sumber gambar |
Beritanya terpetik minggu kemaren ( Koran Pikiran Rakyat edisi 26 November 2013 ), ketika sebuah korban kembali jatuh. Sebuah organisasi Pecinta Alam Bramatala yang UKM nya STIEB di Bandung tikarnya harus digulung. Alasannya pada saat pendidikan dasar, ada siswa yang meninggal dunia.
Tentunya berita duka, seorang siswa meninggal dunia harus menjadi bahan pelajaran berguna bagi kita semua. Seharusnya menjadi bahan renungan, dan sekaligus menyampaikan salam duka bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Namun terlepas dari kedukaan tadi, sesungguhnya ada kalimat tanya dihubungkan dengan pembredelan organisasinya. Quo vadis sistem pendidikan nasional kita ?.....
Silahkan cek, semua organisasi PA yang tikarnya digulung oleh para pemegang otoritas pendidikan di negeri ini ( apalagi di tingkat SLTA ), adalah konon karena kegiatannya mengandung resiko, terlalu beresiko, begitulah alasannya. Saat resiko itu terjadi, seperti kecelakaan bahkan kematian, maka lembaga pendidikanlah yg kena getahnya. Salah satunya adalah “citra” lembaga menurun, akibatnya kekurangan mahasiswa, akibatnya lagi pemasukan keuangan akan seret. Lalu “bisnis” pendidikan akan layu dan mati.
Jadi wajar dalam pemikiran mereka, apapun yang berbau resiko harus dibuang jauh-jauh, karena hal itu akan menggoyang kemapanan citra. Sang “resiko” menjadi kartu mati yg harus dihindarkan, dan pelajaran untuk menjadi “safety player”, inilah yang tengah di “ajarkan” oleh para pemangku lembaga pendidikan tinggi. Sengaja kata “pengajaran” yg dipilih, karena pengajaran layaknya kursus, hanya berbicara dari pandangan teknis hardskills saja. Sebaliknya dengan sistem pendidikan, selain hardskills juga berisi wawasan softskills, yang kelak akan menjadi fondamen bari kerangka sistem nilai, sebuah “value system”.
Jadilah safety player, itu yang kami tolak. Bahwa basis pendidikan Pecinta Alam Indonesia bersumber dari kepanduan dunia. Saat pandu di pramuka kan, maka sejak itu pula organisasi PA tumbuh subur di negeri ini. Buku “Adventuring to Manhood” dari Lord Baden Powel of Gilwell menjadi rujukan sejak awal. Manhood bukan kejantanan dalam pemahaman macho yang kering dan ekspoitatif, namun lebih ke feminis yang bersahabat, ekologis serta nilai-nilai integratif.
Resiko hanya ada untuk dihadapi dan dikelola dengan baik. Resiko adalah alat untuk maju, resiko adalah stress yang positip, resiko untuk menaikan kesiagaan diri, resiko yang membuat seseorang tetap sadar pada kekinian dan kedisinian ( aktual dan faktual ). Resiko adalah kesempatan, resiko adalah harga yang pantas untuk dibayar demi kemajuan diri, dan bla bla bla lainnya. Saat lembaga pendidikan meng amputasi pelajaran tentang risk-taking, maka yg muncul adalah para safety-player, yang jumlahnya semakin bejibun di negeri ini.
Para safety player bicara tentang pengamanan diri, seluruh resiko ditiadakan jika perlu. Bahkan bukan hanya dirinya, namun sampai 7 turunan dia amankan. Berdiam di gedung dengan pagar tinggi, dengan sekuriti di gerbangnya, dan tentu saja dengan uang miliaran di depositonya. Lalu siapakah mereka ini ?. Tentu saja para birokrat teknokrat, yang notabene produk lulusan perguruan tinggi, yang saat ini banyak berurusan dengan KPK. Nampaknya mata kuliah “ how to become the safety player” sudah lebih mendarah daging.
Namun segelintir kecil para siswa dan mahasiswa tetap tak setuju dengan pendapat sang profesor. Mereka masih tetap konsisten untuk menjadi “risk taker” sekalipun nyawa yg menjadi taruhannya. Mereka ini yang menuruni jurang 500 meter saat pesawat Sukhoi jatuh di gn Salak. Mereka ini yang memunguti ribuan serpihan mayat saat tsunami di Aceh, tanpa mengindahkan belatung maupun kutu mayat. Mereka pula yang memobilisasi penduduk gn pepandayan, ditengah ancaman letusan sang dewa gunung. Dan jangan lupa mereka pula yang membawa kebanggan saat sang Saka Merah Putih ditancapkan di 7 puncak tertinggi di dunia ( the Seven Summit ), yang setidaknya telah dilakukan oleh 2 organisasi Pecinta Alam dan Pendaki Gunung dari Bandung, yaitu Wanadri dan Mahitala Unpar.
Pak profesor yg terhormat, kami lebih mempercayai ungkapan seorang pendahulu kami, yang berujar : “ A person who walk on the ridge burried deep in snow, a person who enter the forest and sleep on the meadow under the sky. Those persons will give their country, the indomitable spirit of the mountain. “ ….. Merekalah para pengembara, yang kelak akan menyumbangkan bagi negaranya “ketangguhan” layaknya sebuah gunung.
Sayang pelajaran tentang resiko dan ketangguhan itu, sekarang kembali harus di amputasi dalam sistem pendidikan kita. Sayang hanya safety player yang diajarkan, yang membuat para birokrat masuk penjara, dan membuat para generasi muda lebih suka bergerombol di mall-mall, hanya untuk memanjakan syahwat dugem serta hedonisme belaka… dan anak-anak negeri ini tak akan pernah kamana mana…!!!
Sekali lagi pak profesor, disinilah mungkin pencabangan jalan harus terjadi. Anda dengan jalan anda, dan kami tetap di jalan yg kami tempuh saat ini.
Jayalah Pecinta Alam Indonesia, negeri tetap menunggu baktimu….
Semoga bermanfaat
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar