Pengalaman pertama mendaki puncak Mahameru terjadi pada tahun 2001. Sudah sangat lama sekali. Sangat sulit untuk menyusun kembali serpihan memori. Tapi ada beberapa hal yang akan selalu saya ingat. Satu diantaranya adalah ketika saya berdiri di ketinggian 3676 mdpl.
Benar yang dikatakan para pendaki. Saat kita ada di ketinggian, saat di bawah kaki kita ada terlihat gumpalan awan, saat itulah kita akan merasa kecil dan tak berarti. Ya benar, tatkala kita semakin dekat dengan langit, maka kita akan semakin mudah memahami apa itu kehidupan.
Kabar Tentang Hilangnya Seorang Kawan di Mahameru
Akhir November 2006 ditandai dengan sebuah kabar yang mengejutkan. Dikabarkan bahwa ada seorang MAPALA dari D3 Fakultas Ekonomi Universitas Jember (OPA MAHAPALA) yang dinyatakan hilang di Gunung Semeru. Kabar ini saya terima sore hari, saat saya sedang asyik menikmati secangkir kopi.
Detik detik selanjutnya, saya sudah ada di tengah tengah forum SAR OPA Jember. Kami berkumpul di aula Fakultas Ekonomi UJ dan membahas tentang apa saja yang akan dilakukan.
Hari semakin merambat malam, sudah bergelas gelas kopi menemani kami menyusun rencana. Dari arah yang lain, seorang kawan menghampiri saya. Namanya Yopi, dia adalah anggota pencinta alam MAHADIPA (Fakultas Teknik UJ). Tiba tiba Yopi berkata, “Piye nek berangkat disek numpak vespa?.” Yopi mengungkapkan ajakannya dalam bahasa jawa. Dia mengajak saya untuk berangkat dulu ke lokasi, berdua saja mengendarai vespa. Setelah koordinasi sebentar dengan beberapa rekan, malam itu juga kami pun berangkat.
Selama Perjalanan
Dari Jember, kami langsung meluncur ke arah Lumajang. Seperti yang kita tahu, posisi Gunung Semeru terletak diantara wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang.
Setelah memasuki Kabupaten Lumajang, kami segera meluncur ke sebuah daerah bernama Senduro. Kami sampai dini hari, dan langsung istirahat di Polsek Senduro. Karena lokasinya menyatu dengan pasar, saya dan Yopi tidak bisa tidur berlama lama. Pagi hari kami dibangunkan oleh suara suara yang ramai, khas suasana pasar nusantara. Perjalanan kami teruskan menuju Ranu Pane. Ini adalah desa terakhir yang dituju para pendaki yang hendak menyusuri setapak menuju Mahameru.
Tidak ada waktu untuk menikmati dua telaga indah, Ranu Pane dan Ranu Regulo. Kami segera merapat, berkoordinasi dengan beberapa kawan, dan siang harinya saya bergabung dengan SARKAB Lumajang menuju Pos Kalimati.
Dari Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, kami masih menjumpai jalur landai dan banyak alang alang di sana sini. Sesampainya di Watu Rejeng, kami istirahat sebentar. Jarak Watu Rejeng menuju Ranu Kumbolo masih empat setengah kilo lagi. Sedangkan dari Kumbolo menuju Kalimati, sekitar sepuluh kilometer. Karena tidak ada waktu yang banyak, istirahat hanya sebentar saja. Selanjutnya kami kembali meluncur.
Perjalanan kali ini sungguh membuat saya malu. Kaki saya terkilir (saya lupa kaki yang sebelah kanan atau kiri) dan saya menghambat laju rombongan. Sesampainya di Ranu Kumbolo, hari sudah menjelang sore. Ingin rasanya saya berkata pada komandan SARKAB Lumajang bahwa saya akan bermalam di selter Ranu Kumbolo saja (sambil berharap kaki saya yang terkilir akan lekas membaik). Tidak disangka, ternyata mereka memutuskan untuk bermalam di sana. Syukurlah.
Malam begitu dingin, saya tidak bisa tidur nyenyak. Sebentar sebentar terjaga dan menggigil. Pagi harinya, lapisan teratas air Ranu Kumbolo terlihat seperti air kapur, jika disentuh akan terlihat memecah. Saya benar benar tidak bisa menikmati keindahan Kumbolo (dan memang tujuannya bukan untuk itu).
Setelah sarapan dan packing, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Meskipun di dekat Kalimati ada mata air Sumber Mani, masing masing dari kami tetap membawa bekal air dari Ranu Kumbolo.
Ajaib, selama perjalanan menuju Kalimati, kaki saya terasa sehat dan saya senang karena tidak menghambat laju perjalanan rombongan. Yang menjadi aneh, setelah tiba di Kalimati, kaki yang terkilir ini kembali cenat cenut. Itulah kenapa, selama beberapa hari di camp Kalimati, saya lebih banyak bertugas di dapur umum sebagai tenaga logistik (tempat ini disepakati untuk dijadikan camp SAR OPA Jember dan SAR lain yang bergabung dan menjadi satu komando).
Tentang Survivor
Tentang rekan yang hilang tersebut, namanya Dian Susanto Baca Juga Disini : Catatan Survivor Mahapala Unej - GN. Semeru, November 2006. Oleh teman teman sesama pencinta alam Dian biasa dipanggil Stempel. Tercatat sebagai Mahasiswa Diploma III Jurusan Administrasi Keuangan Fakultas Ekonomi angkatan 2004. Dia adalah seorang lelaki muda asal Situbondo, lahir pada 20 Oktober 1984.
Awalnya, survivor mendaki di Semeru bersama tiga temannya, yakni Windarto, Sholeh Hanafi dan Fuad Handitya. Setelah turun dari pendakian, Dian ada diurutan paling terakhir dan tiga temannya sudah jauh mendahuluinya hingga sampai di base camp Ranu Pane.
Diperkirakan lokasi hilangnya survivor berada di lereng yang memiliki dua cabang jalan, itu ada di Cemoro Tunggal.
Menyadari ada yang tidak beres, ketiga teman Dian segera mengabarkan pada pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Dalam hal ini, pihak Taman Nasional (dan juga SAR KAB Lumajang) patut diacungi jempol.
Begitulah awal mula hilangnya Dian Susanto di Gunung Semeru.
Kisah Singkat Tentang Pencarian Survivor
Selama di lokasi, cerita tentang saya masih sama, tidak jauh jauh dari kaki yang terkilir. Namun begitu, saya sempat masuk dalam salah satu SRU mencari survivor ke arah Arcopodo (di atas Kalimati, dan berjarak sekitar satu jam dari Kalimati, berada pada ketinggian 2900 mdpl). dari Arcopodo menuju puncak Mahameru berjarak antara 3 sampai 4 jam. Medannya berupa gundukan (bukit) pasir. Kita akan mudah merosot di lokasi ini, karena medannya sangat curam.
Di waktu yang lain, saya juga sempat mencari air di Sumber Mani. Jarak antara pos Kalimati - Sumber Mani sekitar 1 jam pulang pergi. Dengan kaki terkilir, saya butuh waktu dua jam lebih.
Hanya itu agenda saya selama di lokasi. Bisa dikatakan, tenaga saya lebih terfokus di dapur umum (saat itu saya selalu berdua dengan Kang Kendo MAHAPALA).
Kabar dari bawah
Di hari ke empat, datang lagi tenaga bantuan yang siap merapat dan mencurahkan skill mereka di bidang SAR. Yang membuat saya terkejut, salah satu dari mereka membawa pesan dari bawah (pesan untuk saya), bahwa dua hari lagi saya harus menjadi juri di acara lomba melukis (pada 2006 saya masih bekerja di salah satu produk crayon sebagai tester, dan ketika ada lomba yang di sponsori produk tersebut, saya selalu siaga menjadi juri lomba). Alhasil, malamnya saya packing, dan esoknya (hari ke lima) saya turun, berdua dengan Yopi.
Kisah Burung Penjaga Jalur
Saya dan Yopi tidak langsung pulang di pagi hari. Kami masih merampungkan beberapa tugas di lokasi. Baru menjelang siang hari kami meluncur turun. Tujuannya jelas, Ranu Pane. Di sana sudah ada vespa kesayangan Yopi yang setia menunggu. Meskipun berupa tim kecil, ini bukan perjalanan yang mudah dan cepat, mengingat kondisi kaki saya yang manja di saat tidak tepat.
Sesekali kami berhenti, meneguk air putih dan memeriksa HP berharap ada sinyal. Di Kalimati sama sekali tidak ada sinyal. Untuk mendapatkannya, kita harus menuju Arcopodo. Saat ada sinyal, kondisi tersebut saya manfaatkan untuk mengirim pesan pada rekan kerja bahwa saya masih dalam perjalanan.
Tiba di daerah yang jalannya bercabang, kami sedikit bingung memutuskan antara ke kiri atau ke kanan. Di waktu itulah saya dan Yopi menyadari bahwa sedari tadi ada seekor burung warna coklat yang membuntuti kami dari arah yang kadang kadang dekat kadang kadang menjauh. Saat burung itu terbang ke arah salah satu jalan cabangan itu, secara naluriah kami mengikuti arah yang ditunjuk. Begitu seterusnya hingga mendekati Ranu Pane (lokasi terakhir dimana burung itu menemani kami).
Kami hanya bisa memandang saat burung itu terbang menjauh. Entah apa nama burung itu, dan entah apakah pendaki lain juga pernah memiliki pengalaman yang sama dengan saya.
Meneruskan Perjalanan Pulang
Hari sudah menjelang mahgrib saat saya dan Yopi tiba di Pane. Segera kami berpamitan ke Pos Taman Nasional, dan tak lama kemudian kami meluncur membelah hutan Senduro.
Saat di tengah hutan, kondisi cahaya sudah remang remang. Di saat itulah vespa yang kami kendarai mogok. Ow, benar benar bukan saat yang tepat. Saya lihat kiri kanan, ternyata posisi kami dekat sekali dengan hutan bambu. Ini mengingatkan saya pada cerita Om Glemboh (Karyawan TNBTS sekaligus penulis catatan perjalanan) tentang ular piton di areal hutan bambu. Sepertinya Yopi juga sedang memikirkan hal yang sama. Terbukti, kami langsung meluncur kembali, dengan mesin yang tidak menyala dan hanya memanfaatkan kondisi jalan yang menurun. Kadang kami mendorongnya. Begitu seterusnya hingga kami sampai di pemukiman terdekat. Itulah saat dimana kami benar benar istirahat, untuk kemudian membongkar vespa.
Syukurlah, pada akhirnya mesin vespa sudah kembali normal hingga kepulangan kami menuju Jember.
Kabar Yang Menggembirakan
Esoknya, saya baru saja selesai melaksanakan penjurian lomba melukis dan mewarnai saat ada sms masuk. Kabar yang benar benar membuat hati saya merona. Bahagia sekali membaca pesan yang isinya mengabarkan bahwa survivor (Dian Susanto) berhasil diketemukan dalam keadaan hidup. Menakjubkan, 6 hari sendirian di cuaca ekstrem, dan survive. Kalau saja saya tidak ada diantara anak anak kecil peserta lomba, mungkin saya akan melakukan sujud syukur.
Kisah Yang Dituturkan Oleh Survivor
Ketika saya bertemu langsung dengan Dian Susanto, pertanyaan pertama yang saya sampaikan adalah tentang apa yang membuatnya bertahan hidup. Dia menjawabnya pendek saja.
“Karena saya memang harus bertahan hidup”
Saya sedikit bingung dengan jawabannya. Kemudian saya kembali bertanya, “Kenapa?”
Pada akhirnya Dian Susanto bercerita panjang lebar. Dia berkisah tentang ketakutannya, halusinasinya, rasa dingin yang menyebabkan dia harus menggali tanah di bawah pohon (menggali dengan tangannya) lalu berusaha memendam kaki dan tangannya, mengejar sinar mentari yang jarang dia dapati di pagi hari, hingga pada kerinduannya. Hmm, ternyata Dian Susanto sedang merindukan perempuan bernama Mia.
“Saat saya dalam kondisi antara mau tidur dan masih terjaga, saya seperti mengalami halusinasi. Semua dongeng yang pernah dikisahkan Ibuk, begitu mudah terpampang kembali, nyaris seperti sebuah slide”
Dian Susanto juga sempat mengatakan itu pada saya. Tentang kekuatan cerita. Benar jika ada yang berkata, “Seringkali, untuk bertahan hidup orang lebih membutuhkan cerita daripada logistik.”
Dia bisa menemukan jalan keluar manakala menemukan sekumpulan orang yang beraktifitas di dalam hutan. Saat Dian Susanto mendekat, sekumpulan orang ini segera bergerak menjauh. Tapi Dian mengejarnya sekuat tenaga.
“Waktu itu saya mengenakan baju lapang khas pencinta alam dan sepatu PDL. Mungkin mereka sedang melakukan aktifitas ilegal (seperti mencuri kayu) dan disangkanya saya ini petugas.”
Dian menuturkan itu pada saya. Singkat cerita, Dian Susanto berhasil gabung dengan orang orang ini, dan di hari ke enam dia sudah ada di pemukiman. Saat sedang membasuh wajah di sungai, ada seorang warga pemukiman yang berkata pada Dian Susanto.
“Lho Mas, sampeyan kan yang fotonya ada di berita televisi?”
Awalnya Dian Susanto menggeleng. Namun kemudian Dian menyadari apa yang terjadi. Selang beberapa waktu kemudian, Dian Susanto sudah berada di rumah penduduk. Salah satu dari mereka meminjaminya telepon genggam. Tak lama kemudian Dian menghubungi sekretariat OPA MAHAPALA dan mengabarkan posisinya. Mulanya si penerima pesan (Novika Kurnia) tidak percaya. Namun dia tetap menyampaikan berita itu ke pihak SAR di Lumajang. Tak lama kemudian Tim SAR segera membentuk tim kecil untuk terjun ke lokasi yang dimaksud.
Akhir yang indah. Penjemputan berhasil manis. Andai saja saya masih di lokasi, pasti akan saya dapati wajah wajah bahagia di sana. Kabarnya, diantara wajah wajah yang merona itu, ada terselip juga air mata yang meleleh. Sepenggal kisah yang sulit terlupakan di akhir November 2006.
Catatan Penutup
Saat ini Dian Susanto sudah menyelesaikan kuliahnya dan sudah bekerja. Dia juga sempat melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Jember.
Kabar membahagiakan yang lain, pada 2 Maret 2011 yang lalu Dian Susanto menikah dengan Mia, perempuan yang senyum manisnya selalu menemani Dian Susanto tatkala dia sendiri berteman sepi.
Kegigihannya bertahan hidup, membuat saya empati dan terinspirasi. Pada akhir 2006, saya menciptakan lagu berjudul Doakan Aku Pulang. Lagu ini dinyanyikan sendiri oleh Dian Susanto.