Jumat, 28 Maret 2014

Petualangan yang tidak ingin diulang (sebuah kisah nyata) By : Dody Johanjaya

..Saya pernah bertualang masuk goa yang dalam, mendaki gunung salju, menyusuri ganasnya jeram-jeram sungai di Kalimantan, serta menyelami lautan dalam. Namun, saya sama sekali tidak pernah merencanakan hanyut 24 jam di lautan lepas dan hidup di sebuah pulau selama 4 hari tanpa makanan dan minuman. Setelah belasan tahun bertualang, akhirnya saya dan teman-teman benar-benar merasakan petualangan yang sebenarnya, yang tidak ingin saya ulangi.

Tidak ada perubahan yang berarti dengan Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, setelah tiga tahun lalu saya berkunjung ke sana. Rumah-rumahnya masih di atas tanah dengan tiang fondasi dari kayu besi. Sarana jalannya masih juga menggunakan kayu sebagai jembatan. Jadi, penduduknya sama sekali belum menginjakkan kaki ke tanah hingga saat ini. Rumah dan kios-kios dagangan masih juga tidak berubah dengan pemilik yang sama. Beberapa di antara pemilik kios masih mengenali saya karena sering berbelanja dan kadang-kadang mampir sekadar untuk berbincang-bincang. Hanya lapangan dari kayu yang tampak lebih bagus dibandingkan dulu banyak yang keropos. Penginapan Asmat Inn di depan pasar kini berubah jadi toko. Saya Jadi teringat kembali ketika hampir tiap sore, sambil nongkrong di beranda penginapan, saya dan teman-teman memilih lauk untuk makanan malam, seperti udang, ikan, dan keraka atau kepiting Asmat yang sangat terkenal. Selain sangat murah, makanan laut ini sangat segar karena baru diperoleh nelayan dari memancing atau menjala.

Tim JP ikut Ekspedisi Papua bersama Tim Petualangan Bahari dan Tim Petualangan Liar. Kami mengarungi Kepulauan Raja Ampat, Sorong, dengan kapal phinisi selama 26 hari lamanya. Dari Raja Ampat, seluruh tim kemudian menyebar ke berbagai pelosok di Papua. Saya bawa Tim JP ke Merauke untuk masuk ke pedalaman, melihat suku Korowai Citak, suku yang tinggal di atas pohon, dan suku Asmat. Tim JP sekarang beranggotakan Medina Kamil atau Dina yang merupakan presenter baru JP, pengganti Riyanni yang tengah hamil, asisten produser Wendy M Firman, serta juru kamera Budi Kurniawan dan Bagus Dwi Wahyuadi. Tim JP kembali ke Agats untuk membuat rekaman gambar keseharian orang-orang Asmat dengan kepandaiannya yang tersohor, yaitu memahat patung dan menari di atas perahu dengan cara berdiri, di Kampung Peer yang terletak di bagian timur Agats.

Dari Kampung Peer kami kembali ke Agats dan merencanakan perjalanan ke Timika keesokan harinya. Setelah kami bertanya ke sana-kemari, ada tiga pilihan transportasi menuju Timika, yaitu dengan pesawat, kapal laut, atau longboat. Kemungkinan menggunakan pesawat sangat kecil karena hanya ada penerbangan hari Senin dan itu pun sudah fully booked. Kemudian kapal laut pun tidak dapat dipastikan kedatangannya, jadi pilihan terakhir adalah dengan menggunakan longboat. Longboat milik Alex-lah pilihan saya karena menurut orang Agats adalah yang terbaik dan aman. Longboat milik Alex selain menyediakan pelampung, juga membawa mesin cadangan untuk berjaga-jaga kalau mesin utama mati. Motoris-motoris yang bekerja untuk Alex pun sangat berpengalaman dan tahu kondisi rute perairan dari Agats ke Timika. Informasi ini cukup membulatkan tekad kami menuju Timika dengan longboat.Sementara cuaca sangat mendukung, terang walau agak kelabu, namun tidak ada tanda-tanda bakal ada angin atau ombak.

Dengan penuh semangat kami mengepak seluruh barang bawaan kami ke longboat. Ada ransel berisi sleeping bag, matras, pakaian, obat-obatan, bahan makanan mentah, alat masak, laptop, dan seabrek peralatan syuting. Jumlah dan berat barang bawaan yang akan diangkut longboat masih dalam batas toleransi, apalagi jumlah kami hanya berlima. Seluruh barang bawaan kami diletakkan di bagian depan longboat, yang kemudian ditutup dengan terpal biru agar tidak terkena cipratan air laut. Kami membawa bekal makan siang juga, ditambah makanan kecil dan minuman yang jumlahnya lebih dari cukup untuk perjalanan selama 12 jam.

Pagi itu angin sepoi-sepoi berembus, dingin. Matahari tampaknya masih enggan terbit, namun sinarnya sudah menerangi langit. Menyaksikan kondisi alam demikian, tekad kami untuk menuju Timika semakin bulat. Agus duduk di haluan longboat, dia bertugas sebagai petunjuk dan pengawas agar longboat tidak menabrak kayu atau karang. Di deretan bangku paling depan duduk Budi sendirian, kemudian deretan bangku kedua ada Bagus dan Wendy. Sementara saya dan Dina duduk di deretan bangku terakhir. Luky sebagai motoris didampingi Yunus duduk di bagian belakang longboat. Luky, yang orang Maluku Utara, dikenal orang-orang Agats sebagai motoris andal dan berpengalaman. Ia sering membawa tamu melintasi rute Agats-Timika.
Kondisi longboat sepanjang 12 meter dan selebar 1,7 meter cukup bagus, merupakan yang terbesar dan nyaman yang ada di Agats. Selasa, 6 Juni 2006, pukul 08.00 longboat yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan Agats.

Perjalanan menyenangkan

Suasana di longboat sangat ceria. Saya dan Dina ngobrol santai, sementara Bagus dan Wendy tampak berbagi earphone, menikmati alunan lagu dari MP3 milik Bagus. Kami semua mengenakan rain coat untuk menahan angin yang berembus cukup kencang akibat laju longboat berkekuatan 40 PK. Satu jam pertama merupakan perjalanan yang menyenangkan.Langit masih cerah, namun mulai berkabut. Kami melintasi bangunan mercusuar yang menuntun kapal-kapal masuk ke muara Agats.
Ombak kecil mulai tampak ketika longboat meninggalkan muara Agats. Angin yang berembus juga semakin kencang. Longboat lincah membelah anak-anak ombak di hadapannya. Cipratan air mulai menerpa wajah saya dan Bagus, yang disambut dengan ledekan dan tawa canda teman-teman lainnya. Bagus dan saya basah kuyup disiram air laut karena duduk di sisi kiri kapal di mana ombak datang menerjang. 
Gelombang mulai membesar, longboat masih bisa membelah ombak yang datang. Saya menoleh ke belakang, Luky terlihat masih tenang dan tersenyum sambil mengemudikan longboat. Teman-teman pun masih terlihat tenang, namun earphone MP3 sudah tidak terpasang lagi di telinga Bagus dan Wendy. Kami semua konsentrasi menyaksikan longboat melaju meliuk-liuk membelah ombak. Dina yang tadinya hendak memasang MP3 akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali memasukkan ke dalam day pack.

Suasana berubah cepat

Saya mulai gelisah ketika ombak dari arah kiri longboat semakin besar, tingginya malah ada yang lebih dari satu meter. Guncangan hebat mulai kami rasakan ketika longboat mulai berayun ke sana kemari dihajar ombak. Satu waktu longboat melaju perlahan untuk memberi kesempatan ombak yang bergulung melintas di depan, dan terkadang longboat digas kencang untuk menghindari ombak yang datang. Air laut semakin banyak masuk longboat. Saya lihat Yunus di belakang sibuk mengeluarkan air dari longboat. Sempat terlintas dalam pikiran saya untuk kembali ke Agats. Namun tiba-tiba ombak besar menghantam dan airnya mengisi setengah tubuh longboat. Saya dan teman-teman mulai panik, saya lihat wajah Luky pucat. Beberapa detik kemudian ombak lebih besar datang menghantam dan menenggelamkan longboat, menumpahkan seluruh isinya. Saya pun terlontar ke laut. Ketika timbul di permukaan laut, saya lihat longboat sudah terbalik. Seluruh isi longboat bertebaran di laut. Saya sempat lihat jam yang menunjukkan pukul 10.00, jadi hanya berselang dua jam dariAgats longboat kami terbalik.

Kemudian saya teringat nasib teman-teman. Pertama saya cari Dina, untungnya dia tidak terlalu jauh dari jangkauan. Saya pegangi dan tarik Dina supaya mendekat, menyusul kemudian Wendy. Mereka berdua saya ajak berenang mendekati barang bawaan kami yang terapung di laut. Walaupun kami semua menggunakan pelampung, saya berpikir kami harus menemukan barang lain sebagai pelampung sekaligus pegangan untuk menyatukan kami bertiga. Saya lihat dry box besar terapung, lalu saya ambil dan saya suruh Dina dan Wendy untuk berpegangan ke boks tersebut.

Di kejauhan saya lihat Budi masih memegangi kamera dan sebuah day pack. Saya suruh Budi melepaskan kamera dan mendekat. Kamera hanya akan memberatkan dan menenggelamkan tubuh Budi. Sesaat kemudian ombak yang datang menghalangi pandangan saya ke Budi. Di sisi lain, saya lihat Bagus ditolong dan ditarik Yunus untuk berenang mendekat ke longboat. Bagus kemudian dibantu naik ke longboat dan duduk sambil berpegangan pada tambang. Saya mencoba memandang sekeliling, barangkali ada yang bisa saya ambil. Saya ingat day pack saya yang berisi handphone satelit. Namun karena banyak day pack yang dibungkus plastik hitam bertebaran, saya bingung memilih yang mana. Belum sempat saya memutuskan, kami kembali diterjang ombak dan barang-barang bawaan kami semakin bertebaran menjauhi kami dan sulit untuk dijangkau.

Saya, Wendy, dan Dina mencoba berenang mendekat ke longboat yang terbalik karena saya pikir kalau kami tetap bersama-sama akan lebih baik. Namun, ombak yang datang berlawanan arah menyulitkan kami mendekati Bagus dan awak longboat. Semakin kuat kami berenang, semakin kuat ombak menerjang dan menjauhkan kami dari longboat. Setelah saya merasa tidak mungkin lagi mendekati longboat, tiba-tiba Budi berenang mendekat, hal ini cukup melegakan saya. Kami kini berempat, berpegangan satu sama lain di boks yang mengapung membawa kami entah ke mana. Saat itulah kami melihat Bagus untuk yang terakhir kalinya. Dari kejauhan saya melihat barang-barang yang berisi peralatan kerja maupun pribadi bertebaran di permukaan laut.

Saya sangat terpukul karena telah menghilangkan demikian banyak aset kantor, juga barang berharga teman-teman. Saya jadi ingat ketika di Agats, Mas Dudit, Eksekutif Produser JP TV7, menelepon Wendy Mohamad Firman (35), mengingatkan agar berhati-hati dan menjaga peralatan syuting karena salah seorang kru Petualangan Bahari sudah kehilangan satu kamera besar akibat terjatuh ke laut ketika syuting di Kepulauan Raja Ampat, Sorong. Justru yang menimpa kamilebih dahsyat lagi. Tidak hanya 1 kamera besar, tetapi sekaligus 3 kamera sedang dan kecil berikut baterai dan charger, 2 laptop, 2 kamera digital, 6 telepon genggam, 1 PDA (personal digital assistant), 3 pemutar MP3, 2 tripod, dan banyak lagi peralatan kemping dari Tandike, sponsor JP, yang hilang. Lebih sedih lagi, ratusan master syuting sekitar 10 episode yang kami buat selama di Kepulauan Raja Ampat dan di Merauke juga ikut tenggelam di lautan. Saya menyesal tidak bisa menyelamatkan itu semua, terutama kaset-kaset yang cukup berharga, saya pasti akan mengecewakan penggemar JP karena sama sekali tidak ada tayangan JP dalam Ekspedisi Papua.

Kami kemudian mencoba untuk berorientasi, melihat ke sekeliling kami, barangkali ada pulau terdekat yang bisa dituju. Saya berpikir lebih baik kalau kami mencapai daratan daripada kami terus-menerus terapung tidak tentu arah. Kemudian saya melihat bayangan hitam di hadapan kami, yang diperkirakan sebuah pulau. Tanpa membuang waktu, kami lalu bersama-sama berenang sambil mendorong dry box sebagai pelampung. Lima jam kami berenang mendekati pulau terdekat, namun karena ombakberlawanan dengan arah kami berenang, akhirnya kami gagal mencapai pulau terdekat.

Ketika malam tiba, kami pun mencoba beristirahat dan menenangkan diri. Karena tidak ada yang bisa kami lakukan di kegelapan yang pekat, di tengah hantaman ombak yang belum juga reda. Pilihan kami adalah mencoba bertahan dan terus terapung hingga pagi hari. Saya masih tidak percaya apa yang telah saya alami. Saya masih ingat hari-hari ceria ketika syuting sebelum musibah terjadi. Kami mencoba menguatkan satu sama lain agar tabah dan sabar menghadapi cobaan ini. Jam demi jam kami lalui dengan penuh ketegangan dan siksaan, ombak besar dan angin kencang terus-menerus menggulung kami. Tanpa membiarkan kami untuk beristirahat sejenak, merenggangkan cengkeraman tangan-tangan kami pada dry box. 

Kami menggigil kedinginan, gigi gemeletuk satu dengan yang lain, sementara telapak tangan mulai keriput dan terluka karena gesekan dengan pegangan dry box. Ombak yang datang tidak saja mengguyur kami dengan air asin yang menyakitkan tenggorokan, namun juga kadang menenggelamkan kami 1 meter ke bawah permukaan laut untuk kemudian membawa kami kembali ke permukaan. Belum sempat kami menarik napas, ombak datang lagi. Kami berusaha untuk tetap berpegangan dan mengingatkan agar tangan jangan sampai terlepas. Bila terlepas, maka akan sulit bagi kami untuk meraihnya kembali. Tidak terhitung berapa liter air laut sudah kami telan, baik dari mulut maupun hidung. 

Saya melihat Wendy sudah semakin kepayahan. Kondisi fisiknya yang belum 100 persen pulih akibat serangan malaria di Senggo, Kabupaten Mapi, beberapa waktu lalu sebelum kami ke Agats, benar-benar membuat saya khawatir. Sementara itu, Budhi Kurniawan (33) berusaha untuk tidak panik dan bisa mengendalikan diri. Sementara Medina Kamil (24) atau Dina, wajahnya terlihat pucat, bibir membiru dan bergetar karena kedinginan. Kadang kepalanya terkulai lemah dan tidak berdaya, tetapi cengkeraman tangannya ke dry box tetap kuat. Dina terlihat sangat tenang dan tabah. Sama sekali saya tidak melihat dia panik. Ketika ia terlontar dari longboat pun ia tetap tenang. Ini benar-benar mengejutkan saya. 

Saya tidak menyangka gadis ini memiliki mental demikian tegar. Sejak longboat terguling hingga kami terapung semalaman, tidak ada satu pun keluhan dan ekspresi kecemasan di wajahnya. Dina samasekali tidak pernah menangis. Padahal, saya masih ingat betul, ketika Audisi Petualangan TV 7 lalu, kalau ada teman-temannya dipulangkan, ia yang paling keras menangis di antara teman-teman lainnya. Saya benar-benar kagum dan bangga. Namun, dalam hati kecil, saya juga sedih telah melibatkan Dina di trip pertamanya bersama Tim JP harus mengalami peristiwa yang tidak terperikan, yang saya sendiri berusaha keras untuk bisa tabah. Maafkan saya Dina.

Puluhan jam terapung tanpa melepas genggaman pada dry box membuat tenaga banyak terkuras dan tubuh lemah, ditambah lagi dengan serangan kantuk yang teramat sangat. Kami terkadang tertidur tanpa sengaja. Malah saya bermimpi beberapa kali ketika tidur yang sangat singkat, sebelum terjangan ombak membangunkan kami. Anehnya, mimpi saya sama dengan Dina. Mimpi-mimpi yang menyenangkan, seperti bermimpi ketemu kapal yang melintas, mendarat di pulau yang ramai orang, ditemukan tim SAR. Padahal kalau terbangun dari tidur, kami harus menerima kenyataan masih terapung di lautan lepas.

Hari ke-2 (7 Juni 2006)
Tanpa terasa, hari telah pagi. Sekitar kami mulai terang, namun matahari belum juga tampak. Kami harus segera memutuskan untuk menggapai pulau terdekat agar kami tidak lebih jauh terlempar ke lautan lepas. Arah yang kami tuju adalah timur. Namun karena matahari belum terlihat terbit, maka kami cari langit yang terang lebih dulu, yang menurut kami itulah arah timur yang kami tuju. Ketika tengah dihanyutkan ombak di puncak tertinggi, kami bisa lebih leluasa melihat sekeliling, nun jauh di sana, samar-samar kami melihat sebuah bentukan seperti siluet pulau. Dengan semangat kami berenang menuju pulau itu. Untungnya ombak searah dengan tujuan kami sehingga menambah laju pergerakan kami. Terlintas kekhawatiran kami menuju muara sungai karena di daerah muara banyak buaya berkeliaran. Buaya di sini sangat besar, panjangnya konon ada yang mencapai 7 meter. Salah seekor buaya yang ditangkap warga panjangnya 5 meter ada di Museum Asmat di Agats.

Setelah terapung selama hampir 20 jam, akhirnya kami menggapai gosong pasir. Ternyata pulau yang kami tuju masih jauh, kami harus berenang lagi. Tiga jam kami butuhkan untuk mencapai pulau. Setelah sampai, seluruh tubuh kami ambruk ke tanah, lemas dan tidak bertenaga sama sekali. Saya suruh mereka tenang, beristirahat, dan akhirnya kami semua tertidur di pasir hingga siang hari.

Pulau yang kami capai ternyata tidak begitu besar, kira-kira sebesar 2 kali lapangan bola. Namun, kami bersyukur karena tidak lagi terapung di lautan. Yang membuat saya lebih senang adalah di pulau itu ada tanah untuk diinjak, hal yang sangat langka di Papua selatan. Meski demikian, saya masih khawatir dengan air pasang yang akan menenggelamkan daratan di pulau ini. Maka, saya dan Budhi segera merobohkan pepohonan untuk membuat bivak di atas pohon. Sementara Dina dan Wendy sibuk mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Kemudian kami membongkar semua peralatan yang sempat kami bawa, mengecek barang apa saja yang masih berfungsi. Pertama yang kami periksa adalah apa yang ada di badan kami, ternyata pisau yang ada di pinggang saya dan Wendy hilang. Harapan saya ada pada day pack yang dibawa Dina. Karena kami semua lapar dan haus, kami berharap menemukan makanan dan minuman di day pack Dina karena dalam setiap perjalanan masuk ke pedalaman, Dina selalu menyelipkan makanan dan minuman dalam day pack-nya. Namun, harapan kami sia-sia, ternyata tidak ada secuil makanan dan minuman sedikit pun. Dina lupa memasukkan makanan dan minuman rupanya. Yang kami temukan adalah sebuah pisau, obat-obatan, peralatan mandi, dan perangkat kecantikan Dina, ditambah 2 korek api gas.

Dry box kami ternyata digembok dan kuncinya ada pada Bagus Dwi (25). Kami terpaksa membongkar gembok untuk melihat apakah ada barang berguna yang bisa kami pakai. Setelah terbuka, kami melihat di dalam dry box ada aki kering, lampu, charger, playstation lengkap dengan stiknya, LCD, dan tool kit. Apa boleh buat, dengan peralatan yang ada, kami berusaha untuk bisa tetap hidup di pulau ini. Pertama yang kami lakukan adalah membuat api unggun. Namun ternyata ada masalah, satu korek gas sudah rusak, sementara yang satu lagi tidak bisa dihidupkan, terpaksa Budhi menganibal korek yang rusak. Sementara saya dan Budhi mencoba mengakali korek api, Dina mencoba membuat api dengan kaca pembesar dan Wendy mengumpulkan kayu kering. Setelah dua jam berusaha, akhirnya api unggun berhasil dinyalakan.

Sejak terapung hingga terdampar, kami sama sekali belum makan dan hanya minum air laut. Lidah, langit-langit, dan tenggorokan terasa kering dan perih karena sering dilalui air laut. Ditambah lagi perut sakit melilit karena belum ada secuil makanan pun yang masuk. Kami pun lalu berkeliling mencari makanan dan air, sekaligus untuk mengenal lebih jauh pulau yang akan kami tinggali. Budhi masuk rawa-rawa untuk mencari air. Satu jam kemudian ia keluar sambil tersenyum. Budhi memperoleh air untuk minum sebanyak satu botol obat.

Ternyata yang diperoleh Budhi adalah air hujan yang tergenang di pepohonan sehingga baunya pun mirip bau pohon, warnanya pun kecoklatan. Apa boleh buat. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak. Selain kedinginan, saya khawatir dengan kondisi pulau yang belum saya kenal baik. Dari arah rawa-rawa di kegelapan malam yang pekat, terkadang saya mendengar suara ranting patah terinjak atau suara langkah-langkah di air rawa. Siang itu kami belum sempat masuk hutan dan melihat ada binatang apa saja di sana. Saya khawatir kalau yang muncul buaya atau yang lainnya. Malam itu saya lalui dengan penuh kecemasan dan ketegangan, sementara teman-teman tertidur lelap.

Botol air mineral

Hari ke-3 (8 Juni 2006).
Pagi-pagi saya dan Wendy berkeliling pulau. Saya berharap bisa menemui kapal yang melintas di sekitar pulau. Di pantai banyak sampah berserakan. Kami coba mengumpulkan barang-barang yang masih bisa digunakan, seperti botol air mineral, jala bekas, tali, dan kaleng. Kelakuan kami tidak ada bedanya dengan pemulung. Alangkah senangnya saya bila menemukan botol mineral yang masih berisi air. Setelah dicium dan ternyata tidak berbau, maka kami yakin air yang terisi merupakan air mineral yang entah sudah berusia berapa lama. Saya akan melakukan apa pun untuk bisa memperpanjang hidup saya dan teman-teman. Air temuan itu saya bagikan ke teman- teman.

Ketika sampai di ujung pulau dari jauh Wendy teriak kapal, sambil menunjuk ke suatu arah. Saya perhatikan memang kapal. Dada saya berdegup kencang, kesempatan untuk dievakuasi terbuka. Saya pun berlari di pasir, agar lebih dekat lagi dengan kapal sambil teriak minta tolong, meniup peluit, dan mengibarkan raincoat merah saya. Usaha saya membuahkan hasil. Di atas kapal ada orang yang melambai, kemudian orang itu turun dan tidak kembali ke atas. Saya dan Wendy terus berteriak minta tolong dan melambai- lambaikan tangan, sambil terus berlari mengejar kapal. Namun, kapal terus bergerak menjauh. Dina yang juga melihat kapal ikut berlari dan berteriak, tetapi kapal semakin jauh dan mengecil. Terlihat kekecewaan mendalam di wajah Dina. Dengan menjauhnya kapal, berarti harapan untuk keluar dari pulau hilang.

Saya mencoba menghibur Dina untuk bersabar dan tabah. Saya katakan, mungkin kapal tersebut takut untuk mendarat karena tidak mengenal kami. Saya hanya berharap awak kapal menyebarluaskan kepada penduduk kalau mereka melihat orang teriak minta tolong di suatu pulau sehingga keberadaan kami diketahui orang. Siang hari matahari bersinar dengan terik, sepertinya ada tiga matahari di atas kepala. Kami pun masuk ke rawa dan berlindung di pepohonan untuk menghindari panas agar tidak dehidrasi dan tidak membuat kondisi wajah kami lebih parahlagi, yang semakin memerah akibat tersengat matahari. Wajah di beberapa bagian mulai mengelupas. Yang paling parah adalah Wendy, selain terbakar matahari, hampir seluruh pipinya terkelupas akibat pipinya bergesekan dengan dry box ketika terapung di lautan.

Ketika sinar matahari mulai meredup, saya kembali mencoba membuka siput. Saya menemukan pembuka busi sebagai martil kemudian membuka box charger untuk alas. Cangkang siput saya pukul dan ternyata berhasil. Setelah dipukul berkali-kali akhirnya cangkang hancur sehingga saya dengan mudah bisa mengambil dagingnya. Hal ini disambut sukacita oleh teman- teman. Siang itu kami menyantap siput bakar dengan lahap.
Sorenya saya dan Budhi berhasil menangkap seekor karaka atau kepiting dengan capit besar. Makan malam kali ini sangat nikmat, siput dan kepiting bakar. Belum terlalu larut malam Budhi, Wendy, dan Dina sudah mengelilingi api unggun, pertanda akan berangkat tidur. Malam ini teman-teman tidur dengan nyaman, baju kering, tidur di sebelah perapian yang hangat. Saya sendiri tidak biasa tidur cepat. Saya biasa tidur di atas jam 12 malam. Kesendirian saya isi dengan menjaga api unggun agar tetap besar dan menghangatkan teman-teman yang tertidur lelap. Terlintas dalam pikiran saya, semoga saja nasib Bagus lebih baik dari kami, keberadaan awak longboat lokal yang tahu medan diharapkan bisa cepat mengeluarkan Bagus dari laut dan menyebarkan informasi tentang kami sehingga pencarian segera dilakukan.

Persediaan air menipis

Hari ke-4 (9 Juni 2006).
Pagi ini seperti biasa sarapan kami menunya siput bakar. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan rutin, cari kayu bakar, berkeliling pulau untuk memulung dan melihat barangkali ada kapal lewat, dan cari makanan. Makanan dan minuman yang sangat minim membuat tubuh kami semakin lemah dan tidak bertenaga. Kalau pada hari sebelumnya kami mampu berjalan cepat, kali ini jalan pelan saja sudah ngos-ngosan. Saya mengkhawatirkan kondisi teman-teman akan semakin memburuk jika tidak cepat ditemukan. Luka-luka di bagian wajah dan kaki teman-teman juga jadi ancamanserius kalau sampai infeksi bisa membuat tubuh panas demam. Mau menangis rasanya kalau membayangkan bila hal ini terjadi. Terlebih lagi persediaan air genangan sudah habis, hari ini kami sama sekali belum minum. Saya bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa agar tim SAR atau nelayan cepat menemukan kami dan turun hujan.

Tetap bertahan hidup di pulau adalah pilihan terbaik. Kalau kami pindah ke pulau lain, dikhawatirkan kondisi pulau berawa-rawa sehingga kami harus membangun bivak di atas pohon. Hal itu tentunya akan menyulitkan kami untuk bertahan hidup karena sangat sulit membuat api unggun dan mencari makan. Dina, saya perhatikan, tengah membuat alat pancing, kailnya dari peniti, pelampungnya dari batang kayu, dan benang dari tali jala yang diurai. Bukan main nih anak, ada saja yang dia kerjakan yang bermanfaat untuk kami. Dina jugalah yang membuat teman-teman tetap semangat untuk bertahan hidup. Hanya kurang dari lima menit Dina bisa memancing ikan dua ekor dengan pancingnya. Sayangnya, ikan hasil pancingannya adalah ikan buntal yang sangat berbahaya kalau dimakan karena beracun. Tanpa kecewa dilepaskannya lagi ikan buntal tersebut dan dia mencoba lagi memancing di tempat lain hingga akhirnya ia memperoleh tiga ekor ikan masing-masing sebesar ibu jari kaki. Lumayan untuk merasakan aroma lauk lain di samping siput.

Saya tidak mau kalah dengan Dina, saya buat tombak dengan mata tombak dari pinset yang diikat ke sebatang kayu dengan tali. Saya buat tombak karena saya pernah lihat ikan sebesar paha berkeliaran di rawa-rawa. Salah seekor dari ikan tersebut pernah saya tombak, tetapi lolos. Sepertinya doa kami akan terkabul, awan gelap menggelayuti langit-langit. Kalau hujan turun,pastinya kami akan memperoleh air minum. Kami pun menyiapkan dry box untuk menampung air. Kemudian kami juga menyiapkan terpal untuk menutupi api unggun agar tidak mati. Benar saja, hujan turun dengan derasnya, penampung dengan cepat terisi. Dengan sukacita kami mengambil gelas dan meminum air hujan di dry box. Mata saya berkaca, terima kasih Tuhan. Di saat kami kehausan karena seharian tidak minum, Kau turunkan air hujan untuk kami. Tanpa peduli basah kuyup kami tengadah meminum air hujan sepuasnya.

Diselamatkan

Hari ke-5 (10 Juni 2006).
Malam itu kami tidur di atas pasir basah, pakaian basah, angin dingin berembus, tetapi tidak kehausan lagi. Dari hari ke hari kami terbiasa dengan penderitaan. Kami tidak peduli lagi ketika hujan turun mengguyur tubuh ketika kami tidur. Kami berhasil menampung air hujan semalam dalam empat botol air mineral ukuran besar, cukup untuk persediaan air minum beberapa hari ke depan. Siput pun berlimpah. Namun, keresahan mulai menghinggapi hati saya, mengapa belum ada juga usaha pencarian terhadap kami. Sudah empat hari ini sama sekali tidak ada speedboat, pesawat, atau helikopter SAR yang melintas melakukan pencarian. Apakah musibah yang menimpa kami sama sekali belum diketahui orang dan kantor.

Berbagai analisis dan perkiraan berkecamuk di kepala saya. Alex, pemilik longboat, seharusnya curiga kalau longboat-nya tidak pernah sampai Timika. Harusnya Alex melaporkan kejanggalan ini kepada yang berwajib sehingga upaya pencarian dilakukan. Demikian harapan saya di antara keputusasaan yang sedikit-demi sedikit mulai menggerogoti. Berat rasanya untuk tetap bertahan dengan kondisi seperti ini. Apalagi siangnya saya melihat air pasang terus meninggi sehingga tanah yang biasa kami injak semakin sempit. Berkali- kali kami harus memindahkan api unggun karena sudah tertutup air. Sementara bivak yang kami bangun sudah roboh dihantam air pasang. Kalau demikian terus, kami harus tinggal di atas pohon, yang tentunya akan semakin menyulitkan kami untuk bertahan karena tak bisa membuat api unggun. Nantinya siput akan kami makan mentah-mentah. Ngeri saya membayangkan bila hal itu terjadi.

Tiba-tiba saya melihat ada pesawat melintas di atas kami. Dengan cepat saya berteriak ke teman-teman. Mereka semua berhamburan keluar rawa dan melambaikan raincoat yang berwarna cerah dan berteriak minta tolong. Harapan akan ditemukan kembali timbul di hati kami. Kami semua yakin pesawat yang melintas tengah melakukan pencarian. Logikanya, kalau pesawat reguler yang melintas, tidak mungkin sedekat itu terbang dan melakukan manuver. Kami berdoa awak pesawat dan penumpang melihat kami dan cepat menjemput kami.

Selepas pesawat melintas kami semua terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing, kecuali Dina yang tengah sibuk membakar sate siput yang kini menjadi makanan kegemarannya. Satu jam berlalu tanpa terjadi apa-apa. Namun, tiba-tiba Budhi terlonjak berdiri dan berlari ke arah pantai. Budhi berteriak, “Speed.speed..” Memang tidak lama kemudian muncul speedboat menghampiri kami. Kami semua melonjak kegirangan, berteriak sekeras-kerasnya, dan berpelukan, tanpa terasa mata kami sudah berkaca-kaca, lalu bertangisan.. 

Habis

(Tulisan saya buat sehari setelah ditemukan Tim SAR dan dimuat di harian KOMPAS selama tiga hari berturut-turut)

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salamTopi Rimba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar