Minggu, 22 Desember 2013

Catatan Tragedi Andika - GN. Semeru, Agustus 2009

Mengenang 4 tahun tragedi Semeru (Andika) - Ulasan catatan Kronologis tragedi pendakian semeru dari survivor Andika (Fisip-UGM) Agustus 2009, oleh Kang Mas Jenggot. Sebagai kajian pembelajaran bersama, bahwa aktivitas petualangan sarat dengan resiko dan beberapa diantaranya bisa berakibat kematian terhadap diri sendiri, dan juga orang lain. 

01 Agustus 2009, 01:19:34 AM

Sengaja tema ini saya angkat kembali mungkin sebagai tulisan terakhir untuk hal-hal yang berkaitan dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebelum saya teruskan ada baiknya rekan-rekan flashback kembali ke bulan Juni 2007 (6 tahun yang lalu) dalam salah satu diskusi saya dengan rekan-rekan AMC (Bpk Joko Daryono) ketika wacana ini sudah dibongkar secara gamblang berkaitan dengan pola-pola pengamanan jalur maut (puncak – arcopodo – kalimati).

Dan hari ini semua apa yang sama-sama kita takutkan benar-benar terjadi, bukan?

Siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab tidak lagi penting untuk dibahas. Tetapi solusi-solusi yang jelas untuk langkah preventif kedepanlah yang harus sama-sama kita pahami. Lepas apakah nantinya didengar dan dilaksanakan. 

Andika saya kira adalah korban dari carut marut pengelolaan sistem taman nasional yang cenderung sentralistik. Tidak seperti gunung-gunung yang memiliki manajemen pengelolaan berbasis rakyat seperti sindoro, sumbing, Arjuna, dll, yang memiliki tingkat pengamanan jalur dan respon yang lebih cepat karena jalur birokrasi yang pendek.

Memang secara subjektif pendaki, saya kira rekan-rekan Setrajana Fisip UGM (Andika,cs) pun memiliki kekurangan-kekurangan teknis yang cukup fatal. Tidak adanya alat komunikasi, navigasi dan yang jelas melanggar himbaun PVMBG untuk menjauhi kawasan puncak semeru menjadi faktor-faktor penyebab musibah ini terjadi di atas sana. 

Dari sisi regulasi memang tidak ada yang salah dengan TNBTS, tetapi dari segi pelayanan dan keamanan jalur, khususnya di kawasan jalur rawan sekitar puncak, saya kira pihak Taman Nasional menjadi satu-satunya pihak yang layak untuk memberi penjelasan. 

Jujur saya pribadi dengan beberapa rekan sebenarnya sudah tidak mau tau urusan-urusan teknis, tetapi ketika mengetahui kronologis hilangnya andika di semeru, saya seperti mengalami dejavu bahwa musibah-musibah seperti ini pernah terjadi dan akan terus terjadi.

Berikut kronologis dan analisa pribadi musibah semeru Juli 2009

Sabtu, 25 Juli 2009: Tujuh orang pendaki melakukan pendakian pada dari Ranupani

Selasa, 28 Juli 2009:
06.00 WIB - Team tiba di Puncak Jongring Seloko
09.00 WIB - Team turun dari puncak
10.00 WIB - Terjebak badai dan Andika keluar dari jalur (dis-orientasi di sekitar arcopodo)
11.00 WIB - Team dibagi dua (satu team mencari keatas) satunya lagi ke kalimati.
12.00 WIB - Team re-group di Kalimati dan diputuskan tiga orang turun ke Ranupani
17.00 WIB - Kabar hilangnya Andika sampai di Ranupani dan SRU dikirimkan (sampai dengan Sabtu, 1 Agustus 2009, Pukul: 00.45 WIB) belum ada kabar ditemukannya Andika.

Hasil wawancara dengan korban selamat: 

(Selasa, 28 Juli 2009, sekitar Pukul 09.00 Pagi) Kondisi angin yang ada cenderung* mengarah ke arah rombongan maka suara teriakan dari Andika dapat terdengar oleh rombongan. Namun suara rombongan tidak dapat terdengar oleh Andika".

Artinya (analisa pribadi saya): Team UGM ini sepertinya kurang mengerti arah (navigasi) karena dalam penjelasannya mereka tidak menyebut ke arah mana hilangnya Andika di kawasan puncak. Dan ini FATAL! 

Dalam pandangan pribadi saya, kemungkinan besar Andika bergerak ke arah Tenggara–Timur (NE) dari sekitar Arcopodo dan tersesat. Karena memang angin di sekitar Arcopodo memiliki ciri khas berarah Selatan Barat Daya (SSW). Itulah mengapa tidak ada pendaki yang terkena langsung letusan wedus gembelnya* “Jongring Seloko” di puncak* karena memang angin cenderung berarah (menuju) Selatan, bukan?

Mengapa Pendaki-pendaki yang tersesat di kawasan puncak selalu menuju ke arah Tenggara–Timur (NE), karena kontur arah Tenggara adalah satu-satunya medan yang bisa dilalui dengan tanpa menggunakan pengaman (tali). Sedangkan ke arah Barat–Barat Laut (NW) adalah jurang yang cukup dalam. Sedangkan jalur yang benar menuju Arcopodo adalah arah utara kompas (nyaris arah nol (0) derajad dari puncak).

Ke arah manakah nantinya seorang survivor yang tersesat dari Arcopodo, menuju ke arah Tenggara, saya kira ada dua kemungkinan: 
  1. Semakin tersesat di Hutan Candipuro 
  2. Atau Sumbermujur. Dan kemungkinan bertemu desa di bawah Pasrujambe ataupun berhasil mencapai cekdam (sungai) Besuk Sat. Yang paling enak adalah berhasil ditemukan oleh team SAR (seperti kasus hilangnya turis amerika yang membuat separuh aparat negara ini ikut "sibuk").
Tahun 2004 ketika saya (dalam sebuah mapping project) mencoba membuka jalur Besuk Sat – Kalimati dibutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk mencapai Kalimati dengan peralatan navigasi yang standar. Di sana ada dua aliran sungai lahar besar yang satu mengarah ke Besuk Sat dan yang lain mengarah ke Timur menuju Sumbermujur. 

Skenario SAR yang disiapkan saat ini sudah benar dan dalam arah yang tepat. Hanya sekali lagi hal ini kembali lagi kepada ketahanan dan kemampuan fisik dan teknik survivor yang tersesat di lereng-lereng Semeru. 

Dalam kondisi normal maka hari ini dan besok (Minggu, 2 agustus 2009) adalah masa-masa paling kritis ketahanan seorang survivor di alam bebas (jika memiliki ilmu surival). Tetapi jika seorang amatir, ya marilah kita berdoa semoga ada keajaiban yang terjadi.

Sekali lagi uraian di atas hanyalah analisa saya pribadi berkaitan dengan kronologis hilangnya Andika di Gunung Semeru. Validitas dan akurasinya tidaklah menjadi acuan. Dan tetap berharap semoga besok pagi ada kabar baik dari SRU yang sekarang sedang bekerja keras di atas sana.

Sabtu, 01 Agustus 2009 Pukul: 11:36:49am (Update dari Balai Besar TNBTS):

“Pagi ini Team SRU Lumajang berhasil menemukan bivouac tempat beristirahat survivor setelah sebelumnya Team SRU berhasil menemukan beberapa peralatan pendakian survivor.. Posisi masih di sekitar tebing 75 (kawasan aliran lahar dingin). Proses SAR difokuskan di Tawon Songo / Pasrujambe berdasarkan modus catatan pendaki-pendaki yang tersesat di Gunung Semeru”.

Jika kita plot posisi tebing 75 jalur Tawon Songo (Pasrujambe) di peta, maka kemungkinan paling logis posisi survivor masih berada di ketinggian lebih dari 2200 meter(dpl). Sementara desa terdekat masih sangat jauh dan berketinggian 970meter(dpl).

Kabar baiknya adalah proses SAR sudah mengunci daerah pencarian dan fokus untuk menyisir arah Timur Laut – Timur – dan Tenggara sesuai dengan analisa saya pada posting sebelumnya, dan saya kira* kemungkinan besar survivor dapat ditemukan dalam waktu dekat. Hanya kondisi survivor masih hidup atau tidak itu yang masih sama-sama kita tunggu.

Kabar buruknya adalah area ini (Tawon Songo – Pasrujambe) adalah “death zone” nya pendaki-pendaki tersesat di Semeru. Jika kita ingat Markus dan Riko yang hilang tahun 2007 lalu pun memiliki kronologis yang 99% nyaris sama dengan Andika kali ini. Sayang sangat sedikit pendaki-pendaki Indonesia yang mau ingat sejarah-sejarah musibah pendakian!

Maret 2009 sebuah team survey (VSI) Gn. Semeru (kebetulan salah satunya adalah rekan kerja saya) menemukan dua mayat pendaki (sudah menjadi tulang) di area ini. Semoga team SAR berhasil menemukan survivor dalam kondisi apapun.

Minggu, 02 Agustus 2009, Pukul: 04:48:41pm

Setelah enam hari dalam proses pencarian, akhirnya pukul 11.39am, survivor Andika berhasil ditemukan oleh team SAR gabungan (Malang & Yogya) dalam kondisi meninggal dunia di dasar jurang area Blank 75. 

Meskipun sebelumnya dikabarkan kalau Blank 75 sudah disisir beberapa kali oleh SRU pertama (SAR Lumajang) tetapi tidak menemukan survivor di sana. Ada cerita-cerita mistis yang berkembang kemudian, berkaitan sedikit kejanggalan ini, tetapi kali ini saya tidak akan membahas mistisnya.

Tuntas sudah perjuangan rekan kita (Andika) selama enam hari hilang dan tersesat di gunung semeru. Catatan korban pendakian gunung semeru pun bertambah lagi menjadi 28 orang (yang tercatat) sejak soe hok gie tewas di cemoro tunggal tahun 1969, dan entah berapa puluh orang lagi yang tidak tercatat dan masih hilang diatas sana. Dan semoga setelah ini tidak ada Andika-Andika lain dalam aktivitas petualangan di Indonesia. 

Mari kita sama-sama mengambil hikmah dari kejadian ini untuk bahan renungan, pengetahuan dan pemahaman kita bahwa resiko akan ada dalam setiap aktivitas petualangan. Dan meminimalisasi resiko dengan pengetahuan dan pembelajaran dari pengalaman yang ada adalah solusi yang paling sederhana untuk bisa sama-sama kita lakukan. Salam. (ID: Vulcano.Hunter - kaskus.co.id)

Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas,  semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar