Dengan bertubinya bencana alam menerjang negeri ini, kita didesak lebih berpikir dan bertindak secara arif terhadap alam atau lingkungan tempat kita berpijak dan mencari rezeki.
Itu karena terjadinya bencana alam umumnya disebabkan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Jadi, kesadaran mengenai perlunya kelestarian lingkungan harus dijadikan bagian dari kehidupan keimanan kita sebagai makhluk religius atau umat beragama.
Pertanyaannya, mengapa alam atau lingkungan kita kian rusak dan bencana pun tidak henti-hentinya menerjang negeri ini? Soal alam atau lingkungan kita yang kian rusak, itu tidak lain karena pemikiran teologi kita selama ini yang cenderung membenarkan hubungan “eksploitatif” antara manusia dan alam.
Manusia seperti memiliki kebenaran mutlak untuk menguasai alam demi kepentingan hidupnya. Itu seolah alam semesta ini hanya diciptakan untuk kepentingan manusia semata, bukan untuk dirinya (alam) sendiri.
Dengan demikian, kita lupa bahwa sesungguhnya kita memiliki spiritualitas yang mumpuni, pemikiran keagamaan, dan teologi yang andal soal tujuan penciptaan alam semesta, yang bukan semata-mata untuk manusia, tetapi juga untuk dirinya (alam) sendiri. Itu yang tidak boleh dicaplok begitu saja oleh manusia untuk kepentingannya, tanpa memperhatikan kelestariannya.
Dalam hal ini, pemikiran teologi kita yang menempatkan manusia sebagai pusat harus dicairkan. Itu dengan mengembangkan pemikiran teologi yang menempatkan seluruh ciptaan sebagai saudara yang saling membantu dan melengkapi.
Teologi Lingkungan
Dengan demikian tercuat pertanyaan, dari perspektif mana sebuah teologi dibangun dan dikembangkan, terutama yang menyangkut teologi lingkungan? Pertanyaan ini harus dielaborasi lebih dulu dengan menegaskan, kerusakan lingkungan yang terus terjadi berefek langsung pada munculnya bencana alam yang tiada henti.
Itu telah mendorong kita melihat bahwa teologi lingkungan saat ini perlu dihadirkan kembali untuk menggugah semangat umat manusia di bumi dalam mencapai soteriologi rumah tangga dunia.
Landasan epistemologis dari teologi lingkungan adalah kesadaran agama-agama bahwa krisis lingkungan sudah sangat parah saat ini sehingga bencana alam pun terus menerjang umat manusia.
Hal tersebut bukan semata problem “sekuler”, melainkan juga merupakan problem “religius” atau problem “teologis”. Kesalahan pemikiran teologislah yang mendorong manusia mendominasi, menguasai, dan mengeksploitasi alam tanpa batas, bahkan dengan sangat serakah.
Ini dinilai dari cara pandang umat kristiani abad pertengahan, tentang posisi manusia dengan alam. Pandangan itu menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, semua ciptaan lain harus tunduk kepadanya. Jadi, teknologi pun dikembangkan sebagai sarana eksploitasi alam dengan alasan demi kesejahteraan dan kemakmuran manusia.
Untunglah dalam perkembangan kemudian, ketimpangan cara pandang itu perlahan tapi pasti dirombak. Penekanan yang berlebihan tentang kemahakuasaan Tuhan dalam monoteisme yang menjadi landasan legitimasi eksploitasi alam diubah dengan menempatkan Tuhan sebagai penjaga, perawat, pemelihara, dan pelindung lingkungan (Tuhan yang ekouniversal).
Mandat budaya untuk menguasai alam tidak lagi dipahami dalam koridor manusia sebagai penakluk dan penguasa alam, tetapi sebagai titipan kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan memeliharanya.
Perspektif lingkungan dalam Alkitab (Kejadian) tidak bisa lagi dibaca dan dipahami secara berat sebelah dengan menekankan pada penguasaan manusia pada segenap ciptaan lainnya. Kata “penguasaan” dan “penaklukan” dalam Alkitab (Kejadian) harus lebih diartikan sebagai kekuasaan merawat, memelihara, dan melindungi.
Setelah diciptakan, manusia ditempatkan di Taman Eden. Itu tidak lain harus dimengerti dalam suasana merawat dan memelihara segenap ciptaan di Bumi. Jadi, Alkitab juga tidak dinilai sebagai kitab yang tidak peduli lingkungan, tetapi justru sebaliknya, sebagai kitab yang peduli lingkungan.
Jadi, pengembangan teologi lingkungan peduli pada alam yang menempatkan manusia sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta perlu digemakan dan dibumikan. Penggemaan dan pembumian teologi lingkungan ini bertujuan mendekonstruksikan dan menguji kembali sikap iman kita terhadap lingkungan dan atau alam semesta. Itu demi tercapainya keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Etika Pemihakan
Kini, tidak ada jalan lain bagi segenap umat beragama selain segera dan terus-menerus membangun pemikiran teologis yang mampu memberikan sumbangan dan berperan serta dalam tanggung jawab etis di bidang penyelamatan lingkungan. Pengendalian diri dalam pengeksploitasian alam atau lingkungan dinilai dari lahir dan berkembangnya pemikiran serta semangat itu.
Dalam hal ini, manusia zaman ini perlu mengkaji dan mempelajari lagi pemikiran teologi yang berkembang selama ini, yang terpengaruh pemikiran teologi Barat, terutama abad pertengahan.
Itu dengan kembali menempatkan manusia dalam posisi yang memiliki tanggung jawab moral dan etis dalam relasi dengan kosmos atau alam semesta. Dalam dimensi etis, manusia harus berpihak pada alam atau lingkungan dengan selalu bersikap bijak dalam berelasi dengan alam atau lingkungan, tempat ia berada, berpijak, dan berelasi.
Hal yang dibutuhkan kini adalah pembangunan etika baru yang memosisikan manusia dalam berelasi dengan alam. Itu karena objek hidup, seperti alam dan dunia, tidak akan ada dan berubah kecuali di dalam persepsi si subjek, manusia. Itu dalam penempatan diri secara tepat dan benar di tengah alam.
Jika manusia salah memosisikan dirinya dan menempatkan alam sebagai objek yang harus dikuasai, kemudian alam pun dieksploitasi, alam akan berbicara atas dasar tindakan manusia itu. Jika alam dirusak terus-menerus, tentu bencana alam datang sebagai tindakan protes alam terhadap manusia.
Artinya, perlu etika pemihakan pada alam atau lingkungan sebagai bentuk implementasian pemikiran teologi di atas. Itu adalah perangkat etika yang mampu dengan cerdas memihak alam dan atau lingkungan.
Itu etika yang memberi kepedulian, perlindungan, sekaligus perawatan terhadap alam dan lingkungan, etika yang mampu mencegah arogan dan dominasi manusia yang tidak bertanggung jawab atau tidak bertindak etis terhadap alam dan lingkungan.
Dengan demikian, alam dapat terbebaskan dari kerusakan yang lebih parah. Itulah yang disebut sebagai etika pemihakan. Kita tidak bisa lagi hanya terpaku dan membisu, atau hanya sebagai penonton yang pasif di tengah eksistensi alam yang tidak henti-hentinya digerogoti dan dirusak sehingga bencana alam terus menerjang negeri ini.
Semoga bermanfaat
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar