Selasa, 11 Desember 2012

Gerakan Perlawanan Rakyat Nusa Kendeng Menentang Korporasi Tambang


Oleh Sariman Lawantiran

Berbicara tentang kekayaan alam, masyarakat Jawa memang memiliki Pegunungan Kendeng Utara yang terletak di bagian utara Pulau Jawa. Seperti legendanya yaitu seekor ular naga raksasa yang sangat besar, pegunungan ini melewati batas-batas administratif daerah yang ada. Liuk tubuhnya membujur dari Barat ke Timur melingkupi Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Jawa Tengah sampai Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur.

Pegunungan yang terbentuk pada masa Meosen Tengah - Meosen Atas atau kurang lebih 25 juta tahun yang lalu berdasarkan skala waktu geologi tersebut merupakan lipatan perbukitan yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Fenomena karst di pegunungan Kendeng Utara ini tercermin melalui banyaknya bukit-bukit kapur kerucut, munculnya mata-mata air pada rekahan batuan, mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong goa sebagai koridornya. Meskipun sangat kering di permukaannya, namun di bagian bawah daerah ini banyak ditemukan sumber-sumber mata air seperti sungai bawah tanah di mana air keluar melalui retakan batuannya.

Terkait dengan rencana pendirian pabrik semen di 4 (empat) kabupaten yaitu: PT. Sahabat Mulia Sakti / PT. Indocement di Pati, PT. Vanda Prima listri di Grobogan, PT. Imasco Tambang Raya di Blora dan PT. Semen Gresik / PT. Semen Indonesia di Rembang, rasanya perlu mendapat perhatian kita bersama. Karena ketika berbicara tentang pegunungan Kendeng maka kita berbicara tentang kawasan karst; ketika kita berbicara tentang kawasan karst berarti kita telah membicarakan daerah batuan karbonat seperti batu gamping dan Dolomite yang memiliki bentuk sangat khas berupa bukit, lembah dan goa. Kawasan itu ada di pegunungan Kendeng Utara. Potensi yang sangat beragam ini tentunya akan mengalami kerusakan apabila tidak ada pemahaman dan kesadaran tentang pelestarian lingkungan dari kita bersama. Kekurangperhatian dari pemerintah daerah terkait pengelolaan kawasan karst yang berada di daerahnya dan pola pikir investor yang hanya mengedepankan manfaat langsung tanpa mengindahkan aspek kelestarian lingkungan jangka panjang akan sangat mempercepat kehancurannya.

Sekarang telah kita sadari bersama bahwa penambangan secara liar maupun legal sudah terbukti berdampak buruk pada sosial dan lingkungan. Ini menjadikan pegunungan Kendeng yang dulu potensial menjadi kawasan lindung, maka saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Dari apa yang telah dilakukan selama ini tentunya sudah bisa kita rasakan bersama sekarang. Pembabatan vegetasi karst mengakibatkan erosi, berkurangnya kesuburan tanah dan debit sumber air karst. Penggalian batu gamping untuk dibakar menjadi kapur, dan saat ini pegunungan yang ada terus menerus dieksploitasi untuk kebutuhan perusahaan-perusahaan. Ditambah dengan rencana perusahaan semen yang akan menggerus sisi-sisinya di 4 (empat) kabupaten yang ada jelas akan membawa akibat semakin menyusutnya debit sumber air karst, hilangnya keindahan dan keunikan lansekap karst hasil bentukan alam selama jutaan tahun, perubahan iklim setempat, hilangnya beragam spesies satwa liar, berkurangnya lahan pertanian, pengotoran lingkungan oleh debu dan polusi asap yang meningkatkan penyakit saluran nafas. Dan jika dibiarkan dalam waktu dekat sumber daya batu kapur akan hancur total atau habis, menyisakan lahan rusak, gersang, tidak dapat ditanami, masyarakat kehilangan mata pencaharian, menyebabkan pemiskinan total warga setempat, dan pada akhirnya masyarakat daerah pegunungan Kendeng Utara diangkut ke luar Jawa untuk ditransmigrasikan.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Nasional menyatakan bahwa kawasan karst masuk dalam areal Kawasan Lindung Nasional. Padahal kita semua tahu bahwa kawasan lindung mustinya harus dilestarikan dan tidak dapat ditambang. Ini adalah regulasi yang mengatur dan melarang penambangan di kawasan karst pegunungan Kendeng. Namun, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 - 2029 mengatakan hal yang berbeda, di mana pada pasal 80 tertulis bahwa: Kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan batubara berlokasi di: daerah Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus;

Siapa yang bermain? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dipermainkan dan menjadi korban?

Pertanyaan lainnya, bagaimana investor dan masyarakat memaknai hakikat kesejahteraan? Apa dampak positif yang dijanjikan seperti penyerapan tenaga kerja serta perluasan usaha lainnya? Apakah dampak negatif seperti bencana kekeringan, rusaknya lingkungan dan semakin menyusutnya debit sumber mata air hingga mengakibatkan kekeringan dan pada waktu musim penghujan terjadi banjir di banyak kabupaten juga menjadi pemikiran kita?

Sebetulnya jika kita mau berkaca dan belajar pada pengalaman, rasanya kesaksian di bawah ini sudah cukup menjelaskan bagaimana dampak pabrik semen bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitarnya:

"Hampir 70 persen janji yang diberikan pabrik semen kepada masyarakat semua itu bohong. Pembangunan pabrik semen yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Janji manis yang pernah disampaikan pada saat akan mendirikan pabrik semen tidak seperti apa yang dibayangkan. Mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata itu hanya isapan jempol. "(Edi Thoyibi, seorang warga yang tinggal dekat lokasi pabrik PT. Semen Gresik di Tuban, Jawa Timur)

Pembangunan yang selama ini dilakukan umumnya masih didasarkan atas perhitungan-perhitungan ekonomi. Perhatian masih kurang untuk kepentingan kelestarian ekologi serta sosial. Akibatnya penurunan kuantitas dan kualitas terus berlanjut. Berbagai masalah sosial dan bencana alam pun terus terjadi seiring dengan menguatnya cengkeraman dan hisapan sistem neoliberalisme yang berkedok kemajuan bangsa. Kenyataan yang ada membuktikan bahwa kegiatan industrialisasi telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan, mulai hilangnya mata air, polusi udara, polusi suara dan berkurangnya vegetasi, degradasi keanekaragaman hayati, rusaknya situs sejarah serta terkuak pula kebohongan-kebohongan perusahaan yang pada awalnya menjanjikan hal yang sama, yakni kesejahteraan masyarakat dan peningkatan ekonomi namun faktanya menyatakan sebaliknya, yaitu menciptakan kerusakan lingkungan hidup dan kemiskinan global.

Selama semua pihak masih memandang kawasan karst dari segi ekonomi dan sektoral, maka laju pengrusakan kawasan karst tidak akan terkendali. Sangat tidak diinginkan jika pemerintah daerah yang dipilih oleh masyarakatnya lebih mendambakan penghasilan jangka pendek, apalagi jika sampai berhasil diiming-imingi oleh investor pertambangan berupa retribusi besar untuk peningkatan pendapatan asli daerah tanpa sedikitpun menyadari bahwa jenis pertambangan itu memiliki jangka waktu eksploitasi. Janji peningkatan pendapatan asli daerah adalah omong kosong besar. Meskipun ada hal itu tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Hanyalah segelintir elit politik yang akan mendapatkan keuntungan. Setelah bahan tambang habis, pemerintah daerah hanya mewarisi lingkungan alam yang gersang, porak poranda, masyarakat yang bertambah miskin dan berpenyakitan.

Pertambangan yang menjadi ujung tombak dalam sektor industri telah menjadi bencana bagi ras manusia. Hal tersebut telah nyata menjadikan manusia sebagai obyek keterasingan dan memicu kerusakan terbesar pada lingkungan alam. Tidak hanya itu, pada skala lebih tinggi akan terjadi kekacauan sosial dan kehancuran global.

Untuk menghindari bencana yang lebih besar ada beberapa hal yang penting untuk segera dilakukan yaitu menghentikan praktek-praktek lapangan yang dapat merusak keberlangsungan keanekaragaman hayati. Upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan membutuhkan peran siapa saja, baik itu dari pemerintah maupun dari masyarakat yang ada. Lalu, bagaimana menciptakan iklim investasi yang baik dan meningkatkan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat? Hal teknis dengan menggunakan nalar sehat yang musti dilakukan adalah dengan pembangunan ruang-ruang kerajinan yang padat karya, bukan padat modal; apalagi seperti pabrik semen yang mengeksploitasi sumber daya alam tak terbaharukan yang rawan bencana ekologi serta sosial.

Persoalan lingkungan hidup bukan merupakan isu tersendiri, melainkan merupakan bagian integral dari hidup yang berkelanjutan. Perubahan paradigma terhadap kawasan karst dari semua orang yang merasa hidup di atas bumi -hidup dari meminum air dan makan dari apa yang dikeluarkan oleh bumi ini- menjadi modal utama dalam menyelamatkan alam ini. Konservasi kawasan hutan termasuk flora dan fauna serta keunikan alamnya perlu dilakukan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Terpeliharanya kawasan konservasi seperti wilayah sumber mata air dan daerah aliran sungai merupakan bekal bagi kehidupan generasi yang akan datang.

Semenjak kurang lebih lima tahun yang lalu sedulur sikep bersama masyarakat Pati Selatan sudah memberikan tauladan perjuangan menyelamatkan bumi ini dari kehancuran. Mungkin apa yang dulu pernah dikatakan oleh Mbah Tarno (100 tahun) seorang sesepuh sedulur sikep Baturejo, Sukolilo ini bisa mengingatkan kita semua tentang apa makna dan laku perjuangan. "Lha iyo, iki mongko nek pabrik semen kuwi .. anggepku lho ... Sing tak pikir iki, awake sing dho ngaku pejuang. Sing diperjuangi iku opo? kok ono kapitalis ... Nek aku ngarani iki kapitalis. Lho kok dho dijarno iku ... Dadi iki ono kapitalis sing gawe pabrik semen. Lak bener yo, wo? Iyo, iku anggepku. Mulo dulurku sing ngaku pejuang, kuwi sing diperjuangi opo? "Terjemahannya kira-kira seperti ini: Lha iya, padahal ini kalau pabrik semen itu ... menurutku lho .. Yang saya pikir ini, kita yang mengaku pejuang, yang diperjuangkan itu apa? Kok ada kapitalis ... Kalau aku bilang ini kapitalis. Lho kok sama dibiarkan itu .. Jadi ini ada kapitalis yang membuat pabrik semen. Benar begitu, kan? Iya, itu menurutku. Maka saudaraku yang mengaku pejuang, itu yang diperjuangkan apa?

Para pecinta alam dan pejuang lingkungan, cobalah pergi ke sana dan lihat! Pegunungan Kendeng dan lingkungan karst yang sangat indah itu kini telah rusak. Hal yang perlu secara serius dilakukan untuk menyelamatkannya adalah dengan mengembalikan daya guna pegunungan tersebut sebagai hutan lindung dan sumber mata air yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Mari bersama kita tumbuhkan kesadaran dan berpartisipasi untuk menghijaukan dan melestarikan pegunungan ini agar kembali dapat memberi manfaat positif bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Saatnya menanam, bukan menambang; dan bagian langsung dari dukungan penyelamatan lingkungan hidup ini salah satunya adalah dengan menghentikan rencana pembangunan pabrik semen di daerah pegunungan Kendeng Utara. Karena melihat kenyataan yang ada sangatlah jelas di sini ada rencana terselubung dan upaya permufakatan jahat untuk menghancurkan bumi pertiwi ini. Maka selain distribusi ilmu pengetahuan dan pendidikan kritis diperlukan aksi nyata penyelamatan pegunungan Kendeng untuk kelestarian kehidupan hari ini dan generasi mendatang.

SELAMATKAN Pegunungan Kendeng UTARA DARI KEHANCURAN!

SELAMATKAN SUMBER-SUMBER MATA AIR DAN spesies SATWA SERTA KEANEKARAGAMAN HAYATI DARI ANCAMAN PERUSAHAAN TAMBANG!

TOLAK PABRIK SEMEN YANG AKAN DIBANGUN DI EMPAT KABUPATEN!

TOLAK RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009-2029 YANG TIDAK BERPIHAK KE MASYARAKAT DAN ALAM LINGKUNGAN!

Enyahlah KALIAN SEMUA PT. SMS / Indocement, PT. VANDA PRIMA listri, PT. IMASCO TAMBANG RAYA DAN PT SEMEN GRESIK DARI BUMI NUSA Kendeng!

PANJANG UMUR PERLAWANAN SAUDARA-SAUDARA DI JARINGAN MASYARAKAT PEDULI Pegunungan Kendeng UTARA WILAYAH KUDUS, PATI, GROBOGAN, BLORA DAN REMBANG!

BERSAMA TURUN JALAN DI AKSI MASSA 121212, GEDUNG DPRD PROPINSI JAWA TENGAH, SEMARANG, Rabu Kliwon, 12 DESEMBER 2012 mulai sekitar pukul 09.00 WIB!

LAWAN SEGALA BENTUK kesewenangan PARA BIROKRAT YANG berselingkuh dengan para pemodal KORPORASI TAMBANG!
 

Senin, 10 Desember 2012

Hasil Penelitian Sesar Aktif Dan Kegempaan Wilayah Semarang, Rembang Dan Cilacap Jawa Tengah

Lokasi penelitian seismotektonik daerah Rembang pada citra Landsat (RGB 457)

Tahukah kalian bahwa Kabupaten Rembang juga termasuk daerah rawan bencana gempa meski skalanya kecil. Untuk lebih jelasnya silahkan baca dan cermati artikel dibawah ini semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan pembaca semuanya.

Penelitian Sesar Aktif dan kegempaan (Seismotektonik) meliputi wilayah Semarang dan sekitarnya pada koordinat 110 ° - 110 ° 30 'BT dan 6 ° 50' - 7 ° 30 'LS. Daerah Rembang pada koordinat 110 ° - 111 ° 30 'BT dan 6 ° 20' - 7 ° LS, dan Cilacap pada koordinat 109 ° - 109 ° 30 'BT dan 7 ° 30' - 7 ° 50 'LS. Daerah Semarang dan sekitarnya termasuk dalam wilayah administratif Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang. Daerah Rembang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Rembang, sedangkan daerah Cilacap termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap.

Daerah Semarang, Rembang dan Cilacap memiliki karakter tektonik serupa yaitu merupakan implementasi dari gaya tektonik Jawa yang berarah relatif utara-selatan. Daerah Cilacap memiliki intensitas tektonik lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Semarang dan Rembang. Berdasarkan penelitian neotektonik tersebut di atas dapat ditentukan empat perioda neotektonik sejak 2000 tahun yang lalu dengan perioda ulang 500 tahun yang ditandai dengan terbentuknya empat seri gosong pantai. Daerah Semarang dikontrol oleh kolom seismotektonik sesar mendatar mengiri Gajah Mungkur-Rawa Pening dan kolom seismotektonik sesar naik selatan Semarang, serta kolom seismotektonik sesar turun Kali Garang. Daerah Rembang dikontrol oleh kolom seismotektonik sesar naik Lasem. Daerah Cilacap dikontrol oleh seismotektonik sesar mendatar mengiri Serayu, dan kolom seismotektonik tunjaman selatan Jawa.

Berdasarkan penilaian terhadap karakter seismotektoniknya wilayah Cilacap memiliki indeks bencana dan resiko lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Semarang dan Rembang. Nilai intensitas maksimum gempabumi wilayah Cilacap mencapai VIII - IX MMI, sedangkan daerah Semarang dan Rembang maksimum VII MMI.






Nah itulah penelitian sesar aktif dan kegempaan wilayah Semarang, Rembang dan Cilacap Jawa Tengah yang dilakukan oleh Pusat Sumberdaya Geologi (Badan Geologi ESDM) semoga bermanfaat.




Sabtu, 03 November 2012

Melacak Warisan Budaya Cina Di Lasem (3)

Kampung Pecinan Lasem

Masyarakat Cina di Indonesia pada umumnya dan masyarakat Cina di Lasem khususnya, telah sangat lama berinteraksi dengan masyarakat setempat. Interaksi dua budaya ini menimbulkan dampak yang luas yaitu telah terjadi percampuran atau asimilasi budaya yang cukup komplek. Salah satu dampak dari asimilasi budaya ini adalah bahwa masyarakat Cina terbagi dalam dua kelompok yaitu :
  • Cina Totok
Cina totok adalah orang Cina asli yang datang ke Indonesia sejak awal. Mereka menikah dengan wanita yang berasal dari negerinya (Cina asli). Meraka belum beradaptasi dengan budaya setempat dan masih melakukan tradisi serta kebiasaan dari negeri asalnya. Cina peranakan adalah orang Cina yang lahir dari perkawinan antara orang Cina (biasanya laki-laki) dengan penduduk setempat. Mereka sudah melakukan kebiasaan dan tradisi setempat dan menguasai bahasa setempat dengan baik serta menenpuh pendidikan di sekolah-sekolah Barat atau sekolah umum. Cina totok menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Cina yang didirikan khusus untuk mendidik masyarakat Cina dengan pendidikan model Cina.  
Golongan Cina totok yang merupakan pendatang dari Cina sejak awal, bermukim di pusat-pusat kota dalam kelompok rumah deret yang juga dijadikan sebagai tempat usaha. Dalam lingkungan masyarakat dan keluarga golongan Cina totok masih mengikuti pola tata masyarakat dan keluarga yang berakar dari negara asalnya. Ajaran Konfusius dan Tao secara tegas dilaksanakan untuk mengatur hubungan keluarga dan hubungan-hubungan sosial lainnya. 
Sistim kekerabatan dalam keluarga Cina totok adalah patrilineal. Dengan demikian kedudukan anak laki-laki menjadi sangat penting karena mereka sebagai penerus garis keturunan keluarga. Perlakuan terhadap anak-laki dan anak perempuan dalam keluarga Cina totok sangat berbeda. Anak perempuan dituntut berperilaku pasif, diam, lembut, penurut, melayani. Dalam usia dini anak perempuan sudah diperlakukan sebagai pihak yang harus tunduk pada tradisi. Suatu contoh adalah bahwa anak perempuan sejak kecil sudah diikat atau dibebat telapak kakinya agar tidak membesar kakinya. Kaki yang kecil oleh masyarakat Cina dianggap sebagai bentuk kaki yang indah dan dengan bentuk kaki yang kecil ini anak perempuan berjalan pelan dan lemah gemulai. Demi mencapai hal yang dianggap indah, kesakitan dan penyikasaan dalam waktu lama harus dialami wanita. Keindahan lahiriah diperlukan sebagai upaya untuk menyenangkan dan memuaskan para lelaki. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang apapun keadaan dirinya, selalu diterima oleh perempuan sebagai anugerah. 
Ketika anak perempuan menginjak usia remaja, gerak dan aktivitasnya di luar rumah mulai dibatasi. Aktivitas perempuan Cina dari golongan masyarakat Cina totok terbatas pada aktivitas di lingkungan rumah tangga dan keluarga. Dengan demikian pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah pendidikan yang terkait dengan ketrampilan mengurus rumah tangga dan pendidikan anak. Pada jaman dahulu aktivitas yang berkaitan dengan upaya pencarian nafkah hanya dilakukan oleh para suami. Saat ini di lingkungan masyarakat Cina Totok, aktivitas ekonomi juga dilakukan para istri dan anak-anak perempuan tetapi terbatas pada aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam rumah tangga. Aktivitas ekonomi yang dilakukan perempuan Cina menghasilkan/membuat barang-barang yang berkaitan dengan dunia perempuan, seperti makanan/minuman, barang kerajinan, pakaian dan lain sebagainya. 
Pada jaman dahulu hak untuk memilih dan menentukan teman hidup bagi perempuan Cina yang telah memasuki usia matang sangat terbatas. Perjodohan dan pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Sering terjadi kedua mempelai bertemu dan saling kenal pada saat pernikahan. Saat ini boleh dikatakan sangat jarang perkawinan dan perjodohan yang diatur oleh orang tua. 
Perempuan Cina setelah menikah harus tunduk, patuh dan setia kepada suami dan keluarga besarnya. Ia harus tinggal bersama dalam satu rumah dengan keluarga suami. Dalam aktivitas keluarga besar suami, perempuan Cina bertugas melayani seluruh anggota keluarga besar dan menjaga harmoni hubungan antaranggota keluarga. Kedudukan perempuan Cina dalam keluarga juga sangat lemah. Ia dapat saja diceraikan atau dimadu oleh suaminya karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus keluarga. 
Dalam keluarga Cina totok terjadi ketidakadilan dalam pembagian waris. Warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan tidak mendapat warisan karena setelah menikah ia akan mengikuti dan masuk dalam keluarga suaminya.  Demikian juga dalam tradisi merawat abu jenasah leluhur serta melakukan sembayang pemujaan, hanya menjadi kewajiban anak laki-laki, terutama anak laki-laki tertua.
  • Cina Peranakan 
Masyarakat Cina peranakan merupakan masyarakat Cina moderat, karena pergaulannya dengan masyarakat yang lebih heterogen dan banyak dari mereka yang telah menempuh pendidikan barat. Masyarakat Cina peranakan walaupun masih memegang teguh sistim kekerabatan patrilineal, tetapi mereka memandang kedudukan anak perempuan sama pentingnya dengan anak laki-laki. Dengan demikian tidak ada perlakuan istimewa untuk anak laki-laki. Kemungkinan terjadinya perceraian karena istri tidak dapat melahirkan anak laki-laki sangat kecil. 
Anak perempuan juga mendapat hak untuk mengenyam pendidikan seperti anak laki-laki. Banyak anak-anak perempuan Cina peranakan yang menempuh pendidikan barat. Pendidikan telah merubah kedudukan perempuan Cina yang semula terkungkung dan tidak dihargai menjadi perempuan yang sangat potensial dan maju. Pendidikan membawa dampak pada lingkungan masyarakat Cina peranakan yaitu bahwa kekuasaan politik, ekonomi dan sosial terbagi rata antara laki-laki dan perempuan. Tradisi pingitan dan pemilihan jodoh oleh orang tua tidak berlaku lagi di lingkungan masyarakat Cina peranakan. Perempuan Cina di lingkungan masyarakat Cina peranakan dapat menentukan sendiri teman hidupnya dan setelah menikah ia dapat menentukan tempat tinggalnya sendiri. Ia dapat tinggal di rumah suaminya (patrilokal), di rumah keluarganya sendiri (matrilokal) atau di rumah pribadi (neolokal).
Dalam hal hak waris, anak perempuan mendapat hak waris sama besarnya seperti anak laki-laki. Demikian juga dalam hal merawat abu jenasah leluhur dan pelaksanaan pemujaan leluhur, anak perempuan juga diberi hak dan kesempatan.  
Sikap demokratis dalam keluarga Cina peranakan sangat menonjol. Tidak ada pembagian yang tegas dalam tugas yang harus ditangani laki-laki atau perempuan. Laki-laki (ayah) dapat melakukan tugas-tugas domestik yang meliputi tugas kerumahtanggaan dan perempuan (ibu) dapat melakukan tugas-tugas di luar rumah. Yang lebih diutamakan dalam keluarga adalah keharmonisan lahir dan batin.  
Secara umum di Lasem saat ini tidak tampak perbedaan yang terlalu menyolok antara golongan masyarakat Cina totok dan Cina peranakan. Hal ini dapat dimaklumi karena setelah sekian abad menetap di Indonesai maka keturunan masyarakat Cina totok sudah berasimilasi dengan masyarakat setempat dan kehidupannya tidak ekslusif lagi. 
Keberhasilan di bidang ekonomi dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain etos kerja yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakar Cina, kebijakan pemerintah Belanda pada jaman penjajahan, kebijakan pemerintah Indonesia pada jaman setelah kemerdekaan dan kondisi lingkungan setempat.

Etos kerja yang hidup dalam lingkungan masyarakat Cina dipengaruhi oleh kepercayaan Confucius. Ajaran Confucius menyebutkan bahwa realitas kehidupan di dunia harus benar-benar dilaksanakan dan diamalkan sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis, adil, yang akan membawa masyarakat pada kehidupan yang ideal. Ajaran Confucius menekankan penghormatan kepada keluarga, terutama kepada orang tua dan nenek moyang. Bila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang harmonis, maka dapat diharapkan kehidupan masyarakat luas juga akan tenteram dan damai. Bakti dan penghormatan kepada orang tua dan keluarga dihubungkan dengan upaya untuk mensejahterakan seluruh keluarga, yang harus dilakukan melalui kerja keras. Bakti dan penghormaran anak kepada orang tua salah satunya diwujudkan dengan prestasi kerja/karya yang baik. Dengan demikian kita melihat bahwa ada hubungan antara ajaran Confucius dengan keluarga dan kerja, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Hubungan Antara Ajaran Confusius, Kerja dan Keluarga

Kerja keras bagi masyarakat Cina identik dengan upaya untuk membahagiakan orang tua dan leluhur, yang balasannya adalah pahala dan kesejahteran abadi di akherat kelak. Selain itu ajaran Confucius juga mengajarkan kesederhanaan, sikap hemat, disiplin, tekun dan teliti, yang kesemuanya sangat menunjang keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Indonesia.

Kemajuan dan keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina ditunjang oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memberi mereka peran sebagai pedagang perantara dan status sebagai warga Timur Asing yang kedudukannya lebih tinggi dari status pribumi. Pada perkembangan selanjutnya orang-orang Cina diberi peran yang cukup besar dalam kegiatan eksport dan perdagangan dalam negeri. Kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda ini mengakibatkan orang-orang Cina lebih siap dalam persaingan perdagangan ketika pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia. Pemberian status sebagai warga Timur Asing berdampak pada sikap superior dan ekslusif orang-orang Cina, sehingga dalam aktivitas ekonomipun mereka membentuk jaringan antar sesama warga Cina.

Selain itu bisnis yang dilakukan oleh orang-orang Cina mempunyai ciri khas, yaitu sebagian besar bisnis mereka adalah bisnis keluarga, yang modalnya hanya berputar di antara keluarga dan keteurunan-keturunannya. Pihak-pihak di luar keluarga dan di luar kelompok masyarakat Cina sangat sulit masuk dalam bisnis yang dikelola oleh orang-orang Cina ini. Bisnis yang demikian ini merupakan benteng keluarga dalam upaya melindungi diri dari serangan atau intervensi pihak-pihak luar.

Walaupun sesungguhnya keberadaan masyarakat Cina di Lasem sudah sangat lama, tetapi perjuangan mereka dalam menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat Indoseia masih terus berlangsung. Budaya masyarakat Cina yang beraneka warna menjadi sumbangan besar bagi pengembangan budaya Indonesia. Pemahaman mendalam terhadap golongan masyarakat Cina perlu diupayakan terus menerus sebagai upaya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan di bumi Indonesia.

Perbedaan budaya hendaknya dimaknai sebagai keanekaragaman dan kekayaan dari budaya Indonesia secara keseluruhan, bukan sebagai sumber konflik atau faktor pemisah antara masyarakat Cina dengan masyarakat Indonesia, sebab bagaimanapun masyarakat Cina adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai peran di bidang sosial budaya, ekonomi dan politik.

Potensi masyarakat Cina Lasem di bidang sosial budaya, ekonomi hendaknya digali dan dikembangkan untuk tujuan pendidikan, pelestarian budaya, peningkatan pendapatan, yang kesemuanya akan menjadi aset daerah dalam pengertian yang luas.

Selesai

Sumber : Artikel Dra. Titiek Sulyati, M.T. (Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jateng) 2009

Jumat, 02 November 2012

Melacak Warisan Budaya Cina Di Lasem (2)

Landscape Lasem Pada Tahun 1880

Sebagai kota kerajaan Lasem pada awalnya adalah kota dagang yang cukup ramai. Perkembangan Lasem sangat ditunjang oleh penguasa yang berhasil menciptakan kondisi yang mendukung keamanan dan kenyamanan aktivitas perdagangan. Selain itu kondisi geografis yang sangat strategis yaitu terletak di antara dua ibukota propinsi dan memiliki sungai yang memadai untuk sarana angkutan niaga ke wilayah pedalaman, menjadikan Lasem sebagai tujuan utama para imigran untuk mencari penghidupan dan menjadi pilihan sebagai tempat bermukim.

Pada awal perkembangannya, yaitu sekitar abad XIV Lasem memiliki dua pusat kota yang merupakan pusat aktivitas, yaitu keraton sebagai pusat pemerintahan dan Pecinan yang terletak ditepi kali Lasem sebagai pusat perdagangan. Pecinan sebagai kawasan perdagangan juga berfungsi sebagai pemukiman masyarakat Cina. Perkembangan pemukiman masyarakat Cina diikuti dengan pembangunan kelenteng sebagai sarana untuk melakukan ibadah dan pemujaan kepada leluhur dan T’ian, serta untuk aktivitas sosial dan budaya. 

Pecinan dan kelenteng adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Pecinan adalah sebutan untuk kawasan pemukiman masyarakat Cina dengan ciri khas budaya dan tradisi dari negara asal mereka. Kelenteng adalah bangunan untuk peribadatan dan pemujaan dewa-dewi dalam kepercayaan atau agama Tri Dharma (Tao-Konfusius-Budha). Selain sebagai tempat peribadatan, kelenteng berfungsi sebagai media ekspresi untuk menampilkan eksistensi budaya masyarakat Cina.

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa, pada masa awal pembentukan kawasan Pecinan sampai saat ini, identitas/citra kawasan Pecinan adalah kelenteng-kelenteng yang terdapat di kawasan tersebut. Demikian pula sebaliknya, lokasi tempat kelenteng berdiri berada di sekitar pemukiman masyarakat Cina (Pecinan).

Sebutan kelenteng untuk bangunan tempat ibadah masyarakat Cina, sulit ditelusuri asal-usulnya. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa, sebutan kelenteng berasal dari bunyi genta kecil maupun besar yang digunakan sebagai perlengkapan peribadatan, yang berbunyi “klinting-klinting” atau “klonteng-klonteng”. Sebagian lagi berpendapat bahwa kelenteng berasal dari kata “Yin Ting” atau “Guan Yin Ting”, yang artinya tempat ibadah Dewi Kwan Im.

Masyarakat Cina di Indonesia umumnya dan di Lasem khususnya, dalam membangun pemukiman dan bangunan-bangunan lain berpegang pada prinsip pengaturan tata ruang yang selaras dengan lingkungan sekitar. Konsep tata ruang dalam tradisi Cina adalah feng shui atau hong shui. Feng adalah angin dan shui adalah air. Jadi pengertian feng shui adalah konsep pengaturan tata ruang yang menyelaraskan kondisi lingkungan dengan aliran udara (angin) dan air yang ada di sekitar kita. Latar belakang penerapan feng shui pada tata ruang kawasan Pecinan dapat kita lihat pada elemen yang terkait dengan struktur alamiah yang sudah terbentuk dan menjadi bagian dari kawasan tersebut seperti sungai, tanah atau lokasi dan elemen-elemen bangunan yang diwakili oleh bangunan rumah tinggal, bangunan toko, bangunan kelenteng dan jalan.

Diperkirakan pada abad XVII aturan-aturan feng shui telah diterapkan untuk mengatur tata letak kelenteng, rumah tinggal maupun ruko (rumah-toko). Kelenteng sebagai tempat pemujaan dewa-dewi memiliki keistimewaan dalam fungsi dan makna. Oleh sebab itu elemen-elemen yang terdapat dalam kelenteng mengandung makna-makna simbolik yang mewakili unsur yin-yang. Ciri yang menonjol pada kelenteng adalah :

  • Penggunaan warna merah yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang), biru/hijau yang melambangkan pertumbuhan dan perkembangan (berunsur yang), putih yang melambangkan kesucian dan kesempurnaan (berunsur yin), kuning melambangkan keseimbangan (berunsur yin-yang) dan hitam melambangkan kemunduran/kehancuran/kematian (berunsur yin). 
  • Terdapat patung-patung atau lukisan binatang yaitu antara lain burung phoenix merah /burung hong yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang) serta menunjukkan arah selatan, naga hijau yang melambangkan kekuatan/keperkasaan serta menunjukkan arah timur, kura-kura hitam melambangkan kemuraman/kesedihan dan menunjukkan arah utara, macan putih melambangkan kemapanan/ketenangan/kemandirian dan menunjukkan arah barat.
Hubungan antara simbol warna, arah/posisi dan binatang dapat kita lihat pada tabel di bawah ini : 

Binatang
Warna
Posisi
Unsur
Kura-Kura
Naga
Phoenix
Ular
Macan
Hitam
Hijau
Merah
Kuning
Putih
Utara
Timur
Selatan
Pusat
Barat
Air
Kayu
Api
Tanah
Logam

Kelenteng di berbagai kawasan Pecinan di Indonesia menjadi land mark atau tengeran dan bahkan dapat menjadi identitas kota, karena kelenteng dibangun dengan aturan dan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan bangunan rumah tinggal masyarakat Cina lainnya.

Bangunan kelenteng dan rumah tinggal di lingkungan komunitas Cina, tidak terkecuali di kota Lasem mengacu pada konfigurasi lingkungan alam sekitar ( letak gunung, perbukitan, sungai dan dataran landai ) seperti berikut: 
  • Kedudukan arah utara (kura-kura) yang dilambangkan sebagai pelindung harus berupa perbukitan yang kokoh. Bila lokasi kawasan atau bangunan rumah/kelenteng tidak berada pada daerah perbukitan, maka gunung atau bukit dapat digantikan dengan posisi pepohonan atau gedung- gedung bertingkat yang ada di lokasi tersebut. 
  • Kedudukan arah timur (naga) harus berupa pegunungan yang kokoh dan luas. Pada situasi yang tidak memungkinkan kondisi seperti tersebut di atas, posisi naga harus lebih kokoh atau lebih menonjol dibandingkan posisi macan/harimau, karena naga bersifat yang dan macan bersifat yin. 
  • Kedudukan arah selatan (burung phoenix) harus berupa tanah yang landai dan luas.
Konfigurasi tata letak bangunan yang baik menurut feng shui dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1 .Tata Letak/Posisi Rumah Yang Baik Menurut Feng Shui
Gambar 2. Konfigurasi Kawasan Yang Baik Menurut Feng Shui

Di Lasem terdapat tiga kelenteng yang letaknya berdekatan dengan sungai Lasem yaitu kelenteng Cu An Kiong yang terletak di Jalan Dasun No.19 Lasem, kelenteng Gie Yong Bio, yang terletak di Jl. Babagan No.7 lasem dan kelenteng Poo An Bio, yang terletak di Jl. Karangturi VII/13, Lasem. Melihat nama-nama kelenteng yang mengandung kata Bio dan Kiong, maka dapat disebutkan bahwa kelenteng-kelenteng yang ada di Lasem adalah kelenteng Tao atau Confusius dan kelenteng marga. Kelenteng-kelenteng tersebut juga dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan pendiriannya, yaitu kelenteng umum dan kelenteng marga.

Letak kelenteng yang berdekatan dengan sungai mengandung multi makna yaitu :
  • Dalam kepercayaan masyarakat Cina, air merupakan unsur yang penting. Air dalam pengertian ini adalah air yang terbentuk secara alami, seperti sungai, danau, air laut, air terjun dan sebagainya. Unsur air alami yang ada di sekitar kawasan Pecinan adalah sungai/kali Lasem, yang oleh masyaarkat Cina juga dipercaya mempunyai kaitan dengan feng shui. Dalam konsep feng shui air yang harmonis akan menciptakan energi atau chi yang baik, yang akan membawa keberuntungan pada manusia yang ada di sekitarnya. 
  • Sungai pada masa itu merupakan sarana transportasi air yang sangat efektif untuk jalur niaga dan distribusi barang dari wilayah pedalaman ke kota dan sebaliknya.. Kawasan di sekitar sungai pada akhirnya menjadi bandar niaga yang ramai dan sebagai hunian komunitas Cina.
Keberadaan kelenteng di Lasem tidak hanya merefleksikan aktivitas spritual dan kepercayaan masyarakat Cina di Lasem, tetapi juga merupakan refleksi seluruh aktivitas budaya, sosial, ekonomi dan politik masyarakat Cina. Dinamika budaya masyarakat Cina di Lasem meninggalkan jejak keindahan yang memperkaya budaya Indonesia secara keseluruhan, baik budaya yang bersifat fisik maupun budaya non fisik.
Klenteng te Lasem bij Rembang tahun 1880


Bersambung.......

Sumber : Artikel Dra. Titiek Sulyati, M.T. (Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jateng) 2009

Kamis, 01 November 2012

Melacak Warisan Budaya Cina Di Lasem (1)

 Lasem / Topographisch Bureau tahun 1887

Nama Lasem sudah terkenal dari sejak pertengahan abad XIV. Pertama tercatat sebagai kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit, yang diperintah oleh seorang ratu kerabat raja Hayam Wuruk yaitu Ratu Dewi Indu atau lebih dikenal dengan Bhre Lasem. Kedua, Lasem sering disebut sebagai miniatur negeri Cina karena di sana terdapat beberapa kelenteng dan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina dan aktivitas budaya masyarakatnya yang masih kental dengan pengaruh budaya Cina. Ketiga, masyarakat Cina di Lasem yang jumlahnya cukup besar mampu berasimilasi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat dan etnis lainnya serta mampu menciptakan karya-karya budaya yang khas.

Terbentuknya komunitas Cina di Lasem melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dengan hubungan dagang antara kerajaan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada sekitar awal abad ke-5 Masehi. Hubungan dagang ini tentu melibatkan kota-kota pesisir yang ada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kota-kota di pesisir utara Jawa yang menjadi tempat persinggahan dan pemukiman para pedagang Cina yang paling awal antara lain Tuban, Lasem, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Jakarta dan lain sebagainya.

Pada masa pemerintahan dinasti Ming yang berlangsung tahun 1368 – 1643, orang Cina dari Yunnan semakin banyak yang melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah di luar Cina termasuk Indonesia dengan tujuan untuk melakukan perdagangan. Pada perkembangannya kemudian kekuasaan Dinasti Ming berusaha memasukkan wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam wilayah protektoratnya. Salah seorang yang mendapat mandat untuk memimpin armada laut untuk melakukan perjalanan ke Indonesia adalah Cheng Ho. Dari tujuh kali pelayarannya ke Indonesia, Cheng Ho melakukan enam kali pelayaran ke Jawa.
sumber pict internet
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia pada umumnya dan di wilayah pesisir utara Jawa khususnya, sebagian besar berasal dari propinsi Fukien/Fujian dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda, yang nantinya dikembangkan di tempat baru (Indonesia). Orang Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang Hakka/Khek berasal dari daerah yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena kesulitan hidup. 

Di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia mereka merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat . Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain di Jawa. Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup, sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya.

Selain suku-suku tersebut di atas, ada beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu, Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan, Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya kecil, tetapi menyebar hampir di setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor, Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah. Masyarakat Cina Lasem diperkirakan sebagaian besar berasal Kabupaten Zhangzhou, propinsi Fujian, karena pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng di propinsi Fujian.

Sejarah panjang keberadaan masyarakat Cina di Lasem memberikan warna dan keunikan terhadap bentuk dan struktur kota Lasem. Demikian pula adaptasi masyarakat Cina Lasem dengan penduduk setempat maupun dengan penduduk dari etnis lain telah memberi warna terhadap budaya dan aktivitas masyarakat Cina khususnya dan masyarakat Lasem pada umumnya. Tulisan ini mengupas tentang perkembanagn budaya Cina di Lasem yang memiliki keunikan yang dapat dijadikan sebagai identitas daerah.

Bersambung........

Sumber : Artikel Dra. Titiek Sulyati, M.T. (Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jateng) 2009