Selasa, 27 Mei 2014

Catatan Survivor Rico - GN. Merapi, November 2013

Sabtu, 02 November 2013 

Satu bulan yang lalu saya dan teman-teman berencana untuk mengisi hari libur dengan Pendakian ke Gunung Merapi dan Merbabu. Siang hingga sore hari saya bersama Panji menyiapkan Logistik dan perlengkapan yang akan digunakan untuk pendakian. 

Selesai menyiapkan logistik dan perlengkapan, saya, Afi, Panji, dan Jamal berangkat menuju ke Terminal Bungurasih. Pukul 18.00 Waktu Indonesia Bagian "Jam Tanganku", kami tiba di Terminal Bungurasih. 

Menunggu kedatangan teman-teman yang lain, Mas Danis dan Andik (bukan Vermansyah), kami sempatkan untuk mengisi perut, namun, sampai satu jam berlalu belum ada tanda-tanda kemunculan ke-2 orang tersebut. 

Pukul 19.15 (sudah ngantuk, dan capek), datanglah Mas Danis, disusul oleh Andik 15 menit kemudian. Andik mengajak temannya yang lain, yaitu Mas Sigit. 

Mungkin karena sedang long week-end (pas libur panjang), agak lama juga dapet bus. Pukul 20.15 Tim rombongan naik bus, berangkat menuju Kota Solo.


Minggu, 03 November 2013

Pukul 03.00 pagi saya terbangun, tak sadar sudah tiba di Kota Solo (mirip lyricnya kereta malam). Di Tirtonadi Solo, kami istirahat 15 menit, dan melaksanakan ibadah subuh di Terminal Tirtonadi. Di musholah Terminal Tirtonadi kami ketemu temen baru Mbak Al, dan Mas Yayan. Selanjutnya perjalanan ke Boyolali ditempuh selama 30 menit.

Pukul 05.10, start menuju Pasar Cepogo, dapet harga murah sih, tapi kok mobilnya ga kuat nanjak, dan hasilnya kami harus berjalan kurang lebih 1 km ke Ps. Cepogo. Sudah nyampek pasar, dan dapet bis ke Selo, eh Nunggu jam 7 baru kemudian berangkat. 53 menit kemudian, sampailah kami di Selo, lagi-lagi jalan ke New Selo, sambil pemanasan badan.


Start Pendakian Menuju Pasar Bubrah

Jam 08.15, New Selo. Di Tulisan ala Holywood itu kami berada saat itu untuk melengkapi logistik, beberapa dari kami sarapan di sini termasuk saya sendiri. Jam 09.20 kami berangkat deh, dan ga lupa berdoa dulu. 

Well, perjalanan dimulai, tanpa kepikiran kalo ini awal petualanganku tiga hari jadi survivor. Setelah melewati perkebunan warga, Jam 10 udah tiba di Gapura “Welcome To Merapi Mount National Park”. 

Hm.. gak terasa 2 jam berjalan saya, Afi, Al, dan yayan. Teman yang lain tertinggal 30 menit, dua orang dalam Tim kami kondisi fisiknya perlu perhatian khusus. Di sini saya berhenti sejenak karena rintik-rintik gerimis. 

Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berencana untuk berhenti di Pos I. 1 jam berlalu, belum juga bertemu Pos I, tapi kami menemukan tempat yang sangat indah untuk foto.

Setelah Mas Yayan ngabisin sebatang rokoknya, ternyata udah gak gerimis lagi, dan kami melanjutkan perjalanan lagi menuju ke Pos I.

Sepanjang jalan banyak pendaki yang turun dan mengingatkan kami, bahwa di atas pasar bubrah sedang terjadi badai. 

Satu jam berlalu lagi, dan kami sempat putus asa, karena Pos I saja belum ketemu, gimana puncaknya? Dalam hati saya, jangan-jangan Gunung Merapi sejenis dengan Gunung Argopuro. 


Tiba di Pos Kedua

Rasanya sudah gak sabar juga sih. Akhirnya saya tanya orang aja. “Pak, Pos I masih jauh ga?”. “Lhah! Sudah jauh di bawah tadi mas, 10 menit lagi aja udah pos II”. Jawab si bapak. What!? Ternyata tempat kami berhenti waktu gerimis tadi terletak di dekat Pos I. 

Tiba Pos II kami putuskan untuk menunggu teman yang lain dan lagi-lagi sempatkan waktu untuk berfoto. Tigapuluh menit, mereka belum dateng juga, si Afi sudah terlelap dan mimpi tiba di puncak. 

Lima belas menit kemudian sampailah Mas Danis, Andik (bukan Vermansyah), dan Sigit udah nyampek, tapi Panji? Jamal? Belum keliatan juga ujung hidungnya. Tapi Mas Danis Bilang “Gak apa-apa, kita tunggu di pasar bubrah aja”. 

Lima menit kemudian kami melanjutkan lagi ke Pasar Bubrah, sepanjang perjalanan sampe di atas Watu Gajah, ada sekelompok pendaki lain mengingatkan kami dengan kalimat, "Di atas badai Mas". 

Benar juga katanya, belum juga nyampek pasar Bubrah, angin ga seperti yang kami kira.

Sebelumnya juga saya pernah merasakan tiupan angin kencang di Gn. Arjuno, tapi tidak sekencang angin di sini. 

Angin ini merupakan yang paling kencang yang pernah saya rasakan. Tigapuluh menit kemudian kami sampai di Batu In Memoriam Pelajar Pecinta Alam SMA 4 Yogyakarta. 

Setelah mengheningkan cipta sejenak kami mencari tempat istirahat untuk memasak dan menunggu teman-teman yang lain. 

Lama juga kami menunggu teman-teman sambil kami menyalakan kompor Gasmate kami dan memasak di atas nesting, tak jauh dari tempat persembahan masyarakat sekitar untuk Gn. Merapi. 

Ada Tengkorak Kerbau di balut dengan kain Putih tak jauh dari tempat kami, dan juga tempat menyalakan dupa, posisinya di sebelah kami, yang sempat tersenggol olehku. 

Sekitar pukul 14.45 datang lah Mas Danis disusul oleh Panji dan Jamal. Bravo Kawan! kalian sanggup sampai di sini!


Pendakian Menuju Puncak Merapi

Sekitar jam 15.05, itu adalah Terakhir kali saya melihat Jam, karena setelah itu HP kumasukkan ke dalam tas kecil. Tak lupa Victorinox kesayanganku (hadiah dari temanku saat dia di Eropa), kugantung di pergelangan tangan dan kumasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abuku dulu yang selalu menemaniku ke Pucak Gunung. 

Botol Air mineral 600ml yang sudah kumodifikasi tutupnya kuberi selang, jadi aku ga perlu repot buka-tutup. Semua barang-barang bawaan kami tinggal di Pasar Bubrah, untuk meringankan beban kami.

Kabut dan badai sudah mereda, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak merapi. Namun di tengah perjalanan, kabut mulai nampak lagi, dan angin mulai kencang, tapi tanggung sudah setengah perjalanan pikir kami. 

Perjalananan sudah sejauh ini, sangat sayang apabila kami gagal. Hingga akhirnya setelah jalan pasir, batu kami lalui kami sampai juga di Puncak Merapi pada pukul 16.00. 

Kami harus menunggu panji dan jamal sehingga mereka sampai diatas. 15 menit kemudian Panji dan Jamal sampai juga di Puncak Merapi. Selamat kawan!

Tak lama , tiba-tiba hujan mengguyur kami, tepat jam 16.30 kami memutuskan turun. Sekarang giliranku dan mas Danis yang memBack-up panji dan Jamal.

Mereka berlima turun lebih dulu. Hujan yang begitu deras memaksaku untuk menitipkan Tas yang aku bawa ke pada Mas Danis, di dalam tas itu ada Beberapa HP yang sebelumnya dititipkan kepadaku. 

Saya berada di depan jamal untuk mencarikan jalur yang aman untuk dilalui. “Lewat kanan ae! dalane enak!” (lewat kanan saja, jalannya enak). Itu adalah kata-kata terakhirku sebelum akhirnya ada badai yang menghempasku jatuh.


Awal Mula Terpisah Dari Rombongan

Jatuh! Ya saya jatuh tersungkur dan terperosok pasir dan kerikil, kurang lebih sama dengan Ian (Saykoji) waktu jatuh di film 5 cm. 

Agak lama saya terjatuh hingga, sempat ling lung, dan pusing. Saya lihat ke belakang, hanya kabut yang saya lihat, jarak pandangku tak lebih dari dua meter.

Saya teriak: "Mas Danis!" Namun tak lebih kencang untuk mengalahkan suara angin kala itu! 

Saya jongkok, untuk melihat jalanan (terhalang kabut). Saya kira, saya tetap berada di jalur yang benar, namun sudah tertinggal karena tadi sempat terjatuh. Dan saya harus sampai pasar bubrah sebelum waktu petang!

Saya berdiri, ternyata sandal gunung sebelah kiri putus. Saya lepas dan tinggalkan di tempat itu. Saya berjalan cepat. Namun sial, lagi-lagi ga bisa menjaga keseimbangan karena hempasan angin. Lagi-lagi saya terjatuh. 

Saya terkejut kala itu karena angin benar-benar kencang, membawa terbang batu-batu seukuran lebih besar dari kelapa. Saya putuskan tidak berdiri karena beresiko terkena batu-batu itu. 

Sampai akhirnya batu berukuran lebih dari 2 X ukuran bola basket mengenai punggungku. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali batu itu tidak menghantam Kepala.

Ya Alloh.. Saya tersesat! Ya saya tersesat, Sendirian, di Gunung Merapi. Saya berlari ke bawah menghindari batu-batu yang terbang itu.

Hingga akhirnya sampai di tempat yang mirip pasar Bubrah. Mirip? Ya Mirip sekali, namun saya hanya berputar ditempat itu. Dan saya sadari! Itu bukan Pasar Bubrah. 

Seolah-olah tidak ada jalan, saya duduk di sebuah batu menenangkan diri. Berpikir bagaimana saya bisa keluar dari sini dan kembali ke Rumah di Surabaya.

Saya melihat kala itu ada jalur seperti sungai, namun gak ada air sama sekali, sepertinya bekas sungai. Ya! Pikirku kala itu, Jalur sungai pasti ujungnya ada pemukiman / perkebunan warga. BISMILLAH!

Saya akan memilih jalur itu. Berbekal Victorinox, Botol Air Mineral 600ml (ada isi air 1/4 botol). Sandal cuma sebelah kanan saja, kain sarung saya lilitkan di kepala, mirip jaman kecil kita dulu bermain ninja-nijaan. 

Pakaian yang saya pakai kala itu adalah kaos batik, bergambar plesetan wayang yang bermain gitar. Celana SMA, dan Baju Almamater HISTALA 7 (Himpunan Siswa Pecinta Alam SMAN 7 Surabaya) organisasi yang kucintai sampai sekarang ini meski sudah 6th jadi alumni.


Survival Hari Ke-1

Jalan yang kulalui berbatu sangat tajam, terasa menusuk telapak kaki kiriku. Mungkin saat itu sekitar pukul 5.30an, saya tidak tahu pasti. Yang jelas matahari mulai menghilang, berganti shift kerja dengan sang Rembulan. 

Saya sampai pada ujung jalan! Ya ternyata dibawahku adalah tebing, meskipun Cuma sekitar lima meter (ga tau pastinya keadaan sudah gelap), tapi benar-benar extrim bagiku. Dimana gak ada perangkat safety apapun, dan penerangan saat itu hanya cahaya dari Sang Pencipta, terima kasih Bulan. 

Saya turuni tebing itu dengan segenap tenaga dan kemampuanku, yap sampai di bawah dengan selamat, namun yang gak selamat adalah sandal gunungku yang kanan! 

Kembali menelusuri jalur bekas air, namun sekarang tanpa alas kaki apapun. Saat itu, saya merasa ada yang mengikutiku, namun saat kulirik betapa terkejutnya.

Sepertinya saya melihat batu kerikil yang melayang di dasar tebing tadi. Ah, mungkin hanya perasaan saja.

Saya terus melanjutkan langkah kaki. Tuhan! Cobaan apalagi sekarang, hawa dingin benar-benar terasa saat itu ditambah rintik-rintik air kini ikut menemani perjalananku.

Jalan, terus berjalan saat itu, tanpa makanan. Terakhir makan adalah jam 8.30 tadi pagi. Sisa air minum tinggal ¼ botol. Letih ditambah medan yang sangat sulit ketika dilalui dalam kondisi cahaya seperti ini. 

Istirahat, itulah yang pernah kudapat ketika dulu belajar ilmu tentang survival. Saya harus menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan di hari esok.

Saya melihat ada batu besar sekali dan ada cekungan di bawahnya dan ada batu yang lebih kecil seolah mengganjalnya agar tak jatuh, dan istirahat di dalamnya. Resiko ketika itu adalah, kapanpun batu itu bisa saja jatuh. 

Menangis! Ya saya akui, kala itu saya menangis sekencang kencang nya. Mama, keluarga, semua teman-teman yang ikut tadi, Afi, Panji, Danis, Andik, Sigit, Al, Yayan. Saya sayang kalian! Saya gak mau kalian nangis karena saya. Jadi saya harus selamat!

Setelah saya mampu menenangkan pikiran dan hati, saya minta kepada Alloh, ya Alloh, sampaikan kepada ibuku, mama, aku tidak apa-apa. Saya akan selamat sampai Surabaya! Hingga akhirnya saya pun terlelap tidur.


Survival Hari Ke-2

Esok pagi saya terbangun oleh cahaya matahari. Saya tidur menghadap Timur dan terbangun ketika matahari terbit. Yah dengan doa saya melanjutkan perjalanan. berikutnya.

Saya minum sisa air yang tinggal dua tutup botol. Saya putuskan untuk menampung (maaf) air seniku untuk bertahan hidup, karena saat itu tidak ada air tanah sama sekali, batu-batu tidak menampung sedikitpun air.

Saat itu saya putuskan mencoba naik lagi ke Puncak Merapi, setelah batu-batu an yang benar-benar tajam dan tebing yang tak bisa kulalui untuk kembali turun ke Jalur Selo. Saat itu juga kuputuskan untuk kembali ke jalur antah–berantah tadi. 

Saya coba untuk memakan vegetasi yang ada di sekitar batuan , namun sial hanya gatal yang aku dapat di lidah. Sesuai dengan yang aku pelajari dulu, bahwa jika di lidah gatal = beracun, ya sudah saya tidak melanjutkan. Hanya minum yang ada di botol ini selama perjalanan.

Sedih, bingung, sedikit rasa takut yang menemaniku sepanjang perjalanan. Kakiku mulai perih siang itu, darah mengalir dari telapak kaki. Saya usap dengan sarungku. Terlintas ide untuk merusak sarungku menjadi alas kaki. Tidak ada lagi rasa eman (sayang) meskipun setiap jumat sarung ini yang kugunakan.

Meskipun sedih, takut dan lain-lain, namun jujur saja, saya sangat takjub saat itu melihat jurang dan tebing yang benar-benar luar biasa. Alloh! sungguh Indah ciptaan Engkau.. Ah sayang tidak ada kamera / HP yang digunakan untuk mengabadaikan moment ini.

Sore mulai menjelang, seperti mendapat “Jackpot” saya lihat ada genangan air di atas batu, yang cukup untuk tiga teguk. Alhamdulillah, terima kasih Alloh untuk Air ini. Mohon maaf ya teman-teman hewan yang minum ini, sekarang saya benar-benar butuh. 

Perjalanan saya lajutkan ke arah Timur ini dan, Subhanallah, saya melihat pemukiman warga, meskipun masih jauh tapi saya bersyukur.

Yah, saat hari sudah mulai sore, lagi-lagi saya terpesona dengan keindahan batuan di tebing-tebing Merapi, melewatinya dan bersyukur banyak air melimpah di bebatuan yang menampungnya.

Hanya melihat sesosok unggas berbulu putih seukuran itik hinggap di batu yang berjarak kurang lebih limapuluh meter dari tempatku mengumpulkan air. Apakah elang yang ada di hadapanku? Benar,itu Elang Jawa rupanya. 

Pikiranku yang kala itu di kendalikan oleh perut, benar-benar gelap mata dan mengendap-endap di belakangnya. Aku buka victorinoxku, pikirku paling tidak aku harus dapatkan telurnya.

Semakin dekat dan mendekatlah aku pada sarang itu, namun aku terkejut, ternyata sang Elang Putih itu sedang menyuapi anak-anaknya, ALLOH, hati saya benar luluh--Gak tega, bener-benar tak tega melihat keluarga bahagia itu. 

Victorinox saya tutup kembali, namun saya kembali takjub akan alam Merapi, ternyata si Induk melihat keberadaanku dengan jarak sekitar 10–5 m, namun bukan seperti yang dibayangkan si Induk akan marah dan menyerangku, malah dia seolah membiarkan ku melihat keindahan bulunya. Oh Tuhan terima kasih, seandainya aku membawa kamera/ HP saya bisa berbagi dengan semua.

Lalu seolah saya lupa waktu karena melihatnya. Saya sadar bahwa saya sedang tersesat, dan harus kembali berjalan. Sampai jumpa kawan, semoga kau dan anak-anak mu sehat selalu dan tetap berada di alam tanpa gangguan manusia yang tidak bertanggung jawab. 

Saya melihat ke atas, seolah-olah ada jalan setapak. Saya gembira sekali ternyata sudah bertemu dengan jalur manusia. Saya usaha semampunya untuk kesana, namun saya terkejut, jalur ini bukanlah jalur manusia, jejaknya jejak binatang. 

Oh Tuhan, jika saya ke sana hanya dua pilihannya, saya yang memakan hewan-hewan itu, atau saya yang jadi santapannya. 

Saya putuskan kembali ke jalur yang tadi. Saya harus bersiap karena sebentar lagi bulan akan menggantikan matahari. Saya harus mencari tempat berteduh, bertahan hidup malam ini, istirahat untuk menyimpan tenaga. 

Saya temukan batu namun tidak sebesar kemarin, dan hanya bisa menampung badan saja, kakiku tetap diluar. Ah tidak apa, tidak mendung cuacanya, tapi alam berkata lain. 

Malam itu hujan deras, cukup lama juga saya bertahan dalam keadaan basah dan dingin. Oh tuhan, cobaan apa lagi ini, saya seolah melihat kabut tebal, namun berbentuk manusia melayang ke arahku. Saya hanya bisa berdoa, setelah itu aku tertidur karena terlalu letih.

... Di dalam tenda, saya, Afi, Danis, dan Andik baru bangun. Dan seperti biasa Andik menyuruhku membuat sarapan untuk kami. Mereka tersenyum padaku. Saya membuka nesting dan memasak nasi dan telur untuk sarapan. Ketika saya makan, keadaan berubah! Saya terbangun karena saat itu aku muntah berkali – kali. Dan saya sadar, terbangun dari mimpi yang indah ...

Istighfar, hanya itu yang saya mampu dikatakan saat itu. Saya paksa tubuh untuk mampu terlelap lagi dengan kondisi yang ada.


Survival Hari Ke-3

Paginya saya bangun. “Ah...ini saatnya melanjutkan perjalanan”. Namun sebelumnya saya mengumpulkan air dari hujan semalam“. Hikmah hujan semalam, gumamku sambil tersenyum.

Berbicara sendiri, menyanyi dan seolah berbicara dan memohon kepada Alloh itu adalah hiburan yang ada saat itu. Benar kata orang yang mengalami nasib sama denganku saat sendiri dan tersesat di hutan. Kita akan merasa sangat butuh berkomunikasi, atau kita akan mengalami gangguan mental.

Setelah botol terisi dengan air, walaupun tidak sampai penuh. Saya lanjutkan lagi perjalanan. Hingga saya dihadapkan dengan tebing yang sangat amat curam dibanding tebing-tebing kemarin. Kedalaman antara 100-150m. 

Oh tuhan, saya tidak sanggup. Saya orientasi medan saat itu mencari jalan lain untuk sampai di dasar tebing. 

Setelah beberapa menit perjalanan saya istirahat, kebetulan saya melihat WALANG (bahasa jawa = belalang). saya tangkap, dan meminta maaf, sambil dan mematahkan kaki dan kepalanya. Kemudian saya telan mentah-mentah. Lumayan lah, dan saya bisa dapat dua ekor.


Teman-temanku Sudah Lapor Kepada TIM SAR

Pagi itu setelah sarapan walang. Saya dengar ada gemuruh kaki orang dan beberapa ada yang berbicara. 

Ya, saya yakin itu manusia. Saya teriak sekuat tenaga. “Tolooooooong”! 

Mereka menjawab “Rico?”, tanya mereka mengkonfirmasi apakah itu benar-benar saya. 

"Ya Pak", jawabku. Salah satu dari mereka memberi instruksi. 

"Cari tempat terbuka dan Lambaikan Kain ke arah Utara"! Posisi mereka ada di atas ketinggian sekitar 100-150m dari tempatku berada.

Setelah melihat posisiku lalu saya disuruh mencari tempat berteduh, dan tidur untuk menunggu beberapa menit sampai mereka tiba tempatku.

Setelah tertidur, sayup-sayup saya dengar suara panggilan dari Tim SAR, yang sekarang saya kenal dengan sebutan Mbah Gondrong, nama aselinya Agus Santosa. 

Tim SAR datang dan memberiku air minum dan Roti isi Coklat. Tubuhku belum mampu menerima makanan dan aminuman, dan muntah berkali-kali. 

Tim SAR bilang, "teruskan saja sampai tubuhmu nerima makanan, berarti kamu sudah siap melanjutkan perjalanan." Jam 1 siang, mereka bertanya, "Apakah sudah siap?" Saya jawab "ok". 

Sebelum jalan kita foto dulu, kata TIM SAR lain yang saya kenal sekarang, namanya Mas Misdi. 

Saya ganti celana abu-abu SMA yang sudah hancur dengan celana RAIN COAT milik TIM SAR. Memakai full body harness, dan dikaitkan dengan tali webbing yang disambung-sambung hingga panjang. Naik dari bawah ke atas dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. 

Cuaca saat itu sedang turun hujan. Saya diberi rain coat oleh salah satu dari Tim SAR. 

Saya dan Tim SAR naik ke atas, di mana mereka pertama kali menemukanku, dan setelah sampai di atas, saya baru tau ternyata itu adalah jalur pendakian merapi via Deles. Di dekat Pos II Deles. 

Sepanjang perjalanan saya dihibur oleh TIM SAR dengan saling bercanda. Ketika di tengah perjalanan kami break sejenak.

Saya terkejut mendengar penjelasan TIM SAR, bahwa saya adalah korban ke-3 yang selamat dari tempat ditemukan tadi. Survivor yang lainnya meninggal dunia. Innalillahi....


Kembali Pulang Ke Surabaya

Sekitar jam dua siang, saya sampai di jalur pendakian deles. Di sana saya dirawat oleh TIM SAR, ganti baju, diberi minyak gandapura, diberi makan Mie Instan dan Air Hangat, “Terima Kasih “, ucapku lemah. 

Kami lalu melanjutkan perjalanan ke POS Deles. Akhirnya pada pukul delapan malam kurang lebih, kami tiba di POS Deles. Sudah ada Mobil Ambulance dan Afi yang menungguku. 

Kami langsung menuju Rumah Sakit Cakra Husada Klaten. Setelah itu di RS, saya dirawat. Tak lama kemudian saya dengar suara ibu. Ternyata keluargaku menyusul dari Surabaya ke klaten. 

Tangis haru menyelimuti ruangan itu, di sana ada Kakak, Paman dan teman-temanku. Hanya ibuku yang tersenyum dan memelukku sambil berkata, “Mama yakin kamu selamat”. 

Setelah infusku habis kami berpamitan dengan TIM SAR yang baik hati dan tulus menolong tanpa mengharapkan apapun. Kami pun kembali pulang ke Surabaya.

MERAPI! Terima kasih atas pengalaman yang luar biasa ini. Seumur hidup tak akan pernah saya lupakan.

Terima kasih TIM SAR Boyolali dan KLATEN. Terima kasih pada TNI yang bekerja sama dengan Tim SAR.

Terima Kasih WALANG. Matur Nuwun Sanget Mbah Gondrong, Mas Misdi, Mas Gimar. Dan semua yang telah menolong saya.

Saya gak akan melupakan jasa-jasa mereka semua. Terima kasih sekali lagi Merapi. Sampai jumpa lagi.




Share dengan sesama Penggiat Alam Bebas, semoga bermanfaat, Jabat salam Topi Rimba!