Minggu, 23 Februari 2014

Bencana dan Konsep Tata Ruang

Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Tanah Air, baru-baru ini memunculkan seruan bernama “tobat ekologis”. Yaitu, bertobat atas segala dosa-dosa yang dilakukan terhadap lingkungan hidup. Bencana perlu dijadikan bahan renungan bagi semua warga bangsa tentang bagaimana mencegah dan menyikapi bencana serta membangun solusi untuk keluar dari persoalan bencana ini.

Bencana mengingatkan tentang fenomena memprihatinkan sekaligus menantang terkait masih banyaknya daerah-daerah di Indonesia yang belum menyelesaikan rencana umum tata ruang dan wilayah. Padahal, hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah. Sebagai akibatnya, pembangunan lebih dari 400 infrastruktur terbengkalai dan banyak potensi yang tak bisa dimanfaatkan.

Padahal dengan tata ruang, kegiatan pembangunan di berbagai sektor akan terarah. Suatu daerah akan dengan sangat jelas terpetakan ruang-ruang di dalamnya. Kawasan A, misalnya, cocok untuk kegiatan pertanian budidaya, kawasan B cocok untuk hutan produksi, kawasan C (permukiman), kawasan D (pengembangan industri), kawasan E (ruang terbuka hijau – RTH) dan sebagainya. Dengan demikian, kegiatan investasi pun akan dengan jelas pula terpetakan, sementara keberlanjutan ekologis juga tetap terjaga. Problem lingkungan yang sering muncul di era otonomi daerah adalah akibat daerah tidak memiliki konsep tata ruang yang jelas.

Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada kabupaten dan kota dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Dengan demikian jelas bahwa soal penyusunan tata ruang, “bola panas” itu ada di pemerintah daerah (kabupaten/kota). Pertanyaannya, mengapa hingga kini banyak daerah belum memiliki konsep tata ruang?

Pertama, aparat di daerah belum memiliki perspektif yang utuh tentang pentingnya tata ruang. Kegiatan penyusunan tata ruang pun belum dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan.

Kedua, aparat di daerah belum mau bekerja “sedikit lebih keras”. Memang, pekerjaan menyusun konsep tata ruang selain membutuhkan keilmuan yang memadai, juga memerlukan komitmen dan kerja keras dalam menghasilkan konsep tata ruang yang berkualitas. Kebiasaan aparat pemerintah daerah lebih suka berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administratif membuat penyusunan tata ruang hampir tak tersentuh.

Ketiga, kurangnya kreativitas aparat pemda (termasuk anggota DPRD) dalam pelaksanaan pembangunan secara lebih kritis dan rasional. Ada gejala cukup menonjol di hampir semua pemerintah kabupaten/kota bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh sentralistik. Mereka pun lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya.

Keempat, aparat di daerah kurang “percaya diri” untuk menyusun tata ruang daerah. Pekerjaan menyusun tata ruang pun diserahkan begitu saja kepada konsultan. Sebenarnya tidak salah menggaet konsultan untuk penyusunan tata ruang, tapi jangan menyerahkan sepenuhnya, sementara pemerintah daerah sebagai tuan rumah yang tentu lebih mengetahui jati diri dan seluk-beluk daerah dengan segala potensinya justru tidak melibatkan diri sama sekali.

Berbagai kondisi tersebut masih harus diperparah dengan belum tersusunnya kelembagaan yang efektif di daerah serta belum terbangunnya sistem dan regulasi tentang aparatur pemerintah daerah yang jelas dan tegas. Otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan suatu iklim daerah yang kondusif, termasuk dalam penyusunan rencana tata ruang. Maka, berbagai upaya dalam meningkatkan kapasitas aparat pemda perlu dilakukan. Bagaimanapun komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai.

Pertama, tingkat sistem, berupa penyusunan peraturan perundang-undangan daerah (perda), pedoman dan standar kompetensi sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah, sistem rekruitmen, pola karir, dan sistem reward, serta kebijakan dan pengaturan kerangka kerja yang relevan. Khusus untuk sistem reward perlu mendapatkan penekanan karena sistem ini akan mendorong aparat pemerintah daerah untuk akrab dengan risiko dan tidak takut gagal.

Kedua, tingkat kelembagaan, berupa penataan struktur organisasi, proses pengambilan keputusan dan prosedur lain, sistem informasi manajemen dan hubungan antar organisasi.

Ketiga, tingkat individual, berupa pengembangan kompetensi, keterampilan dan kualifikasi individu, pengetahuan, sikap, etika dan motivasi. Arah pengembangan diprioritaskan pada terwujudnya kompetensi dalam pelayanan publik, pengembangan ekonomi lokal, keuangan daerah, dan investasi. Pada tingkat individu ini perlu adanya penekanan tanggung jawab individual. Hal ini penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan akuntabilitas.

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat sangat diperlukan mengingat masyarakat adalah pelaku yang secara konsisten ataupun tidak konsisten dalam pemanfaatan ruang. Berbagai elemen masyarakat pada dasarnya terlibat dalam pembangunan di daerah seperti administrator pembangunan, politisi, spesialis, teknisi, anggota kelompok tani, pedagang, pelaku bisnis, manajer perorangan, guru, anggota lembaga keuangan dan organisasi-organisasi lainnya. Kontribusi berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan dalam perencanaan tata ruang.

Akhirnya guna mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) dan sistem pembangunan yang berkelanjutan maka diperlukan suatu perencanaan yang matang, partisipatif dan transparan, terutama yang menyangkut potensi wilayah sebagai modal dasar bagi pembangunan.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar