarian Survivor Yang Hilang di Mahameru

Pengalaman pertama mendaki puncak Mahameru terjadi pada tahun 2001. Sudah sangat lama sekali. Sangat sulit untuk menyusun kembali serpihan memori. Tapi ada beberapa hal yang akan selalu saya ingat. Satu diantaranya adalah ketika saya berdiri di ketinggian 3676 mdpl.

Benar yang dikatakan para pendaki. Saat kita ada di ketinggian, saat di bawah kaki kita ada terlihat gumpalan awan, saat itulah kita akan merasa kecil dan tak berarti. Ya benar, tatkala kita semakin dekat dengan langit, maka kita akan semakin mudah memahami apa itu kehidupan.

Kabar Tentang Hilangnya Seorang Kawan di Mahameru

Akhir November 2006 ditandai dengan sebuah kabar yang mengejutkan. Dikabarkan bahwa ada seorang MAPALA dari D3 Fakultas Ekonomi Universitas Jember (OPA MAHAPALA) yang dinyatakan hilang di Gunung Semeru. Kabar ini saya terima sore hari, saat saya sedang asyik menikmati secangkir kopi.

Detik detik selanjutnya, saya sudah ada di tengah tengah forum SAR OPA Jember. Kami berkumpul di aula Fakultas Ekonomi UJ dan membahas tentang apa saja yang akan dilakukan.

Hari semakin merambat malam, sudah bergelas gelas kopi menemani kami menyusun rencana. Dari arah yang lain, seorang kawan menghampiri saya. Namanya Yopi, dia adalah anggota pencinta alam MAHADIPA (Fakultas Teknik UJ). Tiba tiba Yopi berkata, “Piye nek berangkat disek numpak vespa?.” Yopi mengungkapkan ajakannya dalam bahasa jawa. Dia mengajak saya untuk berangkat dulu ke lokasi, berdua saja mengendarai vespa. Setelah koordinasi sebentar dengan beberapa rekan, malam itu juga kami pun berangkat.

Selama Perjalanan

Dari Jember, kami langsung meluncur ke arah Lumajang. Seperti yang kita tahu, posisi Gunung Semeru terletak diantara wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang.

Setelah memasuki Kabupaten Lumajang, kami segera meluncur ke sebuah daerah bernama Senduro. Kami sampai dini hari, dan langsung istirahat di Polsek Senduro. Karena lokasinya menyatu dengan pasar, saya dan Yopi tidak bisa tidur berlama lama. Pagi hari kami dibangunkan oleh suara suara yang ramai, khas suasana pasar nusantara. Perjalanan kami teruskan menuju Ranu Pane. Ini adalah desa terakhir yang dituju para pendaki yang hendak menyusuri setapak menuju Mahameru.

Tidak ada waktu untuk menikmati dua telaga indah, Ranu Pane dan Ranu Regulo. Kami segera merapat, berkoordinasi dengan beberapa kawan, dan siang harinya saya bergabung dengan SARKAB Lumajang menuju Pos Kalimati.

Dari Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, kami masih menjumpai jalur landai dan banyak alang alang di sana sini. Sesampainya di Watu Rejeng, kami istirahat sebentar. Jarak Watu Rejeng menuju Ranu Kumbolo masih empat setengah kilo lagi. Sedangkan dari Kumbolo menuju Kalimati, sekitar sepuluh kilometer. Karena tidak ada waktu yang banyak, istirahat hanya sebentar saja. Selanjutnya kami kembali meluncur.

Perjalanan kali ini sungguh membuat saya malu. Kaki saya terkilir (saya lupa kaki yang sebelah kanan atau kiri) dan saya menghambat laju rombongan. Sesampainya di Ranu Kumbolo, hari sudah menjelang sore. Ingin rasanya saya berkata pada komandan SARKAB Lumajang bahwa saya akan bermalam di selter Ranu Kumbolo saja (sambil berharap kaki saya yang terkilir akan lekas membaik). Tidak disangka, ternyata mereka memutuskan untuk bermalam di sana. Syukurlah.

Malam begitu dingin, saya tidak bisa tidur nyenyak. Sebentar sebentar terjaga dan menggigil. Pagi harinya, lapisan teratas air Ranu Kumbolo terlihat seperti air kapur, jika disentuh akan terlihat memecah. Saya benar benar tidak bisa menikmati keindahan Kumbolo (dan memang tujuannya bukan untuk itu).

Setelah sarapan dan packing, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Meskipun di dekat Kalimati ada mata air Sumber Mani, masing masing dari kami tetap membawa bekal air dari Ranu Kumbolo.

Ajaib, selama perjalanan menuju Kalimati, kaki saya terasa sehat dan saya senang karena tidak menghambat laju perjalanan rombongan. Yang menjadi aneh, setelah tiba di Kalimati, kaki yang terkilir ini kembali cenat cenut. Itulah kenapa, selama beberapa hari di camp Kalimati, saya lebih banyak bertugas di dapur umum sebagai tenaga logistik (tempat ini disepakati untuk dijadikan camp SAR OPA Jember dan SAR lain yang bergabung dan menjadi satu komando).

Tentang Survivor

Tentang rekan yang hilang tersebut, namanya Dian Susanto Baca Juga Disini : Catatan Survivor Mahapala Unej - GN. Semeru, November 2006. Oleh teman teman sesama pencinta alam Dian biasa dipanggil Stempel. Tercatat sebagai Mahasiswa Diploma III Jurusan Administrasi Keuangan Fakultas Ekonomi angkatan 2004. Dia adalah seorang lelaki muda asal Situbondo, lahir pada 20 Oktober 1984.

Awalnya, survivor mendaki di Semeru bersama tiga temannya, yakni Windarto, Sholeh Hanafi dan Fuad Handitya. Setelah turun dari pendakian, Dian ada diurutan paling terakhir dan tiga temannya sudah jauh mendahuluinya hingga sampai di base camp Ranu Pane.

Diperkirakan lokasi hilangnya survivor berada di lereng yang memiliki dua cabang jalan, itu ada di Cemoro Tunggal.

Menyadari ada yang tidak beres, ketiga teman Dian segera mengabarkan pada pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Dalam hal ini, pihak Taman Nasional (dan juga SAR KAB Lumajang) patut diacungi jempol.

Begitulah awal mula hilangnya Dian Susanto di Gunung Semeru.

Kisah Singkat Tentang Pencarian Survivor

Selama di lokasi, cerita tentang saya masih sama, tidak jauh jauh dari kaki yang terkilir. Namun begitu, saya sempat masuk dalam salah satu SRU mencari survivor ke arah Arcopodo (di atas Kalimati, dan berjarak sekitar satu jam dari Kalimati, berada pada ketinggian 2900 mdpl). dari Arcopodo menuju puncak Mahameru berjarak antara 3 sampai 4 jam. Medannya berupa gundukan (bukit) pasir. Kita akan mudah merosot di lokasi ini, karena medannya sangat curam.

Di waktu yang lain, saya juga sempat mencari air di Sumber Mani. Jarak antara pos Kalimati - Sumber Mani sekitar 1 jam pulang pergi. Dengan kaki terkilir, saya butuh waktu dua jam lebih.

Hanya itu agenda saya selama di lokasi. Bisa dikatakan, tenaga saya lebih terfokus di dapur umum (saat itu saya selalu berdua dengan Kang Kendo MAHAPALA).

Kabar dari bawah

Di hari ke empat, datang lagi tenaga bantuan yang siap merapat dan mencurahkan skill mereka di bidang SAR. Yang membuat saya terkejut, salah satu dari mereka membawa pesan dari bawah (pesan untuk saya), bahwa dua hari lagi saya harus menjadi juri di acara lomba melukis (pada 2006 saya masih bekerja di salah satu produk crayon sebagai tester, dan ketika ada lomba yang di sponsori produk tersebut, saya selalu siaga menjadi juri lomba). Alhasil, malamnya saya packing, dan esoknya (hari ke lima) saya turun, berdua dengan Yopi.

Kisah Burung Penjaga Jalur

Saya dan Yopi tidak langsung pulang di pagi hari. Kami masih merampungkan beberapa tugas di lokasi. Baru menjelang siang hari kami meluncur turun. Tujuannya jelas, Ranu Pane. Di sana sudah ada vespa kesayangan Yopi yang setia menunggu. Meskipun berupa tim kecil, ini bukan perjalanan yang mudah dan cepat, mengingat kondisi kaki saya yang manja di saat tidak tepat.

Sesekali kami berhenti, meneguk air putih dan memeriksa HP berharap ada sinyal. Di Kalimati sama sekali tidak ada sinyal. Untuk mendapatkannya, kita harus menuju Arcopodo. Saat ada sinyal, kondisi tersebut saya manfaatkan untuk mengirim pesan pada rekan kerja bahwa saya masih dalam perjalanan.

Tiba di daerah yang jalannya bercabang, kami sedikit bingung memutuskan antara ke kiri atau ke kanan. Di waktu itulah saya dan Yopi menyadari bahwa sedari tadi ada seekor burung warna coklat yang membuntuti kami dari arah yang kadang kadang dekat kadang kadang menjauh. Saat burung itu terbang ke arah salah satu jalan cabangan itu, secara naluriah kami mengikuti arah yang ditunjuk. Begitu seterusnya hingga mendekati Ranu Pane (lokasi terakhir dimana burung itu menemani kami).

Kami hanya bisa memandang saat burung itu terbang menjauh. Entah apa nama burung itu, dan entah apakah pendaki lain juga pernah memiliki pengalaman yang sama dengan saya.

Meneruskan Perjalanan Pulang

Hari sudah menjelang mahgrib saat saya dan Yopi tiba di Pane. Segera kami berpamitan ke Pos Taman Nasional, dan tak lama kemudian kami meluncur membelah hutan Senduro.

Saat di tengah hutan, kondisi cahaya sudah remang remang. Di saat itulah vespa yang kami kendarai mogok. Ow, benar benar bukan saat yang tepat. Saya lihat kiri kanan, ternyata posisi kami dekat sekali dengan hutan bambu. Ini mengingatkan saya pada cerita Om Glemboh (Karyawan TNBTS sekaligus penulis catatan perjalanan) tentang ular piton di areal hutan bambu. Sepertinya Yopi juga sedang memikirkan hal yang sama. Terbukti, kami langsung meluncur kembali, dengan mesin yang tidak menyala dan hanya memanfaatkan kondisi jalan yang menurun. Kadang kami mendorongnya. Begitu seterusnya hingga kami sampai di pemukiman terdekat. Itulah saat dimana kami benar benar istirahat, untuk kemudian membongkar vespa.

Syukurlah, pada akhirnya mesin vespa sudah kembali normal hingga kepulangan kami menuju Jember.

Kabar Yang Menggembirakan

Esoknya, saya baru saja selesai melaksanakan penjurian lomba melukis dan mewarnai saat ada sms masuk. Kabar yang benar benar membuat hati saya merona. Bahagia sekali membaca pesan yang isinya mengabarkan bahwa survivor (Dian Susanto) berhasil diketemukan dalam keadaan hidup. Menakjubkan, 6 hari sendirian di cuaca ekstrem, dan survive. Kalau saja saya tidak ada diantara anak anak kecil peserta lomba, mungkin saya akan melakukan sujud syukur.

Kisah Yang Dituturkan Oleh Survivor

Ketika saya bertemu langsung dengan Dian Susanto, pertanyaan pertama yang saya sampaikan adalah tentang apa yang membuatnya bertahan hidup. Dia menjawabnya pendek saja.

Karena saya memang harus bertahan hidup

Saya sedikit bingung dengan jawabannya. Kemudian saya kembali bertanya, “Kenapa?”

Pada akhirnya Dian Susanto bercerita panjang lebar. Dia berkisah tentang ketakutannya, halusinasinya, rasa dingin yang menyebabkan dia harus menggali tanah di bawah pohon (menggali dengan tangannya) lalu berusaha memendam kaki dan tangannya, mengejar sinar mentari yang jarang dia dapati di pagi hari, hingga pada kerinduannya. Hmm, ternyata Dian Susanto sedang merindukan perempuan bernama Mia.

Saat saya dalam kondisi antara mau tidur dan masih terjaga, saya seperti mengalami halusinasi. Semua dongeng yang pernah dikisahkan Ibuk, begitu mudah terpampang kembali, nyaris seperti sebuah slide

Dian Susanto juga sempat mengatakan itu pada saya. Tentang kekuatan cerita. Benar jika ada yang berkata, “Seringkali, untuk bertahan hidup orang lebih membutuhkan cerita daripada logistik.”

Dia bisa menemukan jalan keluar manakala menemukan sekumpulan orang yang beraktifitas di dalam hutan. Saat Dian Susanto mendekat, sekumpulan orang ini segera bergerak menjauh. Tapi Dian mengejarnya sekuat tenaga.

Waktu itu saya mengenakan baju lapang khas pencinta alam dan sepatu PDL. Mungkin mereka sedang melakukan aktifitas ilegal (seperti mencuri kayu) dan disangkanya saya ini petugas.”

Dian menuturkan itu pada saya. Singkat cerita, Dian Susanto berhasil gabung dengan orang orang ini, dan di hari ke enam dia sudah ada di pemukiman. Saat sedang membasuh wajah di sungai, ada seorang warga pemukiman yang berkata pada Dian Susanto.

Lho Mas, sampeyan kan yang fotonya ada di berita televisi?”

Awalnya Dian Susanto menggeleng. Namun kemudian Dian menyadari apa yang terjadi. Selang beberapa waktu kemudian, Dian Susanto sudah berada di rumah penduduk. Salah satu dari mereka meminjaminya telepon genggam. Tak lama kemudian Dian menghubungi sekretariat OPA MAHAPALA dan mengabarkan posisinya. Mulanya si penerima pesan (Novika Kurnia) tidak percaya. Namun dia tetap menyampaikan berita itu ke pihak SAR di Lumajang. Tak lama kemudian Tim SAR segera membentuk tim kecil untuk terjun ke lokasi yang dimaksud.

Akhir yang indah. Penjemputan berhasil manis. Andai saja saya masih di lokasi, pasti akan saya dapati wajah wajah bahagia di sana. Kabarnya, diantara wajah wajah yang merona itu, ada terselip juga air mata yang meleleh. Sepenggal kisah yang sulit terlupakan di akhir November 2006.

Catatan Penutup

Saat ini Dian Susanto sudah menyelesaikan kuliahnya dan sudah bekerja. Dia juga sempat melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Jember.

Kabar membahagiakan yang lain, pada 2 Maret 2011 yang lalu Dian Susanto menikah dengan Mia, perempuan yang senyum manisnya selalu menemani Dian Susanto tatkala dia sendiri berteman sepi.

Kegigihannya bertahan hidup, membuat saya empati dan terinspirasi. Pada akhir 2006, saya menciptakan lagu berjudul Doakan Aku Pulang. Lagu ini dinyanyikan sendiri oleh Dian Susanto.

Rabu, 25 Juni 2014

Idealis atau Realistis

Kujatuhkan pandangan kulihat jurang dalam
Penuh dengan onak duri yang amat mengerikan

Ku dongakan kepala kulihat langit tinggi
Terbentang luas tiada bertepi

(Hijjaz – Damai Nan Indah)


Perumpamaan lirik lagu diatas memang tidak jauh berbeda, idealism itu seperti menatap langit, sementara realistis itu menatap bumi. Manusia dengan segala dinamika nya pun tidak bisa total memilih satu bagian, meski dominan realistis atau idealis selalu ada bagian dirinya yang memiliki sifat berlawanan.

Mungkin tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa ini termasuk kedalam fitrah pasangan, seperti siang-malam, gelap-terang, baik-buruk, maka idealis-realistis adalah sebuah keniscayaan akan kesempurnaan. Jika ini adalah, katakanlah, fitrah yang ada di setiap individu, persoalannya lebih baik mana yang harus didominankan..??

Erat kaitannya kecerdasan emosional, pengendalian diri termasuk waktu yang tepat saat kita berfikir idealis dan realistis menjadi penting untuk dikuasai. Namun, karakter setiap individu pun turut serta berpengaruh dalam menentukan hal ini. Contoh, sifat obsesif, agresif, dan yang lain sebagainya.

Kembali ke ilustrasi di atas, contoh penggunaan idealis-realistis. Saat kamu mendaki gunung, okelah jika kita senang melihat puncak, sesekali sebagai pemicu semangat ditengah gempuran lelah, sah-sah saja sebagai bentuk idealis kita meraih puncak, tapi jangan lupa, lihat pula jalur pendakian, tebing dan jurang yang menghadang, saat mendaki mendongak memang asyik, tapi menunduk saya kira lebih penting.

Persoalannya selanjutnya adalah dimana seharusnya idealis-realistis adalah pasangan sejati, ini malah menjadi pasangan yang saling membantai. Kembali ke ilustrasi pendakian tadi, idealnya adalah sampai puncak, tapi bagaimana saat jurang menghadang..??? pulang, loncati, atau cari jalan baru..??

Idealnya saat kita punya visi, cita-cita, dan sebuah keinginan, adalah mewujudkannya, tapi terkadang kita lupa realistis, kita lupa antisipasi akan kenyataan yang akan kita hadapi. Ingat..!! realistis bukan pesimis, justru ia adalah sebuah dorongan untuk mencari alternative lain untuk mewujudkan idealism nya. Idealism tanpa realistis sama saja bunuh diri, ia akan meloncati jurang yang ada demi sampai puncak. Realistis tanpa idealis sama riskan, susah rasanya mencapai puncak, yang ada pulang saja. Pasangan idealis-realistis, ia akan mencari jalan baru untuk menggapai puncak.

Semoga bermanfaat

Kenyamanan Revolusi

Jelas aku membutuhkanmu. Dan aku rasa, kamu tertekan karenanya. Aku juga berusaha sebisaku agar kamu tak tertekan. Sebab, aku membutuhkanmu.

Andai kamu tak nyaman dengan semua ini, tentu saja aku harus lebih dari mengerti. Berarti, ikhtiarku untuk membuatmu nyaman hanyalah kenyamanan bagiku.

Kegelisahanku bukan alasan kenyamananmu. Ia alasan kerakusanku. Anganku bukan alasan senyummu. Ia alasan kebodohanku menerka kenyamanan yang kamu maksud.

Kalau pun tak sampai membuatmu nyaman, terkadang aku bergumam andai semua tetap seperti ini. Ya, agar aku tak sakit jiwa.

Tapi menurutku, tak baik mendamba kenyamanan dengan menjarah. Tak bijak mengharap ridha dengan simulasi khayalan atau keajaiban. Sebab, pada akhirnya nyaman itu memang hanya milikmu.

Andai kelak kamu membutuhkanku, aku akan bahagia dengan hiasan senyum konyolku. Karena sejauh khayalku, kamu tak akan pernah tergila-gila padaku. Andai kelak kamu dianugerahi kenyamanan itu, aku akan sedikit menahan kalimat-kalimat garingku. Dan andai kelak kamu punya alasan untuk nyaman bersamaku, aku akan tersungging pada Tan Malaka. Ya, ternyata revolusi tak harus kehilangan kenyamanan pengusungnya.

Jelas aku akan selalu merindukan semuanya. Dan aku sok tahu, hidupmu akan selalu indah.

Semoga bermanfaat

Jumat, 13 Juni 2014

Nyaris Tercekik Gunung Semeru (True Story 1969)

KISAH TRI PURWANTO (PUNG) MENCARI BANTUAN

Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, benar2 menjadi kenang2an yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Harjo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan kami sendirian turun ke pedalaman minta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian sendiri sebagai berikut :

Oleh : Tri Purwanto (Pung)


Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.

Pagi-pagi, kira-kira pk. 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Perjalanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan untuk makan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat. Lebih kurang pk. 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga sama sekali. Saya berteriak-teriak memanggil Hatjo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Harjo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. PPPK seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Harjo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-barang perlengkapan dan lain-lain. Harjo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi. Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.

Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan. Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Harjo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera datang. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.


Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.

Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haro. Perlengkapan kami hanya yang perlu-perlu saja. Peta dan kompas tidak lupa. Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Harjo. Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.

Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.

Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai. Ayunan langkah pertama benar-benar berat sekali. Baru saja berjalan 5 menit sudah harus turun jurang air terjun.

Sampai pukul 16.00 hari itu, saya berhasil turun air terjun sebanyak 4 buah. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin. Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa. Malam itu saya tidur didekat air sungai. Terasa seperti anak yang hilang saja.

Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar hanya pikiran saya yang masih kacau.


Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.

Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.

Tambahan lagi ngeri. Tetap kupaksa kucoba…… Naik…. Naik……..Terkurung.

Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.

Hari itu saya hanya berhasil menuruni jurang air terjun 3 buah saja. Saya sudah lelah benar. Medan setempat masih sama. Seperti kemarin-kemarin masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-tebing labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya. Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan-gangguan binatang buas.


Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.

Lebih kurang pk. 03.00 saya mulai bergerak lagi.

Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan, Terus maju, pantang mundur. Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya. Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja. Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti. Saya tidur di sela-sela batu besar di dekat air.


Sabtu, 9-8-1969. Makan batang nipah & umbi gatal.

Sudah beberapa hari tidak makan.

Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang. Sambil jalan kumakan jenis daun-daunan yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.

Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah). Kemudian saya tebang dan kami makan batangnya. Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu. Makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosenya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi. Jalan lagi. Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan. Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi. Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun. Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Pikiran, pasti enak dimakan. Kumakan baru dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main. Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak. Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan menyusur.

Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.


Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.

Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.

Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung ‘. Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya. Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas. Air habis. Selalu haus rasanya. Kini jauh dengan sungai. Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya pula, walaupun hanya tetes-tetesan air saja. Jalan tengok kekanan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan. Tidak padat penduduknya rupanya. Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.

Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan sesuai dengan peta adalah desa Jajang. Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan. Saya ditolong orang kampung. Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang. Saya menceritakan keadaan kami. Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Harjo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua. Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.


Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.

Paginya saya diantar ke Bapak Martini ( Kamitua desa Jajang ). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua. Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Harjo berada. Perjalanan kami lancar sekali.

Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan. Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan. Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang. Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan. Sayang tidak ada. Semua diam sejenak.

Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung. Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Harjo ketemu. Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Kami sangat berterima kasih kepada mereka.

Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Harjo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.

Malam itu saya tidur di Jajang.


Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.

Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki. Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.

Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang dahulu. Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemudian dengan sebuah taxi saya menuju ke Pangkalan.

Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto ( beserta staf ).

Saat itu pukul 12.30.

Laporan saya mendapat perhatian besar sekali. Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT ke Poncokusumo dan terus ke Magersari.

Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.

Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di-Pangkalan. Kami tidur di Mess AURI.

Malam itu saya tidak dapat tidur.

Pikiran masih terkenang kepada Harjo saja.


Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.

Pukul 08.00 saya ke kantor Pangkalan untuk di interview.

Hampir semua orang di Pangkalan mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini.

Mereka sangat prihatin juga tampaknya.

Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Harjo berada.

Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang. Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.

Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.


Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.

Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi. Saya dikirim kesana bersama bahan-bahan makanan.

Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.

Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo.

Kami terus diantar ( jalan kaki ) ke desa Pandansari.

Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah. Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 ( pukul 10 malam ).

Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.

Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Harjo berada.

Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.


Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.

Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT ( Bp. Kamarudin ) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.

Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.

Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.

Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu maju terus pantang mundur.

Akhirnya kami sampai ke tempat Harjo berada.

Saat itu lebih kurang pukul 18.00 Harjo masih dapat bertahan.

Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali. Kami gembira sekali. Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.

Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.


Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.

Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar pengangkut Harjo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-ain. Pukul 03.30 kami siap berangkat.

Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui. Sore lebih kurang pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.

Malam itu sangat dingin.

Sampai malam belum juga ada bantuan datang.


Minggu, 17-8-1969.

Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Harjo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.

Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.

Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.

Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu. Saat itu pk. 18.00.

Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.

Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak orang akan melihat kami. Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.

Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso ( ayah Harjo ) yang memang menjemput kami.

Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 ( malam hari ).

Rontgen Harjo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.

Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.

Selanjutnya Harjo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.

Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.

Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Harjo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.

Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.

Mermounc = Merbabu Mountaineer Club
Sebuah Club Mendaki Gunung yang bermarkas di Jogjakarta
TAN LALANA = Pantang putus asa.
Semboyan Club Mendaki Gunung Mermounc


Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.87 Oktober 1970

Saya Jatuh Di Lereng Gunung Semeru (True Story 1969)

Kisah Pengalaman Perjalanan Saudara Alm. Hario Suseno di Gunung Semeru Tahun 1969.

Bulan Agustus tahun yang lalu beberapa minggu sebelum berita tentang meninggalnya Soe Hok Gie anda mungkin membaca tentang jatuhnya seorang pendaki lain di Gunung Semeru, saudara Hario Suseno. Dibawah ini ia akan menceritakan pengalamannya waktu itu. 

Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah un­tuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tinda­kan dan mengambil konsekwensi serta tanggung jawab dalam se­buah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau lain-lain dimana biasanya sebuah team kemudian tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.

Saya berangkat dari Jogya tanggal 25/7-69 bersama seorang ka­wan: Pung.Sebagaimana dengan pendaki­an-pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan PPPK dan perlengkapan mountaineering se­adanya. Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai yang sesungguhnya jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepatu dengan sol karet beralur yang seharusnya hanya me­rupakan sepatu kerja pada lan­tai kasar atau tanah biasa.

Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:

Tanggal 25/7-’69, Jum'at Rencana pokok pendakian, peralatan. Jam 23.00 sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogya. De­ngan taksi kita tiba di Malang jam 01.00.

Tanggal 26/7-‘69, Sabtu Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan-jalan ke Semeru menurut pengetahuan me­reka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan be­berapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Kami te­tapkan akan melalui daerah Selatan: Turen. Ternyata keadaan sangat me­rugikan perjalanan kami kalau melintas dari Turen ke Semeru. Kami menggeser ke-Timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi Kalibening. Kami melapor ke­ kecamatan dan Koramil. Men­dapat penjelasan, lava mengarah ke Selatan ini juga, sedangkan kami tepat di Selatan dari puncak Semeru. Waktu ini hari Sabtu jam 07.30 pagi.

Malam ini menginap di desa Rawabawang yang terletak di Utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulan: lava turun mengarah Barat Daya sampai ke Se­latan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan la­va turun sangat mengagumkan.

Tanggal 27/7-’69, Minggu Saya Sempat ke gereja di Kali­bening, sebagian penduduk ber­agama Kristen. Dari percakapan-percakapan dengan orang-orang kami mendapat keterangan yang cukup tentang route yang akan kami tempuh.

Keputusan: menggeser sampai ke Tenggara baru akan mendaki. Siang mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Se­meru. Beban pertama dengan ba­han makanan untuk 10 hari, Se­berat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.

Tanggal 28/7-’69, Senin Mengisi air masing-masing 7 liter, mulai mendaki. Jam 11.00 sampai pada batas perkebunan-hutan, memasak nasi pada sebuah keluarga kecil, dengan hanya dua buah pondok kecil di tepi hutan itu. Sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana hubungan masyarakat kecil ini dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang sa­ja.

Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon2 setinggi 10-12 meter. Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb., istirahat.

Tanggal 29/7-’69, Selasa Pukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin melebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas. Cahaya matahari sangat sedikit, semak melebat. Berjalan sampai pukul 16.00 sore, mendirikan tenda. Udara sangat lembab.

Tanggal 30/7-’69, Rabu Pukul 08.00 mulai lagi. Keada­an yang sama, menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair. Mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu ke­ring. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.

Tanggal 31/7-’69, Kamis Berangkat seperti biasa. Semak semakin lebat. Kami terus me­ngarah ke sisi lereng Timur un­tuk menemukan lintasan pasir da­ri puncak. Kali ini sangat payah. Satu jam hanya kira-kira 30/50 meter saja. Benar-benar merintis jalan de­ngan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.

Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00 me­nemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas de­ngan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 mencapai batas hutan dan pasir. Istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian dingin. Sekitar pukul 20.00 malam bulan muncul. Medan pasir jelas terlihat, kemiringan antara 30 s/d 40 dera­jat. Mencapai lereng dengan bongkah besar, bermalam tanpa tenda. (melihat ke Utara, menyeberang lereng kira-kira 200 meter) buka.

Tanggal 1/8-’69, Jum’at Menyeberang lintasan pasir dan hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (batu-batu lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat payah. Istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, empat derajat C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang ka­mi temukan. Tidak bisa mendiri­kan tenda. Ketinggian sekitar 3000 meter.

Tanggal 2/8-69, Sabtu Mencapai puncak.Kita mencapai puncak (+ 3676 m) Pukul 12.00 siang. Pukul 14.00 siang mulai turun ke Utara. Tidur di hutan. Rumput2 tinggi, pohon-pohon pinus mercusy rendah dan jarang, air habis. Tanggal 3/8-’69. Minggu.Meneruskan menembus hutan belukar kebawah (Utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan kering sekali. Pu­kul 15.00 menyusur pangkal su­ngai Aran-aran, kami langsung membelok ke Barat (270 meter), menyusur lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian sekitar +2350 M. Pukul 16.00 menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang poreus, kami dapat menapis air disini. Malam berjalan terus selama jalan dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di­ tepi sungai.

Tanggal 4/8-’69, Senin Melewati beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 5 s/d 15 m. Kami gunakan tali-tali dimana perlu. Tidur malam nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.

Tanggal 5/8-’69, Selasa Hari jatuh. Sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan dibawah tegak lurus.Tali kami yang 26 meter panjangnya tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding curam tersebut, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya didepan. Pada saat merambat terpeleset ada longsoran kecil dan lepas kebawah, setelah melewati ba­tas miring lalu jatuh bebas, ki­ra-kira 15 meter, dan pingsan. Pung un­tunglah selamat, memberikan pertolongan seperlunya. Tulang paha kanan patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.

Tanggal 6/8-’69, Rabu Pung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan pusing sekali, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pa­da paha kanan terkena batang cemara tumbang sewaktu jatuh. Bahan makanan tinggal untuk satu hari ditinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (di­perpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, tali-tali. Saya sendiri te­rus tidur nyenyak sampai pagi.

Tanggal 7/8-’69, Kamis Bangun, melihat serba dua, pusing, tidur lagi.

Tanggal 8/8-’69, Jum’at Makan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.

Tanggal 9/8-’69, Sabtu Makan kedua, lagi minum air sungai sekenyangnya.

Tanggal l0/8-’69, Minggu Makan sisa makanan, mata su­dah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.

Tanggal 11/8-’69, Senin Merebus daun-daun  yang bisa di­makan yang dapat dicapai de­ngan tangan dan tongkat.

Tanggal l2/8-’69, Selasa Hanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.

Tanggal 13/8-’69, Rabu Masak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, berpikir normal. 

Tanggal 14/8-’69, Kamis Sudah lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Menghemat daun-daunnan lagi. Mulai ragu-ragu apa­kah Pung berhasil atau dia sen­diri mengalami kecelakaan.

Tanggal 15/8-’69, Jum’at : Diketemukan kembali, Merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun tsb. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di­ tenda.

Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana pe­rasaan saya sehabis sembilan hari ke­laparan dan sendirian.

Tanggal 16/8-69, Sabtu Bergerak pulang, kaki yang patah dijepit de­ngan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan kare­na beratnya medan. Besok direncanakan menyelesaikan seluruhnya. Saya dan Pung dan enam orang menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan te­bing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita yang tertinggal menunggu di desa Magersari.

Tanggal 17/8-’69, Minggu Kembali keperadaban Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang dari kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim kelihatan. Mencapai Magersari sore, diteruskan ke Pandansari. Ditempat yang mungkin untuk kendaraan, dijemput sebuah ambulans dan terus ke rumah sakit (masuk Malang jam 11.30 malam).

Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perja­lanan hanya memakan tujuh hari, ter­nyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7-’69 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.


Peta perjalanan sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno


Peta lokasi jatuh sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Sumber : Intisari no.83 Juni 1970

Selasa, 27 Mei 2014

Catatan Survivor Rico - GN. Merapi, November 2013

Sabtu, 02 November 2013 

Satu bulan yang lalu saya dan teman-teman berencana untuk mengisi hari libur dengan Pendakian ke Gunung Merapi dan Merbabu. Siang hingga sore hari saya bersama Panji menyiapkan Logistik dan perlengkapan yang akan digunakan untuk pendakian. 

Selesai menyiapkan logistik dan perlengkapan, saya, Afi, Panji, dan Jamal berangkat menuju ke Terminal Bungurasih. Pukul 18.00 Waktu Indonesia Bagian "Jam Tanganku", kami tiba di Terminal Bungurasih. 

Menunggu kedatangan teman-teman yang lain, Mas Danis dan Andik (bukan Vermansyah), kami sempatkan untuk mengisi perut, namun, sampai satu jam berlalu belum ada tanda-tanda kemunculan ke-2 orang tersebut. 

Pukul 19.15 (sudah ngantuk, dan capek), datanglah Mas Danis, disusul oleh Andik 15 menit kemudian. Andik mengajak temannya yang lain, yaitu Mas Sigit. 

Mungkin karena sedang long week-end (pas libur panjang), agak lama juga dapet bus. Pukul 20.15 Tim rombongan naik bus, berangkat menuju Kota Solo.


Minggu, 03 November 2013

Pukul 03.00 pagi saya terbangun, tak sadar sudah tiba di Kota Solo (mirip lyricnya kereta malam). Di Tirtonadi Solo, kami istirahat 15 menit, dan melaksanakan ibadah subuh di Terminal Tirtonadi. Di musholah Terminal Tirtonadi kami ketemu temen baru Mbak Al, dan Mas Yayan. Selanjutnya perjalanan ke Boyolali ditempuh selama 30 menit.

Pukul 05.10, start menuju Pasar Cepogo, dapet harga murah sih, tapi kok mobilnya ga kuat nanjak, dan hasilnya kami harus berjalan kurang lebih 1 km ke Ps. Cepogo. Sudah nyampek pasar, dan dapet bis ke Selo, eh Nunggu jam 7 baru kemudian berangkat. 53 menit kemudian, sampailah kami di Selo, lagi-lagi jalan ke New Selo, sambil pemanasan badan.


Start Pendakian Menuju Pasar Bubrah

Jam 08.15, New Selo. Di Tulisan ala Holywood itu kami berada saat itu untuk melengkapi logistik, beberapa dari kami sarapan di sini termasuk saya sendiri. Jam 09.20 kami berangkat deh, dan ga lupa berdoa dulu. 

Well, perjalanan dimulai, tanpa kepikiran kalo ini awal petualanganku tiga hari jadi survivor. Setelah melewati perkebunan warga, Jam 10 udah tiba di Gapura “Welcome To Merapi Mount National Park”. 

Hm.. gak terasa 2 jam berjalan saya, Afi, Al, dan yayan. Teman yang lain tertinggal 30 menit, dua orang dalam Tim kami kondisi fisiknya perlu perhatian khusus. Di sini saya berhenti sejenak karena rintik-rintik gerimis. 

Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berencana untuk berhenti di Pos I. 1 jam berlalu, belum juga bertemu Pos I, tapi kami menemukan tempat yang sangat indah untuk foto.

Setelah Mas Yayan ngabisin sebatang rokoknya, ternyata udah gak gerimis lagi, dan kami melanjutkan perjalanan lagi menuju ke Pos I.

Sepanjang jalan banyak pendaki yang turun dan mengingatkan kami, bahwa di atas pasar bubrah sedang terjadi badai. 

Satu jam berlalu lagi, dan kami sempat putus asa, karena Pos I saja belum ketemu, gimana puncaknya? Dalam hati saya, jangan-jangan Gunung Merapi sejenis dengan Gunung Argopuro. 


Tiba di Pos Kedua

Rasanya sudah gak sabar juga sih. Akhirnya saya tanya orang aja. “Pak, Pos I masih jauh ga?”. “Lhah! Sudah jauh di bawah tadi mas, 10 menit lagi aja udah pos II”. Jawab si bapak. What!? Ternyata tempat kami berhenti waktu gerimis tadi terletak di dekat Pos I. 

Tiba Pos II kami putuskan untuk menunggu teman yang lain dan lagi-lagi sempatkan waktu untuk berfoto. Tigapuluh menit, mereka belum dateng juga, si Afi sudah terlelap dan mimpi tiba di puncak. 

Lima belas menit kemudian sampailah Mas Danis, Andik (bukan Vermansyah), dan Sigit udah nyampek, tapi Panji? Jamal? Belum keliatan juga ujung hidungnya. Tapi Mas Danis Bilang “Gak apa-apa, kita tunggu di pasar bubrah aja”. 

Lima menit kemudian kami melanjutkan lagi ke Pasar Bubrah, sepanjang perjalanan sampe di atas Watu Gajah, ada sekelompok pendaki lain mengingatkan kami dengan kalimat, "Di atas badai Mas". 

Benar juga katanya, belum juga nyampek pasar Bubrah, angin ga seperti yang kami kira.

Sebelumnya juga saya pernah merasakan tiupan angin kencang di Gn. Arjuno, tapi tidak sekencang angin di sini. 

Angin ini merupakan yang paling kencang yang pernah saya rasakan. Tigapuluh menit kemudian kami sampai di Batu In Memoriam Pelajar Pecinta Alam SMA 4 Yogyakarta. 

Setelah mengheningkan cipta sejenak kami mencari tempat istirahat untuk memasak dan menunggu teman-teman yang lain. 

Lama juga kami menunggu teman-teman sambil kami menyalakan kompor Gasmate kami dan memasak di atas nesting, tak jauh dari tempat persembahan masyarakat sekitar untuk Gn. Merapi. 

Ada Tengkorak Kerbau di balut dengan kain Putih tak jauh dari tempat kami, dan juga tempat menyalakan dupa, posisinya di sebelah kami, yang sempat tersenggol olehku. 

Sekitar pukul 14.45 datang lah Mas Danis disusul oleh Panji dan Jamal. Bravo Kawan! kalian sanggup sampai di sini!


Pendakian Menuju Puncak Merapi

Sekitar jam 15.05, itu adalah Terakhir kali saya melihat Jam, karena setelah itu HP kumasukkan ke dalam tas kecil. Tak lupa Victorinox kesayanganku (hadiah dari temanku saat dia di Eropa), kugantung di pergelangan tangan dan kumasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abuku dulu yang selalu menemaniku ke Pucak Gunung. 

Botol Air mineral 600ml yang sudah kumodifikasi tutupnya kuberi selang, jadi aku ga perlu repot buka-tutup. Semua barang-barang bawaan kami tinggal di Pasar Bubrah, untuk meringankan beban kami.

Kabut dan badai sudah mereda, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak merapi. Namun di tengah perjalanan, kabut mulai nampak lagi, dan angin mulai kencang, tapi tanggung sudah setengah perjalanan pikir kami. 

Perjalananan sudah sejauh ini, sangat sayang apabila kami gagal. Hingga akhirnya setelah jalan pasir, batu kami lalui kami sampai juga di Puncak Merapi pada pukul 16.00. 

Kami harus menunggu panji dan jamal sehingga mereka sampai diatas. 15 menit kemudian Panji dan Jamal sampai juga di Puncak Merapi. Selamat kawan!

Tak lama , tiba-tiba hujan mengguyur kami, tepat jam 16.30 kami memutuskan turun. Sekarang giliranku dan mas Danis yang memBack-up panji dan Jamal.

Mereka berlima turun lebih dulu. Hujan yang begitu deras memaksaku untuk menitipkan Tas yang aku bawa ke pada Mas Danis, di dalam tas itu ada Beberapa HP yang sebelumnya dititipkan kepadaku. 

Saya berada di depan jamal untuk mencarikan jalur yang aman untuk dilalui. “Lewat kanan ae! dalane enak!” (lewat kanan saja, jalannya enak). Itu adalah kata-kata terakhirku sebelum akhirnya ada badai yang menghempasku jatuh.


Awal Mula Terpisah Dari Rombongan

Jatuh! Ya saya jatuh tersungkur dan terperosok pasir dan kerikil, kurang lebih sama dengan Ian (Saykoji) waktu jatuh di film 5 cm. 

Agak lama saya terjatuh hingga, sempat ling lung, dan pusing. Saya lihat ke belakang, hanya kabut yang saya lihat, jarak pandangku tak lebih dari dua meter.

Saya teriak: "Mas Danis!" Namun tak lebih kencang untuk mengalahkan suara angin kala itu! 

Saya jongkok, untuk melihat jalanan (terhalang kabut). Saya kira, saya tetap berada di jalur yang benar, namun sudah tertinggal karena tadi sempat terjatuh. Dan saya harus sampai pasar bubrah sebelum waktu petang!

Saya berdiri, ternyata sandal gunung sebelah kiri putus. Saya lepas dan tinggalkan di tempat itu. Saya berjalan cepat. Namun sial, lagi-lagi ga bisa menjaga keseimbangan karena hempasan angin. Lagi-lagi saya terjatuh. 

Saya terkejut kala itu karena angin benar-benar kencang, membawa terbang batu-batu seukuran lebih besar dari kelapa. Saya putuskan tidak berdiri karena beresiko terkena batu-batu itu. 

Sampai akhirnya batu berukuran lebih dari 2 X ukuran bola basket mengenai punggungku. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali batu itu tidak menghantam Kepala.

Ya Alloh.. Saya tersesat! Ya saya tersesat, Sendirian, di Gunung Merapi. Saya berlari ke bawah menghindari batu-batu yang terbang itu.

Hingga akhirnya sampai di tempat yang mirip pasar Bubrah. Mirip? Ya Mirip sekali, namun saya hanya berputar ditempat itu. Dan saya sadari! Itu bukan Pasar Bubrah. 

Seolah-olah tidak ada jalan, saya duduk di sebuah batu menenangkan diri. Berpikir bagaimana saya bisa keluar dari sini dan kembali ke Rumah di Surabaya.

Saya melihat kala itu ada jalur seperti sungai, namun gak ada air sama sekali, sepertinya bekas sungai. Ya! Pikirku kala itu, Jalur sungai pasti ujungnya ada pemukiman / perkebunan warga. BISMILLAH!

Saya akan memilih jalur itu. Berbekal Victorinox, Botol Air Mineral 600ml (ada isi air 1/4 botol). Sandal cuma sebelah kanan saja, kain sarung saya lilitkan di kepala, mirip jaman kecil kita dulu bermain ninja-nijaan. 

Pakaian yang saya pakai kala itu adalah kaos batik, bergambar plesetan wayang yang bermain gitar. Celana SMA, dan Baju Almamater HISTALA 7 (Himpunan Siswa Pecinta Alam SMAN 7 Surabaya) organisasi yang kucintai sampai sekarang ini meski sudah 6th jadi alumni.


Survival Hari Ke-1

Jalan yang kulalui berbatu sangat tajam, terasa menusuk telapak kaki kiriku. Mungkin saat itu sekitar pukul 5.30an, saya tidak tahu pasti. Yang jelas matahari mulai menghilang, berganti shift kerja dengan sang Rembulan. 

Saya sampai pada ujung jalan! Ya ternyata dibawahku adalah tebing, meskipun Cuma sekitar lima meter (ga tau pastinya keadaan sudah gelap), tapi benar-benar extrim bagiku. Dimana gak ada perangkat safety apapun, dan penerangan saat itu hanya cahaya dari Sang Pencipta, terima kasih Bulan. 

Saya turuni tebing itu dengan segenap tenaga dan kemampuanku, yap sampai di bawah dengan selamat, namun yang gak selamat adalah sandal gunungku yang kanan! 

Kembali menelusuri jalur bekas air, namun sekarang tanpa alas kaki apapun. Saat itu, saya merasa ada yang mengikutiku, namun saat kulirik betapa terkejutnya.

Sepertinya saya melihat batu kerikil yang melayang di dasar tebing tadi. Ah, mungkin hanya perasaan saja.

Saya terus melanjutkan langkah kaki. Tuhan! Cobaan apalagi sekarang, hawa dingin benar-benar terasa saat itu ditambah rintik-rintik air kini ikut menemani perjalananku.

Jalan, terus berjalan saat itu, tanpa makanan. Terakhir makan adalah jam 8.30 tadi pagi. Sisa air minum tinggal ¼ botol. Letih ditambah medan yang sangat sulit ketika dilalui dalam kondisi cahaya seperti ini. 

Istirahat, itulah yang pernah kudapat ketika dulu belajar ilmu tentang survival. Saya harus menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan di hari esok.

Saya melihat ada batu besar sekali dan ada cekungan di bawahnya dan ada batu yang lebih kecil seolah mengganjalnya agar tak jatuh, dan istirahat di dalamnya. Resiko ketika itu adalah, kapanpun batu itu bisa saja jatuh. 

Menangis! Ya saya akui, kala itu saya menangis sekencang kencang nya. Mama, keluarga, semua teman-teman yang ikut tadi, Afi, Panji, Danis, Andik, Sigit, Al, Yayan. Saya sayang kalian! Saya gak mau kalian nangis karena saya. Jadi saya harus selamat!

Setelah saya mampu menenangkan pikiran dan hati, saya minta kepada Alloh, ya Alloh, sampaikan kepada ibuku, mama, aku tidak apa-apa. Saya akan selamat sampai Surabaya! Hingga akhirnya saya pun terlelap tidur.


Survival Hari Ke-2

Esok pagi saya terbangun oleh cahaya matahari. Saya tidur menghadap Timur dan terbangun ketika matahari terbit. Yah dengan doa saya melanjutkan perjalanan. berikutnya.

Saya minum sisa air yang tinggal dua tutup botol. Saya putuskan untuk menampung (maaf) air seniku untuk bertahan hidup, karena saat itu tidak ada air tanah sama sekali, batu-batu tidak menampung sedikitpun air.

Saat itu saya putuskan mencoba naik lagi ke Puncak Merapi, setelah batu-batu an yang benar-benar tajam dan tebing yang tak bisa kulalui untuk kembali turun ke Jalur Selo. Saat itu juga kuputuskan untuk kembali ke jalur antah–berantah tadi. 

Saya coba untuk memakan vegetasi yang ada di sekitar batuan , namun sial hanya gatal yang aku dapat di lidah. Sesuai dengan yang aku pelajari dulu, bahwa jika di lidah gatal = beracun, ya sudah saya tidak melanjutkan. Hanya minum yang ada di botol ini selama perjalanan.

Sedih, bingung, sedikit rasa takut yang menemaniku sepanjang perjalanan. Kakiku mulai perih siang itu, darah mengalir dari telapak kaki. Saya usap dengan sarungku. Terlintas ide untuk merusak sarungku menjadi alas kaki. Tidak ada lagi rasa eman (sayang) meskipun setiap jumat sarung ini yang kugunakan.

Meskipun sedih, takut dan lain-lain, namun jujur saja, saya sangat takjub saat itu melihat jurang dan tebing yang benar-benar luar biasa. Alloh! sungguh Indah ciptaan Engkau.. Ah sayang tidak ada kamera / HP yang digunakan untuk mengabadaikan moment ini.

Sore mulai menjelang, seperti mendapat “Jackpot” saya lihat ada genangan air di atas batu, yang cukup untuk tiga teguk. Alhamdulillah, terima kasih Alloh untuk Air ini. Mohon maaf ya teman-teman hewan yang minum ini, sekarang saya benar-benar butuh. 

Perjalanan saya lajutkan ke arah Timur ini dan, Subhanallah, saya melihat pemukiman warga, meskipun masih jauh tapi saya bersyukur.

Yah, saat hari sudah mulai sore, lagi-lagi saya terpesona dengan keindahan batuan di tebing-tebing Merapi, melewatinya dan bersyukur banyak air melimpah di bebatuan yang menampungnya.

Hanya melihat sesosok unggas berbulu putih seukuran itik hinggap di batu yang berjarak kurang lebih limapuluh meter dari tempatku mengumpulkan air. Apakah elang yang ada di hadapanku? Benar,itu Elang Jawa rupanya. 

Pikiranku yang kala itu di kendalikan oleh perut, benar-benar gelap mata dan mengendap-endap di belakangnya. Aku buka victorinoxku, pikirku paling tidak aku harus dapatkan telurnya.

Semakin dekat dan mendekatlah aku pada sarang itu, namun aku terkejut, ternyata sang Elang Putih itu sedang menyuapi anak-anaknya, ALLOH, hati saya benar luluh--Gak tega, bener-benar tak tega melihat keluarga bahagia itu. 

Victorinox saya tutup kembali, namun saya kembali takjub akan alam Merapi, ternyata si Induk melihat keberadaanku dengan jarak sekitar 10–5 m, namun bukan seperti yang dibayangkan si Induk akan marah dan menyerangku, malah dia seolah membiarkan ku melihat keindahan bulunya. Oh Tuhan terima kasih, seandainya aku membawa kamera/ HP saya bisa berbagi dengan semua.

Lalu seolah saya lupa waktu karena melihatnya. Saya sadar bahwa saya sedang tersesat, dan harus kembali berjalan. Sampai jumpa kawan, semoga kau dan anak-anak mu sehat selalu dan tetap berada di alam tanpa gangguan manusia yang tidak bertanggung jawab. 

Saya melihat ke atas, seolah-olah ada jalan setapak. Saya gembira sekali ternyata sudah bertemu dengan jalur manusia. Saya usaha semampunya untuk kesana, namun saya terkejut, jalur ini bukanlah jalur manusia, jejaknya jejak binatang. 

Oh Tuhan, jika saya ke sana hanya dua pilihannya, saya yang memakan hewan-hewan itu, atau saya yang jadi santapannya. 

Saya putuskan kembali ke jalur yang tadi. Saya harus bersiap karena sebentar lagi bulan akan menggantikan matahari. Saya harus mencari tempat berteduh, bertahan hidup malam ini, istirahat untuk menyimpan tenaga. 

Saya temukan batu namun tidak sebesar kemarin, dan hanya bisa menampung badan saja, kakiku tetap diluar. Ah tidak apa, tidak mendung cuacanya, tapi alam berkata lain. 

Malam itu hujan deras, cukup lama juga saya bertahan dalam keadaan basah dan dingin. Oh tuhan, cobaan apa lagi ini, saya seolah melihat kabut tebal, namun berbentuk manusia melayang ke arahku. Saya hanya bisa berdoa, setelah itu aku tertidur karena terlalu letih.

... Di dalam tenda, saya, Afi, Danis, dan Andik baru bangun. Dan seperti biasa Andik menyuruhku membuat sarapan untuk kami. Mereka tersenyum padaku. Saya membuka nesting dan memasak nasi dan telur untuk sarapan. Ketika saya makan, keadaan berubah! Saya terbangun karena saat itu aku muntah berkali – kali. Dan saya sadar, terbangun dari mimpi yang indah ...

Istighfar, hanya itu yang saya mampu dikatakan saat itu. Saya paksa tubuh untuk mampu terlelap lagi dengan kondisi yang ada.


Survival Hari Ke-3

Paginya saya bangun. “Ah...ini saatnya melanjutkan perjalanan”. Namun sebelumnya saya mengumpulkan air dari hujan semalam“. Hikmah hujan semalam, gumamku sambil tersenyum.

Berbicara sendiri, menyanyi dan seolah berbicara dan memohon kepada Alloh itu adalah hiburan yang ada saat itu. Benar kata orang yang mengalami nasib sama denganku saat sendiri dan tersesat di hutan. Kita akan merasa sangat butuh berkomunikasi, atau kita akan mengalami gangguan mental.

Setelah botol terisi dengan air, walaupun tidak sampai penuh. Saya lanjutkan lagi perjalanan. Hingga saya dihadapkan dengan tebing yang sangat amat curam dibanding tebing-tebing kemarin. Kedalaman antara 100-150m. 

Oh tuhan, saya tidak sanggup. Saya orientasi medan saat itu mencari jalan lain untuk sampai di dasar tebing. 

Setelah beberapa menit perjalanan saya istirahat, kebetulan saya melihat WALANG (bahasa jawa = belalang). saya tangkap, dan meminta maaf, sambil dan mematahkan kaki dan kepalanya. Kemudian saya telan mentah-mentah. Lumayan lah, dan saya bisa dapat dua ekor.


Teman-temanku Sudah Lapor Kepada TIM SAR

Pagi itu setelah sarapan walang. Saya dengar ada gemuruh kaki orang dan beberapa ada yang berbicara. 

Ya, saya yakin itu manusia. Saya teriak sekuat tenaga. “Tolooooooong”! 

Mereka menjawab “Rico?”, tanya mereka mengkonfirmasi apakah itu benar-benar saya. 

"Ya Pak", jawabku. Salah satu dari mereka memberi instruksi. 

"Cari tempat terbuka dan Lambaikan Kain ke arah Utara"! Posisi mereka ada di atas ketinggian sekitar 100-150m dari tempatku berada.

Setelah melihat posisiku lalu saya disuruh mencari tempat berteduh, dan tidur untuk menunggu beberapa menit sampai mereka tiba tempatku.

Setelah tertidur, sayup-sayup saya dengar suara panggilan dari Tim SAR, yang sekarang saya kenal dengan sebutan Mbah Gondrong, nama aselinya Agus Santosa. 

Tim SAR datang dan memberiku air minum dan Roti isi Coklat. Tubuhku belum mampu menerima makanan dan aminuman, dan muntah berkali-kali. 

Tim SAR bilang, "teruskan saja sampai tubuhmu nerima makanan, berarti kamu sudah siap melanjutkan perjalanan." Jam 1 siang, mereka bertanya, "Apakah sudah siap?" Saya jawab "ok". 

Sebelum jalan kita foto dulu, kata TIM SAR lain yang saya kenal sekarang, namanya Mas Misdi. 

Saya ganti celana abu-abu SMA yang sudah hancur dengan celana RAIN COAT milik TIM SAR. Memakai full body harness, dan dikaitkan dengan tali webbing yang disambung-sambung hingga panjang. Naik dari bawah ke atas dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. 

Cuaca saat itu sedang turun hujan. Saya diberi rain coat oleh salah satu dari Tim SAR. 

Saya dan Tim SAR naik ke atas, di mana mereka pertama kali menemukanku, dan setelah sampai di atas, saya baru tau ternyata itu adalah jalur pendakian merapi via Deles. Di dekat Pos II Deles. 

Sepanjang perjalanan saya dihibur oleh TIM SAR dengan saling bercanda. Ketika di tengah perjalanan kami break sejenak.

Saya terkejut mendengar penjelasan TIM SAR, bahwa saya adalah korban ke-3 yang selamat dari tempat ditemukan tadi. Survivor yang lainnya meninggal dunia. Innalillahi....


Kembali Pulang Ke Surabaya

Sekitar jam dua siang, saya sampai di jalur pendakian deles. Di sana saya dirawat oleh TIM SAR, ganti baju, diberi minyak gandapura, diberi makan Mie Instan dan Air Hangat, “Terima Kasih “, ucapku lemah. 

Kami lalu melanjutkan perjalanan ke POS Deles. Akhirnya pada pukul delapan malam kurang lebih, kami tiba di POS Deles. Sudah ada Mobil Ambulance dan Afi yang menungguku. 

Kami langsung menuju Rumah Sakit Cakra Husada Klaten. Setelah itu di RS, saya dirawat. Tak lama kemudian saya dengar suara ibu. Ternyata keluargaku menyusul dari Surabaya ke klaten. 

Tangis haru menyelimuti ruangan itu, di sana ada Kakak, Paman dan teman-temanku. Hanya ibuku yang tersenyum dan memelukku sambil berkata, “Mama yakin kamu selamat”. 

Setelah infusku habis kami berpamitan dengan TIM SAR yang baik hati dan tulus menolong tanpa mengharapkan apapun. Kami pun kembali pulang ke Surabaya.

MERAPI! Terima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini. Seumur hidup tak akan pernah saya lupakan.

Terima kasih TIM SAR Boyolali dan KLATEN. Terima kasih pada TNI yang bekerja sama dengan Tim SAR.

Terima Kasih WALANG. Matur Nuwun Sanget Mbah Gondrong, Mas Misdi, Mas Gimar. Dan semua yang telah menolong saya.

Saya gak akan melupakan jasa-jasa mereka semua. Terima kasih sekali lagi Merapi. Sampai jumpa lagi.




Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Minggu, 20 April 2014

Catatan Perjalanan Gunung Lawu (Cemoro Sewu) Juli 2011

Salam Rimba ...

Sudah lebih 10 tahun Aku vakum dari dunia pendakian gunung dikarenakan lagi sibuk di dunia kerja dan keluarga. Terakhir kali tahun 2001 mendaki Gunung Buthak di sekitaran Kabupaten Malang waktu Aku masih kuliah di Kota Malang. Entah mengapa di awal-awal tahun 2011 keinginan mendaki gunung begitu kuat tumbuh kembali di benak kepalaku ini. Keinginan yang terus menggebu-gebu langsung kuutarakan pada Istriku yang dulunya juga sama-sama suka mendaki gunung. Mungkin memang sama sama sehobi kali, keinginanku langsung disetujuinya dan Dia juga pengen ikut serta.

Memasuki Bulan Juli 2011 kubuat rencana perjalanan ke Gunung Lawu, dan setelah melengkapi segala peralatan dan persiapan yang matang segera perjalanan kangen aroma gunung dimulai.
Minggu ketiga masih dibulan Juli 2011 Aku, istriku dan temanku akhirnya mendaki Gunung Lawu lewat jalur Cemoro Sewu. 

Gunung Lawu yang mempunyai ketinggian 3265 MDPL berada di wilayah perbatasan antara Jawa Timur (Magetan) dan Jawa Tengah (Karanganyar). Bagi masyarakat Jawa, Gunung Lawu adalah tempat yang paling dikramatkan. Banyak petilasan dan makam makam peninggalan kerajaan Majapahit, bahkan sampai sekarang Gunung Lawu merupakan tempat yang tak terpisahkan secara spiritual bagi Keratonan Solo. Di sisi lain gunung ini terkenal akan suhu dinginnya lebih dingin diantara gunung-gunung lain di Jawa dan terdapatnya bunga Edelweiss berwarna ungu jika kita beruntung menemukannya.
Setelah 7 jam perjalanan naik turun bus sampailah Tim kecil ini di terminal Tawangmangu Karanganyar, lanjut naik mobil omprengan untuk menuju Base Camp Cemoro Sewu.


Di Cemoro Sewu ngurus ijin masuk yang kena biaya 5000 rupiah per kepala,  istirahat sejenak sambil repacking ulang dan melengkapi logistik seperlunya. Sehabis Dhuhur berangkatlah Tim kecil ini mulai menyusuri jalan setapak di jalur Gunung Lawu jalan dengan gaya santai maklum sudah nafas tua.



Jalur masih cukup landai dengan batuan yang telah tertata dengan rapi, jalanan seperti ini akan kita temui sepanjang jalur pendakian sampai kita tiba di daerah Sendang Drajat. Hutan pinus cukup lebat menemani perjalanan awal, setelah berjalan 60 menit kita akan melintasi ladang penduduk dengan tanaman berbagai macam sayuran. Bila ingin menambah persedian air, terdapat sumber mata air Sendang Panghuripan tempatnya 50 meter ke arah kanan setelah ladang penduduk.


Jalur pendakian sedikit demi sedikit akan semakin menanjak seiring kita memasuki kawasan hutan. Berjalan kembali kurang lebih 30 menit kita bertemu dengan pos 1. Disini terdapat warung yang menyediakan kebutuhan makanan para pendaki. Disinilah keunikan dari gunung lawu kita tidak perlu membawa banyak logistik karena banyaknya terdapat warung sepanjang jalur, dan yang paling terkenal adalah Warung Mbok Yem dekat Argo Dalem.

Beranjak dari pos 1 jalur menanjak curam telah menanti kita. Jalur Cemoro Sewu ini memang cukup berat, jalur berupa tangga tangga batu. Perlahan lahan berjalan kita akan sampai di pos Watu Jago.


Berjalan kembali sekitar 90 menit kita akan sampai di pos 2. Dataran cukup lebar bisa untuk mendirikan tenda dan bermalam tetapi tidak terdapat sumber mata air di pos ini.

Selepas pos 2 jalanan akan semakin menanjak dengan kemiringan yang cukup curam, disini fisik dan kaki benar benar diuji. Berjalan sekitar 60 menit kita akan menjumpai pos 3.


Selepas jalur pos 3, jalanan semakin menjadi jadi dengan tanjakannya, menurut kami ini adalah jalur terberat di jalur cemoro sewu ini,dan membutuhkan waktu sekitar 90 menit. Dan disini terdapat pos 4 yang luasnya sangat sempit tidak cocok untuk ngecamp.



Perlahan lahan berjalan sekitar 30 menit kita akan keluar dari lingkupan hutan yang menandakan akan segera sampai di Pos 5 yaitu Sendang Drajat. Pemandangan lepas nan indah, awan bergulung di bawah kaki kita, kota kota bak mainan kecil di hadapan megah semesta raya. Pos Sendang Drajat adalah salah satu yang bisa kita jadikan tempat untuk mendirikan tenda dan bermalam. Disini terdapat mata air, warung, sebuah goa buatan kecil, dan toilet.

Bermalam di Sendang Drajat kita dapat melanjutkan perjalanan menuju puncak Lawu. Berjalan kurang lebih 60 menit kita akan segera sampai di puncak Lawu dengan nama puncaknya Hargo Dumilah. Ada beberapa jalur untuk menuju Hargo Dumilah, kami melewati jalur sisi barat. Jalur cukup curam dengan kiri kanan pohon cantigi dengan selingan indah bunga edelweiss.

Puncak Lawu atau Puncak Hargo Dumilah dengan ditandai dengan sebuah tugu, disini kita dapat menikmati pemandangan indah. Awan bergulung di bawah bagaikan samudra, Gunung Wilis dan Arjuna terlihat di sisi timur. Gunung Merapi dan Merbabu tampak berdiri gagah di sisi barat.





Setelah puas menikmati pemandangan di puncak kita langsung turun dan istirahat sebentar di Sendang Drajat untuk sarapan pagi dan bongkar tenda. Sejam kemudian kita langsung turun pulang lewat Cemoro Sewu kembali. Perjalanan turun sekitar 3-4 jam itupun dengan jalan santai.

Tiba di Base Camp langsung bersih-bersih badan, makan siang lanjut pulang ke rumah. Tengah malam sampailah di rumah dengan selamat dan badan pegal-pegal kecapaian. 

Selesai.

Semoga bermanfaat