Kisah nyata menjadi survivor, April 2006. Ketika itu siswa kelas XII sedang hiruk pikuk persiapan Ujian Nasional. Adalah rejeki yang melimpah bagi siswa kelas X dan XI untuk liburan selama kakak kelas sedang berjuang ujian. Termasuk saya yang masih kelas X pada tahun itu. Saya adalah salah satu siswa kelas X, SMA Negeri 1 Sidoarjo (Smanisda) yang juga anggota Pecinta Alam REKSA GIRI WANA (REKGIWA) angkatan ke-18. Sebagai anggota Rekgiwa saya dan teman-teman wajib mengikuti ekspedisi pendakian Pasca-diklatsar. Terpilihlah Gunung Welirang. Alasan utama memilih gunung ini karena libur sekolah cuma tiga hari dan lokasinya tidak terlalu jauh dari Sidoarjo.
Welirang menjadi gunung pertama yang saya jejaki. Di gunung ini pula saya tersesat selama tiga hari - dua malam seorang diri dan berusaha bertahan hidup tanpa peralatan dan logistik apapun. Hanya bermodal celana pendek, jaket, kaos dobel; lengan panjang dan pendek, sandal gunung, bala clava (kupluk), sarung tangan, slayer, botol air mineral kosong dan dompet dengan uang 25 ribu. Bisa dibayangkan usia saya masih 16 tahun baru kelas 1 SMA waktu itu. Dan selesai lepas dari masa SMA bisa kita rasakan sendiri bagaimana perubahan mental, ketenangan, karakter jika melihat diri (kita) sendiri ketika masa sekolah dulu.
Jum'at, April 2006
Semua anggota Ekspedisi Welirang berkumpul di halaman belakang sekolah, untuk persiapan, packing, pembagian logistik, dan keribetan pra-pendakian dan segala macamnya. Kami belasan anggota ekspedisi (lupa jumlah pastinya) ditunggu oleh sopir mobil pick-up alias mobil bak terbuka untuk menuju kaki Gunung Welirang via Jalur Tretes. Lebih kurang setengah jam sebelumnya, kami semua dihadiahi wejangan sama Cak Bonsai seperti yang saya ceritakan di awal. Antara pukul 20.00 - 21.00 kami berangkat ditemani langit berbintang dan bulan purnama, cuaca April 2006 sedang cerah.
Satu jam duduk di belakang mobil bak terbuka tibalah kami di Pos Perijinan, Tretes. Sebelum mulai pendakian Tim ekspedisi menjalankan sholat isya’ terlebih dahulu. Seingat saya, pendakian baru dimulai di atas jam 23.00 WIB dengan target sampai di Pos II, Kokopan, sebelum subuh. Rombongan mulai terpecah sejak Pos I, Pet Bocor, dengan formasi yang berubah-ubah. Cuma rombongan kami yang mendaki malam itu.
Ketika berada pada sebuah gugusan batu besar, saya duduk diatasnya dan bermaksud menunggu yang lain. Kondisi ketika itu mulai ngantuk hebat. Entah pada kondisi sadar atau tertidur saya merasa ada seorang wanita membawa tas yang duduk disamping. Saya anggap itu anak-anak yang lain. Tetiba saya dibangunkan oleh Mas Koko (alumni) untuk diajak jalan lagi, dan ketika saya tanya mana rombongan yang lain, ternyata saya yang paling depan. Entah tadi siapa, memang ada atau saya sedang mengantuk saja. Kemudian saya jalan lagi hingga ke Pos II, Kokopan, situasinya sudah banyak tenda yang berdiri.
Tiba di Kokopan, saya disambut gemericik sumber mata air, badan yang basah oleh keringat, menggigil karena angin malam jelang subuh yang sedang dingin-dinginnya, menunggu di sebuah warung (satu-satunya; yang masih ada hingga kini) kedatangan rombongan yang lain. Beruntung setengah jam kemudian semua rombongan yang terpecah datang, buka tenda, entah satu tenda isi berapa orang, rasanya sesak tapi hangat, sudah semua langsung lelap sampai pagi.
Sabtu, April 2006
Pagi ini Kokopan tak berkabut. Puncak Gunung Penanggungan terlihat jelas. Gubuk welit(rumbia) para penambang belerang ternyata juga dipenuhi pendaki yang tak membawa tenda. Matahari sudah meninggi ketika satu-per-satu anggota ekspedisi terbangun. Naluri manusia-manusia kelaparan segera merespon untuk mencari sarapan pagi. Pasang kompor, bikin sarapan. Sebelum pukul 09.00 tim sudah berkemas dan bersiap pendakian hari ke-dua.
Rute pendakian selanjutnya adalah Kokopan—Pondokan, yang merupakan pos terakhir sebelum ke puncak. Kondisi jalur harus membelah lebatnya pepohonan hutan. Jalur tersebut merupakan lintasan air ketika hujan. Tidak ada lagi jalur makadam, hanya menemui setapak sempit menanjak, pinus yang menjulang dan melipir di tepian jurang ketika kita menoleh ke kanan.
Seperti pendakian semalam, rombongan semburat formasinya. Saya berada di pecahan rombongan paling depan. Di tengah perjalanan. Ketika istirahat, Mas Hafid (alumni berambut gondrong kala itu dan sekarang) tiba tiba berkata: “Kalau naik gunung santai saja, dinikmati. gak usah terburu-buru, tunggu teman yang lain. Kasian itu banyak cewek yang ikut.” Ditutup dengan hisapan dalam-dalam rokok kretek.
Pada pendakian pertama ini, saya merasa kurang santai dan bisa dibilang egois atau entah apalah. Saya selalu meninggalkan rombongan besar di belakang. Prinsip awal, saya mendaki (jalan) sesuai kondisi fisik tubuh. Jalan, berhenti sebentar, jalan lagi. Ketika terlalu banyak berhenti mengikuti rombongan yang lain, takutnya stamina saya sendiri yang malah nge-drop. Niat saya yang lain ketika bisa sampai di camp selanjutnya secepatnya adalah tidur lagi, buka tenda, masak buat yang lain sehingga ketika rombongan anggota yang lain datang tinggal masuk tenda dan makan.
Jarum jam masih di bawah pukul 13.00 WIB, Odi, Mas Hafid dan saya menjadi rombongan pertama yang sampai di Pondokan. Kabut tipis mulai naik. Setelah dua jam tiga puluh menit lebih kemudian semua rombongan sampai di Pondokan. Ternyata sama saja, mereka juga tidur di tengah jalan. Maklum kami semua kurang tidur semalam. Bulan purnama bersinar terang malam itu. Kami tidur sudah lelap sebelum pukul sembilan.
Minggu, April 2006
Selamat pagi yang beku. Ya, tenda kami dilapisi kristal es tipis semacam es serut yang ditabur dari langit tadi malam. Rasanya malas sekali buat bangun. Saya dan tim berangkat lebih pagi kali ini sekitar pukul 08.00 agar tidak terlalu siang sampai di puncak. Pendakian ke puncak sepertinya lebih ringan, karena tidak perlu menggendong kulkas (baca: tascarrier) cukup air minum dan makanan ringan.
Pilihan ‘seragam’ buat saya pagi ini adalah celana pendek selutut, jaket jumper, baju rangkap 2, sandal jepit, sarung tangan dan balaclava (kupluk; sepertinya kupluk ini punya Anjar yang saya pakai) dan tanpa kaos kaki.
Bagi saya pecahan jalur setapak cukup membingungkan, tapi akhirnya jalur menuju satu titik, yakni Puncak Welirang. Interval formasi rombongan tidak terlalu jauh karena kami tidak membawa beban ransel. Siang itu sangat terik. 10.00 WIB akhirnya sampai juga perjuangan melelahkan pendakian ini, Puncak Welirang. Puncak pertama bagi saya dan keduabelas yang lain. Kalau belum lupa saya cuma bertahan setengah jam di puncak.
Puncak Welirang, 3166 mdpl
Logistik kami habis ketika sampai puncak. Padahal saya sendiri sedang haus berat dengan kondisi panas puncak yang seperti itu. Inilah kenapa saya harus turun duluan ke Pondokan. Nah, akhirnya si Odi Alfando juga punya inisiatif yang sama. Berjalanlah kami berdua turun duluan. Masih di sekitaran vegetasi puncak, ada botol air mineral kosong di tengah jalan. Sudah saya ambil saja, pikiran ketika itu lumayan buat ambil air di Pondokan. Entah kenapa kami berdua istirahat di depan jalur persimpangan setapak. Saya sempat ngobrol sama Odi kalau ambil kiri atau kanan sama saja, nantinya setelah turun satu—dua bukit, ketemu Pondokan lagi. Kemudian Odi jalan duluan, dengan mengambil jalur kiri. Saya masih istirahat karena mulai kepayahan dan haus. Setelah menghilang di semak, saya teriak dan masih ada balasan teriakan dari Odi, nah saya baru jalan lewat jalur yang sama.
Kondisi awal jalur yang saya lalui tersebut masih lebar dan normal menurut penglihatan saya. Lama-kelamaan semak semakin meninggi dan rapat. Entah kenapa saya masih jalan terus karena kondisi jalan yang menurun. Saya beranggapan turun dua bukit lagi pasti sampai Pondokan. Kondisi kehausan dan orientasi pikiran agar segera sampai Pondokan untuk air minum, kemudian saya tidak mengindahkan kondisi yang semakin tidak wajar.
Begitu sadar jalur semakin aneh, ketika menoleh ke belakang saya dihadapkan tebing terjal yang mulai membingungkan. Ternyata saya baru saja menuruni bukit yang bukan semestinya. Orientasi medan mendadak kacau. Ketika mau naik kembali persimpangan awal, badan mulai lemas untuk diajak menanjak. Ditambah lagi pikiran mulai bingung dengan kanan dan kiri jika mau kembali. Semak belukar ketika itu tingginya sepinggang orang dewasa.
Saya mulai teriak-teriak minta tolong tapi tak ada respon. Semakin teriak, kerongkongan semakin mengering. Pikiran mulai panik, saya menyibakan semak belukar kanan—kiri yang ternyata penuh duri. Karena bercelana pendek, mulai lutut ke bawah kaki ini dipenuhi luka gores. Saya tidak begitu merasakan rasa perih luka gores tersebut karena pikiran yang mulai kacau dan semakin panik. Ketika mencoba menerabas semak sambil menanjak lagi, jalur sebelumnya semakin menghilang dan membingungkan. Semua terlihat beda. Mendadak saya berdiri ditengah-tengah belukar pada kondisi tanah yang miring, tentu saja kalau toh pun ada jalan setapak (di bawah atau di atas saya) tak akan terlihat. Harus ke mana saya ini? ke kanan, naik lagi, ke kiri atau turun.
Tubuh semakin lemas dan kehausan. Saya mencoba tenang dan duduk pada sebuah batang pohon pinus yang roboh. Ambil nafas, buang, ambil nafas, buang. Sesekali melihat jalur menanjak ke atas dan mulai bingung harus ambil jalan ke mana. Dalam hati saya berdoa dan mulai pasrah, ya allah masak iya saya harus mati di gunung? Kalau iya, segera saya diambil saja.
Mendadak ada kabut yang naik. Kondisi mulai tak terlihat. Uap air terbawa kabut menjadi gerimis dadakan (kurang dari satu menit) dan beberapa tetes air saja yang jatuh. Spontan saja saya langsung buka mulut lebar-lebar dan menjulurkan lidah yang mulai kering. Alhamdulillah setetes air masuk ke kerongkongan rasanya luar biasa. Iya seingat saya cuma setetes. Kemudian kabut perlahan hilang. Mulai dari sini muncul keyakinan bahwa saya belum akan mati di sini.
Setelah cukup menenangkan diri, saya jalan lagi melipir ke kiri. Dan, Allah memang mahapengasih dan mahapenyayang. Lima meter dari tempat duduk, awalnya saya menemukan bebatuan dan kubangan air, ternyata itu adalah jalur aliran sungai. Alhamdulillah saya masih akan hidup, setelah itu segala macam bacaan doa (dzikir, tahmid, tahlil, hamdalah,) berusaha saya ucapkan terus menerus. Mulut ini saya paksa untuk tidak diam dan selalu berdoa dan berdoa.
Puncak Welirang berada pada ketinggian 3.166 mdpl. Perkiraan ketika itu saya masih berada di ketinggian antara 2.800—3.000 mdpl. Ketika saya masih menemukan aliran sungai, hal ini adalah anugerah dan pertolongan Allah, karena pada ketinggian tersebut sumber air sulit untuk ditemui.
Pikiran logis mulai jalan, aliran sungai ini akan membawa ke mata air di kaki gunung atau air terjun tentunya. Artinya lebih baik saya turun mengikuti aliran sungai ini daripada kembali ke puncak. Mengingat kondisi fisik yang semakin payah, otomatis butuh energi yang lebih besar untuk naik lagi ke jalur awal, sedangkan saya tidak membawa logistik sama sekali. Turun mengikuti aliran sungai adalah pilihan terbaik.
Saya Resmi Tersesat Seorang Diri, Harus Survive Tanpa Peralatan dan Logistik Apapun
Gambaran kondisi aliran sungai tersebut adalah didominasi batu kali vulkanik (bekas aliran lahar), terdapat air yang mengalir di antaranya dengan debit relatif kecil. Bahkan bagian sungai tertentu air hanya menggenang dan tidak mengalir. Kontur ketinggian antar-batu satu dengan yang lain tidak terlalu jauh, sehingga memungkinkan saya untuk melewatinya.
Hampir lupa, sandal gunung sebelah kanan putus karena menerabas semak tadi. Maka memilih jalur aliran air lebih ‘aman’ bagi kaki yang tanpa alas. Tidak perlu pikir panjang untuk segera menuruni jalur aliran sungai tersebut. Setengah jam jalan melewati bebatuan tersebut. Seekor burung hinggap di depan batu yang akan saya pijak selanjutnya. Entah burung ini dari jenis apa, mempunyai sayap warna biru dan semburat ekor berwarna kuning. Ukurannya juga tidak terlalu besar. Begitu saya mendekatinya, burung ini tidak terbang menjauh melainkan pindah ke batu di depannya. Begitu terus seolah-olah mau menemani saya. Ketika saya sengaja berhenti, burung tersebut juga diam tidak hinggap ke batu yang lain atau terbang. Cukup lama burung tersebut hinggap dari satu batu ke batu yang lain di depan saya dan menemani saya jalan. Ketika burung tersebut terbang menjauh ke ranting pohon dan menghilang saya putuskan untuk berhenti. Dalam hati, ini mungkin pertanda.
Perkiraan waktu itu masih pukul 14.00 WIB maka saya sempatkan untuk sholat dzuhur. Beruntung masih ada matahari sehingga perkiraan arah kiblat (barat) tidak melenceng terlalu jauh. Jadilah saya sholat diatas sebuah batu besar di tengah aliran sungai.
Perut mulai kembung karena hanya diisi air. Saya harus survival untuk mengisi lambung ini. Di sekitaran aliran tersebut hanya menemukan rumput yang paling memungkinkan untuk dikonsumsi. Sehingga sambil jalan ngemil rumput liar yang saya paksakan untuk ditelan (makan siang yang berkesan :D). Pada ketinggian tersebut tidak ada tumbuhan buah, dan kawasan yang saya lewati adalah hutan pinus dan cemara. Saya sempat menggali tanah yang ada di aliran air tersebut, bermaksud untuk mencari cacing, atau mencari belalang untuk asupan gizi. Entah memang masih berada di ketinggian atau kenapa, saya kesulitan mencarinya.
Duduklah saya pada sebuah batu. Batu tersebut berada sebuah tepian jurang yang dasarnya hilang tertutup semak dan kabut tipis. Saya mulai menerawang jauh dan merenung kejadian tadi. Kalau bisa menangis, mungkin saya menangis. Entah kenapa saya tidak bisa menangis.
Sempat terpikir banyak hal aneh antara lain: bagaimana kalau saya melompat ke jurang ini saja, biar meninggal di tempat ini; berharap ada sebuah helikopter lewat dan minta bantuan; andai saya bawa korek saya bisa bakar semak ini buat tanda bahaya, nikmatnya makan soto ayam kalau nanti sampai bawah. Simpulan dari pikiran kosong saya tadi adalah saya harus pulang sendiri, sampai Pos Perijinan beli sabun, shampoo, mandi, makan soto ayam, pulang naik angkot dan uang saku 25 ribu cukup untuk semua rencana itu. Inilah salah satu yang memotivasi saya untuk terus berfikir jernih dan positif. Saya masih akan hidup dan selamat.
Mendadak dari kejauhan samar terlihat segerombol orang membawa ransel, di sisi jurang yang lain. Spontan saja saya berteriak minta tolong. Sekali dua kali suara saya menggema, setelah diperhatikan bukan segerombolan orang, hanya halusinasi saya saja, mungkin faktor kelelahan. Prinsip selanjutnya adalah tidak melakukan survival di malam hari karena resiko sangat besar dan kondisi medan yang gelap. Oleh karena itu, saya sudah menyiapkan tempat istirahat untuk tidur dan tidak melakukan perjalanan ketika malam hari.
Matahari mulai meredup ketika saya menyibakkan rumput ilalang yang setinggi dada. Inilah tempat tidur malam ini. Ilalang yang tinggi ini akan mengurangi terpaan angin secara langsung. Sebelumnya saya mengikatkan slayer hijau muda pada sebuah ranting pohon. Sebagai pertanda keberadaan saya jika ada seseorang yang melewati nantinya. Entah kenapa saya memakai baju dobel, mungkin sudah ditakdirkan.
Baju lengan pendek saya ikat pada kedua bagian lengannya. Tujuan agar angin tidak bisa masuk, kemudian saya jadikan selimut buat kaki. Pasang sarung tangan, bala clava (kupluk). Rumput liar yang tinggi cukup empuk dijadikan bantal dan bersiap tidur. Posisi tidur saya menggulungkan tubuh sekecil mungkin, terutama menutup ujung jemari kaki dan tangan. Entah bagaimana menggambarkan dingin di ketingggian di atas 2.500 mdpl. Seingat saya waktu di Pondokan tenda dilapisi kristal es. Bisa diperkirakan sendiri tingkat suhu dinginnya seperti apa. Hari belum lagi gelap ketika saya rebahan dan tertidur pulas.
Di tengah tidur pulas itu, saya terbangun dan kebelet buang air kecil. Entah itu pukul berapa. Indikator alam menunjukkan bulan purnama bersinar terang tegak lurus di atas kepala, mungkin pukul 11—12 malam. Angin lumayan kencang malam itu. Nah ini yang menarik, saya melihat lampu penerangan jalan (warna kekuningan) tidak jauh letaknya. Sepertinya saya sedang tidur di atas sebuah bukit, dan di bawahnya ternyata ada jalan raya yang melingkar ala jalanan pegunungan. Kemudian yang cukup meyakinkan sayup dari kejauhan terdengar suara sepeda motor ngebut. Saya tidak mimpi, kondisi sadar. Pertanyaan muncul kemudian? Masak iya saya sudah sampai kampung warga? Ah mata masih ngantuk, kalau memang iya, besok pagi saja. Terlalu beresiko. Akhirnya tak berani bergerak kemana-mana. Saya putuskan untuk tidur lagi. Badan mulai menggigil sulit untuk langsung tidur lagi, 15 menit kemudian baru benar-benar bisa tidur.
Senin, April 2006 - Hari Yang Berat dan Tak Terduga
Jelang subuh dingin mulai merasuk lagi, seluruh badan gemetar melawan dingin. Ketika bangun lubang hidung dan mulut dilapisi es tipis, sepertinya uap air dari hasil pernafasan menjadi kristal es. Brrrrrr… Kondisi mulai terang tetapi matahari belum muncul ketika saya mengambil wudhu. Dan kalau belum lupa saya sempatkan sholat subuh dalam kondisi menggigil serta darurat ini.
Apa yang saya lihat semalam berupa lampu penerangan jalan raya, suara motor, ternyata berupa lembah jurang dan hutan pinus. Hal terpenting semalam saya berada kondisi sadar, bukan mimpi. Beruntung logika akal sehat semalam masih jalan. Kalau tidak, tinggallah nama saya tanpa cerita.
Rencana survival hari ke-dua, saya harus turun sejauh mungkin agar segera bertemu ke perkampungan warga. Pagi-pagi sekali sebelum pukul 07.00 WIB. Saya sudah mulai menuruni kembali aliran sungai tersebut. Kondisi jarak antar-bebatuan mulai tinggi. Matahari mulai meninggi ketika saya dihadapkan pada sebuah gugusan batu curam. Air terjun. Kondisi aliran sungai ini mirip sebuah lembah yang diapit bukit. Saya harus melewati air terjun ini yang tingginya 5 meter-an dengan berpegangan pada sisi bebatuan yang ditumbuhi rerumputan. Bisa dibilang seperti merayap di samping air terjun. Beruntung debit air yang meluncur sangat sedikit sehingga tidak membasahi pakaian.
Dan partner survival saya kembali. Burung sayap biru dan berekor kuning kembali terbang di hadapan saya. Hari ini burung tersebut sepertinya melanjutkan tugasnya menemani saya lagi. Kelakuan si burung sama seperti hari pertama kemarin, sama juga seperti apa yang saya ceritakan sebelumnya.
Siang itu kondisi mulai mendung. Beberapa menit kemudian turun gerimis. Saya menemukan sebuah goa untuk berteduh. Bukan gua yang seperti dibayangkan, hanya sebuah cerukan tanah yang cukup untuk satu orang dan terlindung dari hujan. Prinsip selanjutnya saya berusaha agar pakaian yang dikenakan tidak basah. Maka selama perjalanan seringkali saya terpelesat untuk mencari batuan yang kering dan tak berair. Setengah jam berteduh, gerimis mulai berhenti dan saya kembali melanjutkan survival.
Matahari mulai meredup hari ini. Persiapan tidur sama seperti hari pertama. Hanya kali ini sarung tangan tinggal satu buah, sepertinya yang satu lagi terjatuh entah di mana. Sebelum langit gelap saya sudah tidur. Dan sama seperti malam sebelumnya, ketika bulan purnama tepat di atas kepala saya kebelet buang air kecil. Nah malam kedua ini, telinga saya mendengar gema suara sound system. Mirip seperti orang punya hajat. Nah, apalagi ini. Semoga ini benar dari suara orang punya hajat berarti saya tidak jauh dari penduduk. Akhirnya saya mencoba tidur lagi, mengigil dan menggigil. Namun akhirnya tertidur juga.
Selasa, April 2006
Selamat pagi hidung dan mulut yang berselimut es. Rasanya tubuh ini mulai beradaptasi dengan suhu dingin gunung. Hampir sama seperti dua hari sebelumnya, sedari pagi saya mulai jalan menuruni jalur sungai tersebut. Namun hari ini sang burung yang menemani tidak datang. Sambil berjalan tiba-tiba terbayang semua orang yang saya kenal, keluarga, teman sekolah, tetangga, teman main, semuanya. Mungkin saya kangen atau sedang di-kangen-i.
Matahari bersinar terik sejak pagi. Di tengah perjalanan, mendadak, (plakk…bukk…byuurrr…) saya terpeleset, jatuh sambil duduk dan tercebur. Lumayan sakit ditambah basahlah sekujur tubuh. Kemudian pakaian yang basah harus saya jemur terlebih dahulu. Kaos saya jemur terlebih dahulu, setelah kering kaus saya jadikan celana. Kemudian celana pendek dan celana dalam yang basah giliran saya jemur. Haaha…untung tidak ada orang. Saya tidak mau pakaian basah karena tidak tahu sampai kapan saya bisa sampai perkampungan penduduk. Mungkin saya harus bertahan beberapa malam lagi.
Melangkah dari satu batu ke batu yang lain, jalan, jalan lagi, akhirnya menemukan jalur batuan curam berlumut yang tak mungkin saya lewati. Tepat di sebelah kanan terdapat sebuah gundukan bukit yang paling tinggi. Sengaja saya memilih menaiki bukit tersebut, untuk melihat harus memilih jalur ke mana lagi. Botol air mineral saya isi penuh. Jarak bukit tersebut (yang ternyata namanya Gunung Limas) hanya sekitar 25 meter dari jalur sungai tapi cukup kepayahan untuk saya capai. Kondisi tidak terlalu menanjak, tetapi kondisi fisik yang semakin melemah membuat sepertinya berat dan jauh.
Begitu sampai di puncak bukit tersebut, Alhamdulillah, saya bisa melihat rumah-rumah penduduk, villa, hotel, Pos Perijinan, jalur pendakian yang harus saya lewati, jalan raya meskipun jaraknya masih terlihat jauh. Saya selamat. Seketika saya langsung merinding disambut suara Adzan Ashar yang menggema diantara lembah ini, dan semakin merinding. Mahasuci Allah saya masih diselamatkan. Subhanallah.
Di bukit Gn. Limas tersebut ada satu-satunya pohon yang kering tanpa ada sepucuk daun sama sekali. Saya sengaja naik ke pohon tersebut guna mencari jalur yang akan saya lewati selanjutnya. Pandangan di atas pohon akan lebih jelas dan jangkauan lebih jauh. Tinggi pohon ini sekitar 5 meter-an. Cukup membingungkan saya harus lewat jalur yang mana. Masih di atas pohon saya sudah berencana untuk mencari lokasi tidur malam ini. Badan sudah lemas dan kepayahan jalan seharian.
Dari kejauhan (jarak pandang sekitar 2 km-an sepertinya) segerombol barisan berwarna oranye berjalan menuruni sebuah bukit. Saya perhatikan lagi, ya mereka rombongan pendaki atau tim SAR. Saya teriak sekuat-kuatnya, menggema. Hening sejenak, kemudian ada teriakan balasan. Alhamdulillah. Saya melambaikan kaos sambil teriak lagi, di antara ranting pohon kering yang tak berdaun tersebut. Setelah mengetahui posisi saya dari kejauhan, terlihat rombongan tim SAR berbelok (ke arah saya) dengan menuruni lembah yang cukup lebar dan dalam.
Kondisi yang ada di sekitar ketika itu, saya berada di atas puncak bukit yang dikelilingi jurang dan lembah yang hampir mengelilingi sepanjang mata memandang. Kondisi jalur pendakian normal yang seharusnya dilalui para pendaki berada pada gugusan bukit yang terpisah lembah tersebut. Sehingga untuk bisa kembali ke jalur pendakian (normal) saya harus menuruni lembah—jurang yang jauh. Gambaran jauh adalah segerombol Tim SAR seragam oranye hanya terlihat seukuran garis oranye tebal. Perkiraan saya lebih kurang satu jam perjalanan.
Belum lagi rombongan Tim SAR sampai, tiba-tiba terdengar suara, “Mas Arif, Mas Arif”. Pada waktu hampir bersamaan botol air mineral yang saya bawa jatuh dan masuk jurang. Kemudian saya turun dari pohon. Lima orang tersebut adalah penambang belerang dan penduduk lokal, yang menemukan saya pertama kali. Mereka adalah tim SAR dadakan yang sengaja mencari keberadaan saya.
Pemimpin SAR dadakan ini adalah Bapak Khoiron (penambang belereng di gunung ini). Salah satu dari mereka juga menemukan slayer hijau yang sengaja saya tinggal di sebuah pohon, hari pertama. Makanan pertama yang disodorkan buat saya adalah singkong goreng, nikmatnya makanan pertama ini setelah 3 hari perut kosong. Setelah merasa cukup, saya meminta air dan mereka juga kehabisan air minum. Glek!, Saya cuma bisa menelan ludah.
Terakhir kali saya mendaki Gunung Welirang (lagi) April 2012, dan ketemu lagi dengan Pak Khoiron di gubuk welit (paling bawah depan mushollah) Pondokan. Salah satu orang yang berjasa dalam kisah ini. Bagi teman pendaki yang akan mendaki Gunung Welirang sampaikan salam saya untuk beliau.
Saya dan 5 orang tersebut mulai berangkat mencari jalur kembali ke perkampungan terdekat. Sebelumnya salah seorang anggota SAR dadakan mencoba mencari sinyal untuk memberikan kabar ke Basecamp Pos Perijinan. Tahun 2006 provider masih pelit sinyal. Hanya sinyal ponsel CDMA yang mampu memberikan kabar kondisi dan lokasi kami. Akhirnya diputuskan kami akan turun ke perkampungan terdekat, PLLH Tretes. Artinya saya tidak kembali ke Pos Pendakian awal seperti start pendakian kemarin. Tepat di bawah bukit yang saya gapai tadi ternyata terdapat air terjun alap-alap. Sehingga beruntung sekali saya berpindah jalur menuju bukit Gn. Limas tersebut.
Sebagai korban (survivor) jangan bayangkan proses evakuasi dilakukan menggunakan tandu atau semacamnya, saya harus jalan kaki juga. Dua orang bertindak sebagai pionnerdengan membawa parang dan membuka jalan, Pak Khoiron, saya dan dua yang lain di belakang. Setengah jam kemudian, terdengar teriakan dari belakang. Suara tersebut adalah rombongan tim SAR yang berseragam oranye yang saya lihat dari kejauhan tadi.
Semua memberikan selamat kepada saya. Berhentilah kami bersama dan bergabung entah menjadi berapa anggota jumlah rombongan baru ini. Sepertinya 15 orang lebih. Dan spontan saya langsung meminta air minum. Sebut saja tim SAR ke-2 juga membawa nasi bungkus dan meminta agar saya makan dulu. Ternyata 3 hari tidak mengunyah makanan dan kedinginan, rasanya sakit sekali untuk sekadar membuka mulut agak lebar. Bibir ternyata mulai pecah-pecah. Saya paksakan menelan saja. Masih ingat sekali lauk sore itu, nasi putih, telur ceplok, tahu dan tempe. Mulut dan perut hanya mampu menampung setengah bungkus makanan saja. Kami harus berangkat, langit mulai gelap. Perkiraan jarum jam sudah berada di pukul 17.00 WIB dan rombangan evakuasi mulai berangkat.
Meskipun tubuh sudah kemasukan makanan. Badan masih lelah dan fisik mulai drop. Sepanjang perjalanan saya di gandeng oleh Pak Khoiron. Selain itu saya juga menggunakan sepatu karet milik beliau. Demi mengusir lelah dan kantuk semua rombongan saling cerita ngalor-ngidul, becanda, sambil terus berjalan. Suasana semakin gelap. Penerangan mulai dinyalakan. Entah saya sudah jalan berapa jam. Suara adzan magrib mengumandang ketika kami masih di tengah hutan. Jalan lagi, turunan dan terus turunan.
Adzan isya memecah langit malam itu kami masih belum sampai. Akhirnya badan saya mulai sempoyongan. Kelahan maksimal. Saya meminta untuk istirahat sebentar. Saya ditawari agar digendong oleh Pak Khoiron, tapi saya menolak. Biar saya jalan sama-sama saja. Saya tak tega dan kasian. kondisi jalanan sudah mulai mendatar, karena tak mampu lagi akhirnya saya digendong secara bergantian, untuk tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit sampai kami semua di rumah penduduk terdekat, PPLH Tretes. Alhamdulillah.
Ketika baru saja duduk di teras rumah penduduk tersebut. Tubuh saya ditubruk sesosok pria baya yang memeluk sambil menahan tangis, ternyata beliau adalah kepala sekolah saya. Baru kemudian orang tua dan paman datang. Rasanya senang campur aduk dan saya merasa bersalah. Saya sudah merepotkan dan membuat cemas orang sebanyak ini.
Salah satu yang paling direpotkan adalah kakak kelas 12 di Smanisda (anggota Rekgiwa) yang sedang menghadapi Ujian Nasional 2006 pada waktu yang bersamaan, mulai hari Senin sampai Rabu. Rela menjadi Tim Sibuk dan Panik untuk bolak-balik Welirang—Sidoarjo—Persiapan Unas. Juga semua dewan guru dan staff di Smanisda yang memecah pikiran untuk Pelaksanaan Ujian Nasional dan Saya. Harusnya bagian ini menjadi kisah tersendiri
saya dibuatkan minuman madu hangat. Saya rebahan di sebuah ruang tamu dengan diselimuti kain tebal. Campuran madu tersebut cukup membuat tubuh saya normal kembali. Meskipun masih sangat lelah.Seketika sebuah mobil datang, yang membawa Danramil dan Kapolsek setempat serta Ketua Tim SAR. Ternyata ada sebuah seremonial singkat bahwa saya sebagai korban telah diketemukan dan diserahkan kembali kepada keluarga.
Kondisi penerangan cukup gelap ketika itu, lebih dari dua puluh lima orang ada di sana. Setelah saya diserahkan kepada keluarga, saya segera masuk mobil dan berencana langsung ke Rumah Sakit. Belum lagi pintu mobil ini ditutup, anggota tim SAR dan entah perkelahaian antar-siapa saling perang mulut, lempar senter, kacau dan keadaan mulai ricuh. Segera mobil yang saya tumpangi tancap gas ke RSUD Sidoarjo.
Baru saya ketahui kemudian, bahwa kenapa muncul kericuhan ketika saya diserahkan kepada keluarga. Semoga ini salah, Tim SAR saling mengklaim siapa yang menemukan saya sebagai korban. Menurut informasi (terpercaya) ternyata siapa saja yang menemukan keberadaan saya akan memperoleh uang sekitar 5—10 juta. Meskipun saya yakin tim SAR lebih mendahulukan nilai kemanusiaan dan sosial.
Selama perjalanan menuju Rumah Sakit tubuh mulai saya gelontor dengan minuman istonik. Jaga-jaga agar tubuh tidak dehidrasi. Pukul 22.30 WIB sampai rumah sakit, saya menolak sebenarnya lebih baik langsung pulang ke rumah saja. Saya tidak mau memperkeruh dan mendramatisir suasana ketika harus diinfus dan opname. Meskipun kondisi kedua kaki dipenuhi luka gores. Mulai dari lutut ke bawah. Rasa perih baru terasa, luar biasa ketika harus dibersihkan dengan alcohol dan antiseptic.
Haaha saya hanya butuh soto ayam. Titik. Akhirnya saya cuma dites darah dan menolak dipasang cairan infus. Bahkan saya sempat membantah keras kepada dokter dan suster yang memaksakan agar saya dinfus, kondisi saya tak separah itu. 2 jam observasi kondisi dan hasil lab terbukti saya normal dan diperbolehkan pulang.
Alhamdulillah, Allahuakbar. Home sweet home. Pukul 01.00 WIB sampai rumah ternyata penuh dan banyak orang yang menyambut kedatangan saya.. Sekali lagi mohon maaf sudah merepotkan dan membuat cemas. Sepertinya masih banyak detail dari kisah ini yang terlupa saya tuliskan.
Terima kasih saya ucapkan kepada:
Semua Tim SAR nyata dan gaib, Kedua Orang tua dan Keluarga, Kepala Sekolah SMAN 1 Sidoarjo; Bapak Ponadi Abdullah dan Dewan Guru, Rekgiwa dan alumni, Smanisda angkatan 2006/07/08, Pak Khoiron dan Tim, Anggota Ekspedisi Welirang dan Rekgiwa 18; Anjar Kuncoro, Agus Priyanto, Angga Kusumandaru, Odi Alfando Prasetya, Reksa Renggana. Ida Silviana, Septia Nurisya P., Meta Marina S., Tias Kusumadewi, Nurul Hidayati, Firdah Zuniar F. Semua orang yang secara tulus dan ikhlas mendoakan saya selama perjalanan tersebut. Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian.
Dan teruntuk teman teman semua yang membaca kisah ini.
Demikian kisah nyata dari perjalanan hidup saya, semoga bermanfaat. Wasallamualaikum. (Diteruskan dari catatan: Arif Habdillah)
Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar