Sabtu, 26 Januari 2013

Navicula Membela Lingkungan Dengan Bahasa Rock ’N Roll


“Orangutan muda, rumahnya di belantara
Dijaga papa dan mama yang kemarin masih ada
Kini tiada
Orangutan muda diculik perambah rimba
Dibawa paksa ke kota, jadi hiburan manusia
Terpenjara.”

Demikian penggalan lirik salah satu lagu Navicula, band beraliran grunge psychedelic yang namanya diambil dari nama sejenis ganggang emas bersel satu berbentuk seperti kapal kecil.

Alih-alih membawakan lagu drama hidup atau konflik cinta seperti kebanyakan band anak muda masa ini, band asal Bali itu memilih menyuarakan isu lingkungan dengan musik rock ‘n roll mereka.

Keseriusan band yang dibentuk di Denpasar tahun 1996 itu menggarap isu lingkungan tidak terjadi baru-baru ini, saat semua orang berbicara tentang go green dan kata ramah lingkungan menjadi tren.


Band yang beranggotakan Robi (vokal, gitar), Dankie (gitar), Made (bas), dan Gembull (drum) itu sudah aktif dalam kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan sejak tahun 1998.

Saat itu Navicula menuai kritik. Namun kritikan tak menghentikan langkah mereka.

“Kami banyak mendapat kritikan, ngapain sih kalian musisi kaya gitu, main musik ya main musik saja. Musik kalian tidak bisa dijual karena topiknya tidak populer bagi orang-orang. Tetapi kami memilih tetap konsisten,” kata sang vokalis, Gede Roby Supriyanto, yang biasa disapa Robi.

Band yang sempat bergabung dengan salah satu major label tahun 2003 itu bahkan kemudian memilih hengkang setelah merilis album keempat mereka, Alkemis, tahun 2005, untuk melanjutkan “perjuangan” menyelamatkan lingkungan melalui lagu-lagu tidak biasa mereka.

“Dulu kami kesulitan karena orang tidak begitu paham dengan apa yang kita omongin, tetapi kalau sekarang kesadaran publik sudah kuat,” kata Robi.

Robi, yang kebagian tugas membuat lirik lagu, mengisahkan awal Navicula konsisten membawa isu lingkungan dalam setiap lagu mereka.

Berlatarbelakang keluarga petani, Robi yang sejak kuliah aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan merasa gerah dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.

“Latar belakang saya kuat di lingkungan, saya hobi main musik juga, saya berpikir kenapa tidak disuarakan lewat musik karena anak muda perlu diinformasikan lewat bahasa yang mereka mengerti, bahasa rock n roll,” kata pria yang hingga kini bekerja di salah satu LSM lingkungan di Bali itu.

“Saya bersyukur karena mereka (personel Navicula lainnya) mendukung topik ini. Dan bagaimana pun juga Navicula itu sebuah band, kami perlu musik yang bagus, meskipun isu bagus kalau musik tidak bagus ya sama saja bohong,” tambahnya.

Lirik kuat dan musik berkualitas, menurut Robi, membuat Navicula mempunyai karakter tersendiri.

Navicula yang sebelumnya memainkan lagu-lagu bertema humanis, perdamaian, kebebasan dan kritik-kritik sosial akhirnya memutuskan untuk konsisten mengangkat tema-tema sosial dan lingkungan dan mengepakkan sayap untuk berkampanye dari panggung ke panggung.

“Setiap orang bisa berkontribusi di bidang mereka, seperti Navicula lewat musik, membuat lagu, kampanye dari panggung ke panggung. Itu yang bisa kami kontribusikan,” ujar Robi, yang aktif mengkampanyekan sistem Urban Farming di Bali.

Aktivitas Navicula dalam kegiatan sosial dan kampanye pelestarian lingkungan membuat mereka mendapat sebutan The Green Grunge Gentlemen.

Tak Berhenti

Kini 16 tahun sudah Navicula bermusik dan akhir tahun ini berencana merilis album ketujuh. Dan mereka Navicula masih aktif dalam berbagai kegiatan kampanye LSM lingkungan, tak berniat berhenti.

Band itu ikut berkampanye menolak penggunaan tas plastik di swalayan, pembangunan rumah aman gempa, serta perlindungan lahan gambut dan hewan-hewan langka Sumatra bersama Yayasan Ekosistem Lestari.

Mereka juga terlibat dalam kampanye “Kepak Sayap Enggang” yang dilakukan organisasi kampanye lingkungan global, Greenpeace, menyaksikan kerusakan hutan Borneo dengan melintasi tiga provinsi di Kalimantan.

Mereka juga terlibat dalam kampanye moratorium Bali Selatan bersama Walhi Bali yang akhirnya melahirkan lagu “Pantai Mimpi” pada 2009 lalu.

Lagu itu ditulis sebagai bentuk perlawanan terhadap privatisasi dan penghancuran pantai-pantai di Bali, utamanya memboikot pengembangan Pantai Dreamland di daerah Bukit, Jimbaran.

“Atau kadang-kadang teman-teman LSM suka izin minta lagu kami untuk kampanye mereka, kami pasti kasih saja secara gratis, silakan, karena tujuan kita memang untuk kampanye juga,” jelas Robi.

Lagu-lagu mereka pun tetap menyuarakan kritik pada aksi-aksi merusak lingkungan dan ajakan untuk menyelamatkan Bumi.

Sebut saja lagu “Over Konsumsi” yang ditujukan untuk mengetuk hati konsumen untuk ikut bertanggung jawab mencegah krisis lingkungan. Atau “Metropolutan” yang menceritakan degradasi lingkungan, “Zat Hijau” yang bicara tentang reboisasi serta “Kali Mati” yang menuturkan tentang pelestarian sungai.

“Sejak 2010 kami konsentrasi pada isu deforestasi karena isu itu menjadi masalah yang krusial,” ujar Robi.

Dan kini keluar tiga single “Orangutan”, “Harimau! Harimau!” dan “Refuse to Forget” yang lebih menyentuh pada konflik sosial.

“Karena isu lingkungan akhirnya berkaitan dengan konflik sosial, konflik masyarakat. Kita juga peduli pada isu krusial lainnya,” tambah Robi.

Area jelajah Navicula pun kini mulai meluas ke ranah internasional. Kesungguhan mereka menyampaikan pesan lingkungan membawa mereka ke festival internasional Envol et Macadam di Quebec, Kanada.

Video “Orangutan” mereka menjadi juara dalam kompetisi Planetrox untuk mewakili Indonesia di festival tahunan alternative rock, punk, dan metal terbesar di Kanada itu.

“Akhirnya kami langsung lanjut tur dari Quebec hingga Toronto tentu saja sekalian berkampanye. Kebetulan produser kami dari Amerika, dan lagu-lagu terbaru kebanyakan liriknya berbahasa Inggris. Kami ingin membawa isu lingkungan di Indonesia ke dunia,” kata Robi.

Setelah merilis album Self Protrait (1999), K.U.T.A. Keep Unity Through Art (2002), Navicore Neo Rock Club (2003), Alkemis (2005), Beautiful Rebel (2007), dan Salto (2009), Navicula akan merekam lagu di Record Plant Studio, Hollywood, akhir November nanti.

Mereka akan terus melantunkan tembang-tembang tentang isu sosial dan lingkungan, menawarkan solusi lewat lagu-lagu rock ‘n roll berlirik kritis.

“Kami tertarik untuk membahas konflik sosial, bagaimana masyarakat adat harus mempertahankan lahan mereka dari pembangunan yang tidak bertanggungjawab. Dan tidak hanya bicara masalah saja, kami juga ingin ngomong soal solusi dari lagu-lagu kami kedepan sehingga bisa menjadi inspirasi,” demikian Robi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar